PART 10 - ADA YANG BERUBAH.

1668 Words
Kesibukan setiap pagi dalam sebuah rumah, biasanya akan memperlihatkan seorang istri yang tengah menyiapkan sarapan untuk anggota keluarga. Bisa jadi sang istri akan sibuk memasak atau mengatur meja makan sebelum semua anggota keluarga hadir. Tapi keadaan yang sangat berbeda terjadi di rumah seorang Dayan Athari Fawwaz. Tampaknya rumah Dayan tidak bisa seperti rumah normal pada umumnya. Bagaimana bisa, jika ratu di rumah tersebut sudah berpulang ke pangkuan sang pencipta. Protes akan keadaan yang memilukan pun rasanya tak pantas Dayan lakukan. Semua harus ia jalani sesuai kehendak takdir. Walau matanya tak mampu menahan bening yang selalu muncul tanpa bisa ditahan saat melihat wajah mungil milik putrinya. Tangisan pagi sang putri seharusnya diredakan oleh suara halus sang bunda. Dekapan hangat yang bisa membuat tangis itu terhenti. Sayang, tangisan Killa setiap hari, harus diredakan sang babysitter, Warni. "Killa sudah cantik?" Dayan berdiri di ambang pintu kamar putrinya. "Sudah Pak. Sudah cantik dan wangi." Setelah Killa mandi dan berpakaian rapi, biasanya Warni memberi kesempatan majikannya menimang Killa. Terkadang Warni tak tega melihat wajah sendu milik Papinya Killa. Walau ada raut bahagia, ada setitik kerinduan pada ibu si bayi. Dayan terus menimang putrinya dalam pelukan dan mengajaknya bicara. "Semalam Papi pulang malam, maaf ya gak bisa bobo sama Killa. Kalau Killa sudah besar nanti, Papi janji akan setiap malam bobo sama Killa." "Sudah cantik begini jangan nangis ya sayang. Nanti anak Papi cantiknya hilang. Baik-baik sama mbak Warni ya di rumah." Warni yang namanya disebut tersenyum. Sungguh pemandangan yang mengharukan. Matanya mengerjap berulang kali. Rasa sesak menjalar di d**a Warni, mengingat bayi cantik itu akan tumbuh tanpa kasih sayang seorang ibu. Warni beranjak ke dapur. "Pak Dayan ini tampan, tajir. Tapi kasihan amat ya ditinggal istri. Kasihan juga non Killa, jadi anak piatu." "Kamu bicara sama siapa War?" tanya seorang wanita berusia empat puluh tahun, mbok Upit. "Itu mbok, aku lagi lihat Pak Dayan nimang putrinya, kok aku mau nangis ya." Mbok Upit ikutan menoleh. Ia pun merasakan hal yang sama. Pemandangan majikannya setiap pagi selalu mengharukan. Upit mengingat bagaimana dulu rumah ini hangat dengan cinta kasih kedua majikannya. Banyak mimpi yang tak bisa tercipta. Semua penghuni rumah ini ikut menangis saat sang ratu yang baik hati itu berpulang dengan tiba-tiba. "Iya, umur gak ada yang tahu War. Semoga Pak Dayan ketemu jodoh lagi yang baik hati dan mau menerima putrinya itu." Semua berdoa begitu, karena Dayan sosok majikan yang baik hati, begitu pula istrinya. "Aku yakin yang mau banyak kok. Buat orang seperti Pak Dayan mah gampang. Asal jangan sama bu Andini saja. Ih sebel aku sama dia." "Iya ya, mbok juga sebel liatnya." Tak lama dari arah depan ada sepasang suami istri datang memasuki ruangan. "Cucu Oma gimana khabarnya ya?" Dayan menoleh dan tersenyum saat mendapati Mamanya datang bersama Papanya. Amni segera meraih Killa dalam pelukan, sementara suaminya Abizar Fawwaz duduk di kursi makan. "Mama bawa sarapan buat kamu." Abizar yang diberi tugas membawa rantang makanan segera meletakkan ke atas meja. "Mbok Upit, tolong ambil piring ya." Amni memanggil asisten rumah tangganya. Upit segera membawa beberapa piring dan mangkok ke hadapan majikannya. Amni selalu menyempatkan diri mampir ke rumah putranya, sekaligus menengok cucu pertamanya. Miris sekali melihat nasib anaknya ini. Seolah kebahagiaan hanya sedikit dirasakan oleh Dayan. "Mama bawa apa?" Dayan mulai melihat sarapan yang dibawa Ibunya. "Mama masak nasi goreng kesukaan kamu." Melihat putranya makan dengan lahap, Amni tersenyum. "Yan, kamu gak berniat mau menikah lagi?" Pertanyaan Amni membuat pergerakan menyuap Dayan menjadi terhenti. "Ma, Andita baru meninggal." Genggaman di sendok terlihat mengerat. Demi Tuhan, ia masih shock ditinggal istri tercinta. Tidak sekalipun tersirat mau menikah lagi. "Mama tahu sayang. Tapi putrimu butuh kasih sayang seorang ibu." Amni tersenyum pada bayi yang kini menatap dan membalas senyumnya. "Dayan, Mama baru lihat Killa punya lesung pipi ya. Kamu sama Andita kan gak punya lesung pipi." "Kebetulan saja kali Ma." "Mungkin gak bu ketempelan dari yang gendong?" Warni datang berniat meraih Killa dari pelukan Amni. Amni biasanya tak tahan gendong lama-lama. Suka kesemutan tangannya. "Ketempelan gimana?" "Ya dari yang gendong gitu bu?" "Lah kan kamu yang gendong, kamu aja gak punya lesung pipi. Gimana sih." "Bukan saya bu, jadi pas kemarin ke makam, saya bertemu dengan seorang wanita yang memiliki lesung pipi juga. Dia gendong dede Killa, terus pas dede Killa senyum kok samaan kaya itu perempuan bu, sama-sama punya lesung pipi." Amni menggeleng. "Ada-ada saja kamu War. Nih kamu bawa Killa, ibu mau bicara sama Dayan sebentar." Warni menerima Killa dari gendongan Amni. "Kita main ya sayang ke taman belakang." Dayan dan kedua orang tuanya melihat Warni yang membawa Killa ke area belakang rumah. "Kasihan Killa kalau gak merasakan kasih sayang seorang ibu." "Atau kamu menikah saja dengan Andini, turun ranjang gitu?" Ide Amni membuat Dayan menggeleng. "Ma, aku ingin menikah karena aku cinta, bukan terpaksa." Amni menghela napas. "Mama hanya berharap, wanita itu meyayangi putrimu setulus hati. Dan Andini itu adik Andita. Dia tantenya, pasti sayang sana Killa. Daripada kamu cari orang lain yang belum tentu menyayangi Killa sepenuh hati." Perkataan Ibunya ini memang ada benarnya sih. Tapi sekali lagi, Dayan belum berminat melepas status dudanya dalam waktu dekat ini. "Tolong jangan paksa aku Ma. Aku percaya takdir. Jika memang aku tetap sendiri, aku gak masalah." "Tapi kan Mama ingin punya cucu yang banyak Dayan," keluh Amni geram. "Mama bisa dapatkan dari anak Mama yang lain." "Hah, kelamaan. Mereka masih sibuk kuliah." "Ma, sudahlah. Kita kemari mau sarapan bareng kan?" Abizar Fawwaz melerai percakapan istri dan putra sulungnya. Tak lama mereka sarapan bersama. "Aku duluan ya Ma." Dayan bangkit dari kursi, membuat Amni melipat kening. "Lho, masih pagi ini Dayan," protes Amni yang menyangka putranya menghindar karena terus didesak menikah lagi demi Shakilla. "Aku mau ke Bank dulu." Dayan meraih jas yang tersampir di kursi makan yang di sebelah kursinya. Mengenakannya dan melangkah ke arah taman, dimana Warni sedang menggendong Killa. "Papi kerja dulu ya sayang. Jangan nakal sama mbak ya." Jari Dayan membelai pipi bayi Killa. Lalu ia menatap Warni. "Warni, saya berangkat dulu. Kabari saya kalau ada apa-apa ya?" "Baik Pak." Dayan lalu berbalik menuju ruang depan, dimana supir pribadinya menunggu. "Mama akan menginap beberapa hari ini di sini." Amni ikutan mengantar putranya keluar. "Terima kasih Ma." Dayan tersenyum sebelum masuk ke dalam mobil. ** Nazla tersenyum pada satpam yang membukakan pintu masuk. "Ada yang bisa saya bantu bu?" tanya satpam ramah. "Saya mau urus kartu ATM saya yang hilang pak." "Ibu bawa buku tabungan dan surat laporan hilang dari kepolisian?" "Sudah pak, ini." Nazla menyerahkan berkas yang diminta satpam. "Bisa sekalian minta KTP ibu sebentar?" Nazla membuka dompetnya, kembali menyerahkan KTP. "Ini ibu pegang nomor antrian Customer Servicenya ya. Silahkan menunggu di sana, soalnya masih antri. Nanti tunggu panggilan." "Baik Pak, terima kasih ya." Nazla mencari tempat di pojok, membelakangi pintu masuk. Sementara di luar gedung. Dayan keluar dari mobil dan menuju pintu masuk Bank yang pagi ini menjadi tempat pertama sebelum datang ke kantor. Jono yang tengah duduk di depan gedung berdecak kagum saat melihat sesosok lelaki tinggi gagah masuk ke dalam Bank yang tadi Nazla masuki. "Wow! Itu lekong ganteng amat ya ampun. Gemes banget pengen dusel-dusel di pipinya." Jono berteriak dalam hati. Tak mungkin ia berteriak histeris di sini, yang ada disangka gila. Gak enak sama Nazla. "Selamat pagi Pak Dayan. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Pak satpam yang sudah mengenal Dayan. "Saya mau ketemu Pak Hans." "Oh ada Pak, mari saya antarkan." Dayan Athari Fawwaz adalah nasabah VVIP, jadi setiap kedatangannya pasti mendapat tempat istimewa. Seorang petugas satpam bahkan mengantarnya langsung ke dalam. "Sebentar Pak Satpam, ini saya menemukan salah satu ATM milik nasabah bank ini di jalan. Barangkali bisa diberikan pada orangnya." Dayan menyerahkan ATM yang ia temukan kemarin di depan pemakaman. Satpam itu melihat dan membaca nama yang tertera. Lho inikan yang tadi mbaknya datang. "Oke, Pak Dayan terima kasih. Silahkan bapak bisa masuk ke ruangan Pak Hans." ** "Ini ATM milik mbaknya kan?" Nazla melipat kening. "Oiya bener Pak. Ini milik saya." "Beruntung ada yang menemukan, jadi mbak gak usah ke customer service lagi. Ini buku tabungan dan KTP saya kembalikan." Satpam itu tersenyum ramah pada Nazla. "Terima kasih sekali ya pak. Ngomong-ngomong yang menemukan siapa? Barangkali saya mau mengucapkan terima kasih?" "Maaf, orangnya sudah di lantai atas, sedang ada urusan." "Oh, sayang ya. Padahal saya mau mengucapkan terima kasih saja sih. Gak apa-apa deh, kalau begitu saja permisi ya pak." "Ya bu, sama-sama." Nazla bergegas keluar dari Bank dan menuju tempat Jono duduk di depan gedung. "Sudah Nanaz? Kok cepet amat sih yey." "ATM nya ternyata ditemukan sama orang, dan diantar ke Bank sini. Nih." Nazla memperlihatkan kartu ATM yang ia pegang. "Akhirnya, ya ampun. Gue kira lo gak jadi tajir. Yuk sekarang kita ambil duit bakal modal usaha." Nazla bergegas menarik uang di ATM. Secukupnya. "Nanaz, terus terang ya, eike tersinggung sama perkataan mantan laki yey itu." "Perkataan yang mana Jono?" "Yang mengatakan yey itu upik abu gosok. Nanaz! Yey harus berubah, melebihi bidadari kayangan yang ada di atas langit." Nazla menggaruk kepalanya. "Berubah gimana sih?" Jono menjentikkan jemarinya. "Eike punya usul. Yey ikut eike sekarang ya." ** Nazla menatap sekeliling ruangan. Sebuah ruko yang ternyata sebuah salon kecantikan. Mau apa mereka kemari? "Ice apa kabar?" Seorang lelaki melambai keluar dan menyambut kedatangan Jono dan Nazla. "Hay sista, baik dong. Eh eike minta bantuan dong. Tolong urus teman eike berubah laksana bidadari kayangan yang gak bisa jelek seumur-umur." "Owh itu soal gampang, Ice." Ice? Siapa Ice? Apa nama Jono berubah jadi Ice? Nazla semakin bingung saat telapak tangannya ditarik dan tubuhnya diputar. Lelaki di depan Nazla melipat kening. "Aslinya sudah cantik, sayang gak pernah kena kosmetik. Serahkan pada Eike. Eike akan rubah teman Yey menjadi bidadari kayangan yang kena kutukan selalu cantik sepanjang waktu." Nazla milirik Jono. "Jono, ini aku mau diapain!" "Udahlah Nanaz, ikut aja apa kata teman eike." "Iya tapi mahal kali Jono." "Astaga Nanaz!" Jono memekik. "Yey tajir dan banyak uang, jangan pelit untuk merawat diri. Yey harus buktikan sama si kutu kupret dan kutu busuk jika yey bukan upik abu gosok! Bangkit! Semangat!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD