PART 9 - MENCOBA BANGKIT.

1785 Words
Andai manusia bisa memiliki kemampuan mendengar kata hati orang lain, tak akan ada orang yang sanggup berbohong. Andai mulut dan hati sinkron, sama-sama diciptakan dengan saling berkata jujur, tidak ada manusia yang bersilat lidah dan bermuka dua. Manis di mulut busuk di hati. Mungkin itu ungkapan yang tepat untuk Emma. Wanita itu bisa membuat Nazla percaya akan semua perkataannya dulu. Sampai Nazla selalu mengungkapkan setiap detail perihal rumah tangganya. Bukan untuk pamer karena ia memiliki suami tampan nan sukses, tapi lebih ingin memiliki tempat untuk berkeluh kesah. Sayangnya keluh kesah Nazla di ambil kesempatan oleh Emma yang iri akan pernikahan Nazla dan Fendi. Mungkin memang lebih baik jangan curhat pada siapapun perihal rumah tangga. Kita tidak tahu begitu banyak predator pemangsa yang tidak menyukai kebahagiaan orang lain di luar sana. Bisa jadi orang itu adalah orang terdekat kita. Emma masih mengingat saat untuk yang kesekian kalinya Nazla kembali curhat padanya. Bagaimana Nazla tidak sedih ketika suatu hari Fendi memilih untuk tidur di kamar tamu. Nazla pikir hanya untuk sehari dua hari, tapi ternyata untuk selamanya. Disaat ia ingin disayang karena kehamilannya, justru Fendi semakin menjauh. Tentu saja hal itu membuat Emma sangat bersyukur dalam hati. Paling tidak lelaki itu membuktikan perkataannya untuk tidak menyentuh istri kampungnya ini. "Sudah lama aku dan Mas Fendi pisah kamar Em," lirih Nazla. "Mungkin Mas Fendi beneran terganggu sama aku ya Em," keluhnya lagi. "Gak apa-apa Naz, yang penting kamu dan bayimu sehat." Padahal saat itu Emma bersorak senang sekali. "Tapi dia sama sekali gak peduli sama kehamilan aku." Nazla mengusap perutnya yang semakin membesar. "Kan ada aku, aku udah antar kamu ke dokter, belanja, nemenin kamu di sini. Itu udah cukup kan gantikan posisi suami kamu. Daripada kamu mikirin suami kamu yang kayak gitu, kita belanja kek kemana gitu?" ajak Emma. Emma memang tidak bekerja, tapi Fendi sering memberinya uang jika mereka kencan, tentunya tanpa sepengetahuan Nazla. Setiap harinya Emma juga mengantarkan makan siang ke kantor Fendi. Di depan Nazla, ia mengatakan jika makanan itu ia titipkan di depan pos satpam. Nyatanya Emma masuk ke dalam dan memadu kasih dengan Fendi. Emma menikmati sekali mempermainkan hati Nazla, menikam sahabatnya dari belakang. Tapi ia masih memiliki hati nurani, sungguh tak ingin Nazla tahu tentang hubungannya dengan Fendi. Siapa sangka Fendi justru yang mengundang mantan istrinya. Tampaknya Emma sudah tidak bisa bersembunyi lagi dari Nazla. Nasi sudah menjadi bubur. Dan ia harus tetap menyantapnya bukan? Emma sudah tidak bisa berperan menjadi sahabat Nazla. Ibarat kata, kedoknya sudah terlepas. Menampilkan wajah asli Emma selama ini. Wajah kepuasan ketika mendapatkan suami sahabatnya. "Jadi, mulai hari ini aku sudah tidak perlu lagi takut memperlihatkan suamiku kemana-mana. Baguslah, mungkin sudah saatnya Nazla tahu yang sebenarnya. Toh sekarang atau nanti sama saja. Ia akan tahu suaminya sudah memilih aku." Seketika perasaan bersalah langsung lenyap dari hati Emma. Begitulah, orang yang merampas terkadang tidak memikirkan perasaan mereka yang menjadi korban. Mungkin menganggap semua yang ia rampas akan kekal membawa kebahagiaan. Padahal ada yang maha mengetahui, yang tidak bisa dibohongi. Baru saja Emma melambaikan tangan mengiringi mobil Fendi yang melaju pergi, sebuah mobil berhenti tepat di depan rumahnya. Ia terkesiap saat melihat siapa yang datang. Lisa Permana. Ibu dari Fendi Permana yang sampai hari ini tidak pernah merestui pernikahannya dengan Fendi. Bahkan wanita ini tak mau melamarnya secara resmi. Emma sadar, Lisa begitu menyayangi Nazla. Emma menelan salivanya yang terasa kesat. Di depannya berdiri seorang wanita seusia ibunya yang menatapnya dengan raut wajah penuh kebencian. "I-Ibu?" Emma buru-buru menghampiri dan hendak membuka lebar pintu garasi yang tadi ia tutup rapat. "Aku gak akan lama," ketus Lisa dengan wajah penuh emosi yang tak bisa ditutupi lagi. Ia menatap wajah Emma, sang calon pengantin. Meniliti dari ujung rambut hingga ujung kaki. "Aku tidak tahu, apa yang putraku lihat darimu. Tapi yang jelas, Nazla sungguh bernasib buruk memiliki sahabat sepertimu." Ucapan itu begitu pedas terucap dari mulut calon ibu mertuanya. Sungguh Emma harus menahan diri, melihat sorot mata permusuhan dari wanita yang sangat ia harapkan mau berbaik hati padanya. Tapi tampaknya itu hanya mimpi Emma, jadi nasibnya mirip dengan sinetron di televisi, dibenci ibu mertua. Bagus sekali Emma! Emma menunduk. "Bagaimana bisa, kau yang dulu berdiri di depannya, menjadi penolongnya, justru kau juga yang menghancurkannya?" "Kau sungguh tidak punya hati!" "Pernikahan mereka tidak pernah bahagia bu," bela Emma karena tak mau terus dituduh yang tidak-tidak. Hey, jangan salahkan dirinya yang memiliki kecantikan melebihi Nazla! Jangan salahkan Fendi, karena semua lelaki pasti tergiur akan kecantikan dan kemolekan tubuhnya. "Bukan kau yang memutuskan, hingga merusak pernikahan putraku dengan Nazla!" "Apalagi yang harus ibu tunggu? Ibu tahu putra ibu tidak pernah mencintai Nazla, bahkan sebelum saya hadir! Ibu tak ingin melihat putra ibu bahagia? Tak ingin memiliki cucu dari pernikahan yang normal yang dijalani putra ibu sendiri?" Emma terpaksa membalas, karena ia tak mau ke depannya ibu mertuanya ini menindasnya. "Kau pikir kau akan bahagia? Merampas kebahagiaan orang lain, merusak pernikahan orang lain! Jangan harap Tuhan merestui niatmu! Aku tidak akan pernah menganggapmu menantu di rumahku! Jika nanti putraku mencampakkanmu, jangan pernah kau cari aku! Aku tidak akan menganggap anakmu cucuku, tidak akan!" Lalu Lisa masuk ke dalam mobil dan menyuruh supirnya pergi. Dia tidak akan mau berhubungan dengan wanita sebusuk Emma. Sungguh Lisa kesal dengan sikap putranya yang memilih bercerai dari Nazla dan menikahi Emma. Tidakkah Fendi memiliki hati nurani? Tapi tampaknya wanita bernama Emma ini juga berperan dalam merusak pernikahan putranya dengan Nazla. Demi menebus semua kesalahan putranya, Lisa sudah memberi cek untuk hidup Nazla ke depannya. Semoga kamu hidup bahagia Nazla. Semoga suatu hari nanti kita bertemu lagi. ** Jono masih berkomat-kamit layaknya dukun yang tengah menyembuhkan pasien. "Nanaz, yey gimana sih, punya sahabat macam ular piton berkepala dua gitu. Kok bisa-bisanya dia rampas laki yey, dan yey cuma bilang selamat? Oh emjiiiiiii, ingin banget eike remes-remes mulut suami yey itu. Gak punya rasa peri kemanusiaan dan peri keadilan. Beneran eike gemes Nanaz, gemez banget! Pengen colok mata si Emmak-Emmak itu. Sayang Nanaz larang." Nazla menggeleng. "Gak ada gunanya juga aku marah-marah Jono. Semua sudah terjadi." Mendengar suara Nazla yang sendu. Jono menoleh. "Nanaz gak sedih? Gak nangis?" Nazla menggeleng. Yah, rasa sedih sudah hilang dari hatinya. Tidak ada air mata saat ini. Ia sudah ikhlas. "Ya ampun!! Nanaz gue kuat ternyata. Yey!!!" Jono berteriak seolah menang dari perang. "Nanaz emang strong. Eike yakin Nanaz kuat. Terus sekarang yey mau ngapaian? Jadi buka toko?" Nazla tersenyum. "Jadi dong, kita coba lihat kios yang pinggir jalan yuk. Tanya-tanya. Barangkali ada yang mau disewakan." "Siap Nanaz, eike sekarang jadi bodyguard Nanaz. Kemana Nanaz pergi eike ikut. Lets' go!" Dengan semangat empat lima dua manusia yang kini kembali menjadi sahabat itu melangkah dengan senyum dan keyakinan besar. ** Ada masanya menyesali diri. Tapi tak juga harus terus meratapi. Karena hidup terus berjalan, dan roda kehidupan terus berputar. Setelah mencari kios pinggir jalan, akhirnya Nazla menemukan kios yang berjejer rapi yang menarik perhatiannya. "Permisi Pak, kalau saya mau sewa kios ini kemana ya?" tanya Nazla pada seorang pedagang ayam bakar. Masih ada beberapa kios yang tertutup rapat dan ada tulisan disewakan tergantung di depan toko. Nazla menghitung. Deretan kios itu berjumlah sepuluh kios. "Oh ibu bisa masuk gang situ, nanti ketemu rumah bercat hijau yang paling besar. Itu pemiliknya. Bu haji Royani." "Terima kasih ya Pak." "Gimana Nanaz?" Jono bertanya sambil berdiri dengan telapak tangan melindungi wajahnya dari sinar matahari. "Kita ke rumah pemilik kios dulu. Rumah Bu Haji Royani." "Oke siap Nanaz." Nazla dan Jono masuk ke sebuah jalanan yang hanya bisa dilewati sebuah mobil. "Ini rumahnya Jono." Nazla memandang rumah yang bercat hijau yang paling besar diantara yang lain. "Selamat siang." Nazla mengetuk gerbang dengan gembok. Tak lama keluar seorang wanita berhijab dan bergamis. "Ya, cari siapa?" "Saya mau ketemu Bu Haji Royani." Wanita berhijab itu tersenyum. "Oh, saya Bu Haji Royani. Ada yang bisa saya bantu?" Wanita yang bernama Haji Royani membuka pintu. "Saya Nazla bu. Saya mau tanya perihal sewa kios di depan, bu." "Oh mau sewa kios. Untuk dagang apa ya mbak, bisa tahu? Karena kios saya itukan ada sepuluh. Kalau bisa usahanya beda-beda, biar gak bentrok." "Saya mau buka tentang perlengkapan anak-anak, kaya boneka, acesories anak-anak pokoknya." Bu Haji Royani tersenyum. "Wah boleh tuh, di daerah sini memang belum ada." "Kalau boleh tahu, harga sewanya berapa ya bu?" "Itukan kios bisa bareng tempat tinggal, dua lantai juga. Ibu kenakan sewa dua puluh lima juta rupiah saja setahun mbak." "Wow, itu duit bu?" tanya Jono melotot. "Bukan, kertas koran," jawab Bu Haji asal. Nazla tertawa, sementara Jono merengut. "Kalau begitu besok saya kemari lagi ya bu. Yang penting saya sudah tahu harganya." "Baik, mbak. Ibu tunggu kabar baiknya ya." "Eh sebentar mbak Nazla." Bu haji itu masuk ke dalam rumah. Dan tak lama ia keluar. "Ini kuncinya, mbak bisa lihat-lihat dulu." "Tapi saya kan belum bawa uangnya yang buat sewa bu?" Bu Haji tersenyum. "Saya percaya mbak Nazla pasti bakal cocok sama tempatnya. Sudah bawa saja kuncinya. Besok kemari bisa langsung bawa uangnya." Nazla saling memandang dengan Jono. "Baiklah bu kalau begitu. Saya pinjam dulu kuncinya." ** Nazla membuka pintu kios berukuran lebar enam meter dan panjang sepuluh meter. Senyumnya mengembang membayangkan ia akan melihat anak-anak masuk dan memilih mainan yang ia jual. "Nanaz gue dah ke lantai dua, lapang. Eh gue nanti tidur di mari ya, maklum di rumah mak, mak gue cerewet Nanaz." Terdengar napas Jono ngos-ngosan. "Boleh asal izin mak dulu. Aku gak mau Mak mu marah-marah anaknya hilang." Nazla meneliti dinding kios. Jika jadi menyewa, ia kan ganti catnya dengan warna pink, khas anak perempuan. "Ya ampun Nanaz, gue gak sabaran pengen cepet-cepet ini toko di buka." "Eh mau jual apa aja sih Nanaz? Boneka-boneka gitu? Jepit-jepit, bando." "Yah seperti itu, lihat nanti ya. Eh, aku mau cek ke atas ya." Lalu Nazla melangkah ke lantai atas. Bener kata Jono, lantai dua luas sekali. "Jono, sepertinya ini bisa buat stok barang sama buat kamar ya." "Iya Nanaz, barangkali kamu lelah jaga toko bisa tidur di mari." ** Pagi menjelang, Nazla akan berangkat ke bank ditemani Jono. "Nanaz, lo udah bangun belom!" Terdengar teriakan dari luar. "Iya Jono, bentar ya." Jono ternyata ontime, alias tidak ngaret seperti orang jaman now. Nazla bergegas keluar dan tersenyum melihat penampakan Jono. Ia memang tak keberatan diantar Jono, asalkan lelaki itu memakai pakaian yang sopan. Kini Nazla melihat Jono mengenakan kemeja lengan panjang dan celana jeans. Terlihat lelaki sekali. "Gimana penampilan eike?" Nazla memutar bola matanya. Tetap saja melambai. Mereka naik angkot hingga tiba di sebuah bank swasta. "Kamu mau ikut masuk Jono?" tawar Nazla. "Ih ogah, eike serem lihat kumis pak satpam." Jono bergidik dengan mengangkat bahu. Nazla melirik satpam yang berdiri di depan pintu masuk Bank. "Emang kenapa dengan kumisnya?" "Gak nahan Nanaz, pengen eike tarik ha ha ha."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD