PART 11 - LIMA TAHUN KEMUDIAN.

2454 Words
Di kamar yang sudah rapi, tampak seorang lelaki tengah mengenakan kemeja sambil menatap cermin. Kemeja berwarna cream dengan bawahan celana panjang hitam menambah ketampanan lelaki bertubuh tinggi juga tegap, yang memiliki hidung mancung dan garis rahang yang tegas. Menandakan bahwa ia adalah sosok lelaki yang berpendirian teguh dan sulit untuk dipengaruhi dalam hal apapun. Termasuk dalam sebuah hubungan kerja dan asmara. Dayan Athari Fawwaz, anak sulung dari tiga bersaudara yang masih setia dengan kesendiriannya, sekalipun sudah lima tahun sang istri tercinta pergi ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Ia menatap cermin sambil berpikir. Ini adalah tahun ke lima, kamarnya sepi dari segala kegiatan keromantisan bersama seorang istri. Tak terasa waktu begitu cepat berlalu. Keheningan sudah membuatnya nyaman dengan tidur sendiri di kamar ini, walau sesekali ia ditemani sang putri. Kesetiaannya masih dijaga untuk tidak memutuskan mencari pengganti sang istri dengan wanita manapun. Karena bagi Dayan, cintanya sudah dibawa pergi bersama kematian sang istri, Andita. "Papiiiiii." Ketukan di pintu kamar bersamaan dengan suara yang memanggil, membuatnya menoleh dan bergegas melangkah ke arah pintu. Tangannya yang kekar membuka daun pintu. Ia tentu mengenal suara itu, suara yang selama lima tahun ini sudah bersamanya sejak sang istri tercinta dipanggil ke pangkuan sang pencipta. Begitu terbuka tampak seorang gadis kecil dengan rambut kuncir dua menatapnya dengan tidak sabaran. Sosok kecil penyemangat hidupnya yang semula hampir hancur karena kehilangan cinta pertama, istri pertama dan perempuan pertamanya. Shakilla Athari Fawwaz. Yang memiliki kedua bola mata bulat dan hidung yang sedikit mancung, membuat gadis ini tampak lucu dan menggemaskan. Padahal Dayan dan Andita memiliki tulang hidung yang bisa dikatakan mencuat tinggi, tapi putri mereka tidak menuruni hidung keduanya. Justru memiliki kelebihan lainnya, memiliki lesung pipi di sebelah kanan. Seingatnya Andita tidak memiliki lesung pipi. Gadis kecilnya ternyata memiliki ciri yang sangat spesial sekali di mata Dayan. Setiap Killa tersenyum, ada titik yang menghiasai pipinya. Dayan yakin jika besar nanti, Shakilla putrinya pasti akan jadi gadis yang sangat cantik. "Papi masih lama?" tanya Shakilla dengan mata mengerjap indah. Sejak tadi gadis kecil ini menunggu Dayan di ruang makan, tapi Dayan belum juga muncul. Lalu tanpa diminta masuk, gadis kecil itu melangkah ke dalam kamar. Dan duduk di atas ranjang. Menganyunkan kakinya dengan riang. Hari ini ia bahagia karena akan menghabiskan waktu bersama sang Ayah. Dayan yang tengah naik bisnisnya memang sibuk dan kerap meninggalkan putrinya sendiri. Jadi saat ada waktu senggang, ia pasti akan menghabiskan waktu bersama Killa, panggilan untuk putri kecilnya. Kali ini putrinya itu mengenakan dress yang sedikit mengembang di bagian bawah dengan warna dress biru. Pita warna orange menghiasi bagian pinggang. "Tante Andini sudah datang?" Dayan menatap ke arah putrinya dan kembali masuk ke dalam kamar. Ia tinggal menyisir rambutnya sebelum mereka pergi. "Sudah, baru sampai. Papi masih lama ya?" tanya putri kecil Dayan yang kini tengah menelungkup di atas ranjang. Tangan kecilnya meraih bingkai foto. Sepasang matanya sendu kala menatap sebuah foto yang semula ada di atas meja, dan kini berpindah ke tangannya. Foto Dayan dan Andita yang memang sengaja Dayan letakkan di samping ranjang, agar Dayan bisa menatap wajah mendiang istrinya jika ia merindukan sosok mendiang Andita, yang hingga kepergiannya yang sudah beranjak lima tahun, belum bisa tergantikan di hatinya. "Sebentar ya sayang, Papi sisir rambut dulu." Dayan menyisir sambil sesekali menatap putrinya yang tengah melarikan jemari ke bagian foto Andita. "Killa kangen Mami?" tanya Dayan saat melihat putrinya menatap foto mendiang istrinya. Melihat putrinya seperti itu, Dayan terkadang merasa bersalah. Ia tak bisa memberikan kebahagiaan yang utuh pada Killa. Putri kecilnya tumbuh tanpa kasih sayang seorang ibu. Kangen yang Dayan katakan tentu karena Dayan sering menceritakan tentang Andita pada putrinya. Jika sudah begitu, Killa akan mendengarkan dengan seksama dan tatapan fokus. Tentu Dayan juga sudah berniat ingin berumah tangga, tapi ia masih belum mendapatkan wanita yang cocok, yang bisa menerima Killa dengan senang hati. Ia juga ingin menikah atas dasar cinta, bukan semata asal mencari ibu untuk putrinya. Bukankah pernikahan itu terasa indah jika dengan wanita yang kita cintai dan mencintai kita? Seperti dulu pernikahannya dengan Andita. Merasa ditanya, Killa kembali duduk sambil memangku pigura itu. Menatap dengan mata yang menajam, seolah berusaha mengingat kilasan di dalam pikirannya. "Kenapa Killa gak pernah bermimpi bertemu dengan Mami? Apakah Mami gak sayang sama Killa?" tanyanya dengan raut menggemaskan. Pipinya mengembung dan bibirnya mengerucut. "Mungkin Mami tahu kalau Killa sudah bahagia sama Papi di sini." Dayan menghampiri sang putri dan duduk di sampingnya. "Terus kapan Killa punya adik, Papi?" Pertanyaan Killa yang spontan membuat Dayan terkekeh. Dia tak pernah mendengar putrinya ini meminta seorang Ibu pengganti, telinganya lebih sering mendengar jika Killa meminta seorang adik. Dan itu sungguh menggelikan. Ini pasti karena ulah sang Mama yang tiada patah semangat memintanya menikah kembali. "Sayang, Killa belum boleh punya adik sama Tuhan." Dayan mencoba mencari alasan, dan semoga Killa percaya. "Kenapa?" Bola mata itu mengerjap. Seolah menuntut jika ia tak ingin mendengar jawaban yang sama yang selalu Papinya berikan. "Karena Papi belum puas jalan-jalan berdua sama Killa. Kalau Killa punya adik, nanti Papi akan lebih sayang sama adik. Killa gak mau kan kalau Papi sayang sama adik Killa saja?" Shakilla merenung. "Nah karena sekarang Papi sudah siap, bagaimana jika kita pergi sekarang? Kita tengok dedek bayi Om Salman." Seketika raut wajah Killa berubah bersinar. Ini yang membuatnya tak sabar pergi, karena mau melihat bayi! Makhluk kecil yang menggemaskan baginya. "Yeee, ayo Papi, Killa mau cepat-cepat melihat dedek bayinya Om Salman." Dayan meraih telapak tangan putrinya dan melangkah keluar kamar. Begini saja, Dayan sudah bahagia. Tak perlu lagi yang lain. "Dedek bayinya pasti masih kecil ya pi, nanti Killa boleh cium ya pi?" "Boleh dong, nanti izin dulu sama Om Salman." "Iya Papi, Killa pasti nanti izin sebelum cium dedek bayi." Di ruang tengah Dayan melihat Andini yang sedang menegur Warni. Selalu begini jika Andini datang ke rumahnya. Berhubung Dayan tidak mau ada drama, ia mempersilahkan Andini berbuat apapun juga. Karena menghargai wanita itu sebagai adik Andita. Beruntung semua asisten rumah tangganya sudah memaklumi. "Tolong ya War, Killa itu kalau tidur jangan terlalu malam. Kamu jangan biasakan dia tidur malam terus. Kamu masih betah gak sih kerja di sini, susah amat dikasih tahunya!" Andini menatap kesal pada Warni. Jujur Andini ingin sekali memecat wanita ini, sayang ia belum sepenuhnya menjadi ratu di rumah ini. "Iya bu, semalam non Killa itu ke kamar Papinya, masa saya harus panggil, kan gak enak." Warni menunduk. Selalu saja alasan! "Saya gak mau tahu, Killa harus tidur sesuai waktu yang saya kasih." "Tante Dini, kita jalan sekarang!" Teriakan Killa membuat Andini menoleh. Senyumnya mengudara melihat Dayan sudah siap dengan Killa disampingnya. Amarah menguap melihat sosok yang selalu ia puja sejak lama. Andini menatap kagum akan ketampanan sang kakak ipar. Hatinya bersorak, karena mereka akan menghabiskan waktu bersama hari ini. Dayan dan Killa. "Oke sayang, sebentar ya." Andini memberikan senyum termanisnya. Lalu Andini menoleh lagi pada Warni dan tak lupa kembali memasang wajah jutek. "Awas ya kamu gak ikut kata-kata saya. Saya pecat kamu!" ancam Andini dan berbalik menyongsong Killa dan Papinya dengan senyum sumringah. "Yuk sayang." Andini meraih telapak tangan Killa yang sebelah kiri, karena sebelah kanan sudah menggenggam tangan Ayahnya. Seperti keluarga kecil yang harmonis dan bahagia, jika melihat Dayan, Andini dan Killa saat ini. Yang lelaki tampan, yang wanita cantik, juga seorang putri yang tak kalah cantiknya, yang kalau jujur sama sekali tidak ada kemiripan dengan Andini dan Dayan. "Lho Mbak Warni gak diajak?" Killa protes sambil menoleh ke arah pengasuhnya dengan cemberut. Tampak Warni menatap kepergian mereka dari kejauhan. Walau begitu Killa tetap mengikuti langkah orang dewasa yang kini menggenggam telapak tangannya. "Oh, hmmm mbak Warni banyak kerjaan di rumah. Nanti gak beres kalau kerjaannya gak dikerjakan." Andini tidak ingin harinya diganggu oleh orang lain seperti Warni. Cukup Killa saja, walau sebenarnya niat Andini lebih ingin menghabiskan waktu dengan lelaki tampan yang dengan kesalnya masih saja berstatus kakak ipar, alih-alih suami. Seolah tidak cukup waktu lima tahunnya menunggu Dayan melamarnya. Boro-boro melamar, membuka hati untuknya saja, Dayan seolah tidak rela. Masih saja bergelung mengingat kakaknya yang telah lama berpulang. Segitu besarkah cinta lelaki pada Andita? Beruntung sekali kakaknya itu. Bisa menjadi istri Dayan walau hanya setahun. "Nanti kalau aku mau pipis gimana?" tanya Killa lagi. "Kan ada Tante sayang?" Andini mengusap puncak kepala Killa. "Tante suka ngomel kalau aku pipis." Bibir Killa cemberut. Andini menganga. "Eh Tante gak ngomel. Cuma mau kamu belajar mandiri. Mana pernah sih Tante ngomel-ngomel." Padahal bukan Killa manja, ia ingin seperti teman-temannya yang mau apa-apa tinggal bilang sama Ibunya. Menurut Killa, dia kan wajar minta sama Andini atau Mbak Warni. Entah minta antar atau minta tolong sesuatu. Dayan hanya mendengarkan ketika dua wanita beda usia ini saling berbalas kata. Ia memang sering mendengar Killa mengadu jika dimarahi Andini. Tapi Dayan menganggap itu sikap Andini yang berperan sebagai Tante yang baik. Jadi Dayan tak pernah mengambil hati. Sementara Warni menggeleng menatap kepergian ketiganya. Ia tak berharap diajak, hanya kasihan jika Killa mau ke kamar mandi, Andini malas mengurusi. Ya iyalah! Dengan dandanan secantik itu mana mau urus Killa sampai ke kamar mandi! Dia kan bukan pengasuh Killa, tapi calon ibu tiri yang belum dalam label sah! "Dasar nenek sihir, gak patah semangat amat sih deketin Papinya Killa. Padahal udah jelas-jelas ditolak. Masih saja nempel kaya benalu." "Kamu kenapa misuh-misuh gitu?" Upit menegur temannya. "Tuh nenek sihir Andini." Warni mengkode dengan lirikan matanya. Upit hanya tertawa. Warni memang kerap menjadi tumpahan kekesalan Andini. Selalu saja ada kesalahan Warni yang dicari-cari Andini. Tentu saja Andini melakukan hal itu kalau tidak ada Omanya Killa. Karena Oma Amni adalah sosok yang bijaksana. Bukan hanya Oma Amni, tapi semua keluarga Fawwaz dan menantu di rumah ini semuanya baik-baik saja. Upit sudah ikut sejak anak-anak Oma Amni kecil. Kedua suami istri keluarga Fawwaz memiliki tiga buah hati. Dayan anak pertama, Rafka anak kedua dan Thanisa anak ke tiga. Kini Rafka dan Thanisa kuliah di luar kota. Baru Dayan yang berumah tangga. Jadi jika Andini menjadi menantu di rumah ini, sungguh tidak patut. Sifatnya berbeda jauh dengan semua anggota Fawwaz. Mendiang istri Dayan pun sifatnya baik dan rendah hati. Tak seperti Andini. Jauh beda walau mereka kakak adik. "Udah gak usah dipikirin omongan dia mah. Dia gak berhak pecat kita di sini. Memang dia siapa? Dia juga numpang di sini. Jadi Nyonya saja belum, mana punya kuasa." "Aku tuh kesal sama dia, sok ngatur-ngatur. Gak punya kaca apa ya dia di rumah. Berasa banget kaya ratu di rumah ini. Kerjanya ngatur-atur terus. Semoga Papinya Killa cepat mendapat jodoh wanita yang baik budi gak kaya dia itu. Aminnnn." Warni mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan. "Lagian ya, sudah tahu semalam non Killa itu diajak main sama Papinya di kamar bermain bongkar pasang, ya masa saya larang. Papinya aja bolehin kok. Terus saya harus marahin papinya Killa juga gitu? Dasar orang gila." Warni terus saja mengoceh sambil merengut kesal. Sementara di sebuah toko yang memasang plang nama Toko Bunga Alina. "Jono inget balonnya warna biru muda, biru tua dan putih. Tapi yang totol-totol hitam ya, bukan yang polos." Nazla tampak sibuk dengan kertas di tangan. Memeriksa takut ada yang tertinggal semua barang yang dia bawa hari ini. "Siap Nanaz, ada lagi gak? Tar ada yang ketinggalan lagi kayak kemarin," keluh Jono sambil memasukkan beberapa warna balon ke kardus. Nazla menoleh pada asistennya. "Kemarin kan ketinggalan karena kamu ilangin di angkot. Bisa-bisanya sih kamu ketinggalan itu bungkusan di angkot." Nazla lalu kembali membantu Jono dengan ikut memasukkan beberapa helai kain untuk dibawa. Hari ini ia menerima orderan memasang dekorasi untuk Aqiqah di sebuah rumah milik seorang manajer perusahaan. "Abis gimana coba. Itu bungkusan gak boleh taro depan. Sementara eike duduk di depan, samping pak supir yang cakepnya ampun-ampunan. Pengen banget eike gigit kecup-kecup dan kunyah-kunyah itu pipi bakpaonya. Sungguh tampan tiada tandingan. Nah pas eike turun, dia senyum Nanaz, melayang dah eike ampe lupa napak di atas tanah." "Eh setelah itu mobil melaju kencang, eike baru sadar kalau eike melupakan bungkusan eike di belakang." Jono menggeleng sambil menghempaskan rambut panjangnya yang dia ikat dengan karet ke belakang. "Eh tapi eike dah berusaha Nanaz, mempertanggung jawabkan perbuatan eike. Eike kejar itu angkot sampai sendal eike ilang satu, tetap gak kekejar." Nazla terkekeh. Tentu ia ingat bagaimana Jono datang dengan napas ngos-ngosan dan memakai sendal hanya sebelah. Ia pikir lelaki itu kerampokan, ternyata mengejar angkot yang membawa bungkusannya. Saat itu Nazla bukannya mau marah atau mengamuk, tapi dia tertawa terpingkal-pingkal. "Ya udah sekarang kita naik bajaj saja, biar gak ada drama ketinggalan barang lagi di angkot. Repot kalau ini ketinggalan juga. Soalnya stoknya gak banyak." "Semua sudah beres Nanaz. Eike dah iket semua jadi satu. Capcusssss." Jono menyampirkan tas kecil di bahu, lalu melenggok berjalan keluar, membawa beberapa tas besar berisi balon dan tirai. Nazla menutup toko yang ia miliki. Toko yang ia beri nama dengan nama Toko BUNGA ALINA. Nama untuk putri kecilnya, supaya ia terus mengingat mendiang bayinya dulu. Jadi saat ada orang bertanya tentang tokonya, Nazla selalu mengatakan nama toko ini diambil dari nama putrinya yang sudah berpulang. Ia akan menceritakan dengan wajah penuh cahaya, sambil membayangkan wajah imut yang ia lihat dari sebuah foto. Mungkin hanya itu hal baik yang Emma berikan padanya. Memfoto wajah putri kecilnya sebelum dimakamkan. Ia bahkan simpan foto itu dengan baik, seolah takut rusak dan ia tak bisa lagi memandangnya. Nazla bahkan membuatnya beberapa lembar. Salah satunya Nazla beri pigura dan ia letakkan satu di meja kerjanya. Ia selalu tersenyum sambil menatap pigura itu. Tak lama bajaj yang mereka kendarai sudah sampai di sebuah rumah yang lumayan besar. Nazla membayar ongkos bajaj. "Ambil saja kembaliannya bang." "Makasih bu." Jono yang mendengar, mendelik. "Nanaz! Itu ongkos bajaj sudah mehong! Yey malah kasih kembalian lagi! Rugi bandar atuh!" "Gak apa, gak tiap hari kan!" "Yey nih gimana sih! Sudah capek mulut eike nawar ampe bibir kriting! Tahu gitu, Eike gak nawar tadi ah!" Tak mempedulikan ocehan Jono, Nazla mencocokkan alamat di tangannya. "Bener ini rumahnya Jono," tunjuk Nazla pada rumah di depannya. Jono ikut menoleh. "Ya ampun Nanaz, kenapa sih kita dapat job di rumah gede mulu, megah lagi. Duh eike ngiler, kapan ya ampun punya rumah sebesar ini." Jono menggigit jari telunjuknya. Satu tangannya dipakai untuk menutup wajahnya yang tertimpa cahaya matahari. "Mau punya rumah ini cuma dengan ngiler aja sih, gak bakal dapat-dapat kamu." "Ih Nanaz bisa aja yey bercanda." Jono menepuk pelan pundak atasannya. "Udah yuk kita masuk, gak enak. Sebentar lagi acara di mulai." Jono tidak berdusta. Rumah ini lebih besar dari rumah mereka. Tapi bagi Nazla rumah sebesar ini pernah ia miliki saat menjadi istri Fendi dulu. Ia pikir dulu ia akan bahagia, bersama suaminya seperti orang pada umumnya. Ribut kecil mungkin akan ia terima. Tapi ternyata jodohnya hanya sebentar. Itu membuktikan jika rumah besar dan megah tidak menjamin hidupnya dulu bahagia. Buktinya, Nazla lebih bahagia hidup di rumahnya yang sekarang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD