PART 12 - ACARA AQIQAH

2695 Words
Gerbang rumah ternyata sudah terbuka lebar. Atau memang sengaja untuk tamu yang berkunjung hari ini. Jadi Nazla dan Jono langsung masuk ke dalam teras. Ia tersenyum pada beberapa orang yang juga tengah mempersiapkan kursi untuk persiapan nanti siang. Seorang wanita cantik dengan tubuh agak berisi menyambut kedatangan Nazla dan Jono. Hera, istri seorang manajer perusahaan ternama, adalah wanita yang memakai jasa Nazla untuk mendekor di hari acara aqiqah putri pertamanya. "Selamat datang di rumah saya Mbak Nazla." Senyum Hera ramah sekali. "Terima kasih Bu Hera. Ini kenalkan asisten saya." Hera menoleh ke arah samping, tepatnya pada Jono. "Saya Ice, mom." Jono menjabat tangan Hera dengan gerakan gemulai. "Ice? Ice apa Jono?" Hera berkelakar. Pasalnya ia pernah mendengar Nazla akan datang bersama sang asisten bernama Jono. "Aishh suka-suka Mom aja deh. Dari pada eike diberi ceramah bos eike. Terserah panggil Jono juga bebas." Jono menutup mulutnya geli. Hera tergelak. Ini yang ia suka dari Nazla dan asistennya, ramah pada siapapun. Hera mendapat rekomendasi dari temannya yang pernah memakai jasa Nazla, dan ia cukup terkesan dengan jari lentik Nazla dalam mendekor. Apalagi dalam pekerjaannya Nazla hanya dibantu Jono, sang asisten. Menurutnya itu luar biasa. Belum lagi harga yang ditawarkan Nazla tidak semahal orang lain, tentu dengan hasil dekor yang masih tak kalah bagus. "Mana ruangan yang mau saya hias ya Mbak Hera?" tanya Nazla sambil meneliti rumah Hera. "Mari masuk Mbak Nazla, Mas Jono." Mereka pun memasuki ruang depan pertama yang ada di rumah Hera. "Ruang depan ini saja. Segini," unjuk Hera pada ruang depan rumahnya. Nazla memandang dan mengangguk. Mencoba meneliti dengan perhitungan cepat. "Oke, saya pasang sekarang ya, biar nanti cepat selesai." "Silahkan Mbak Nazla." Nazla menoleh pada Jono. "Jono, kita mulai," titahnya pada sang asisten. "Siapp Nanaz." Jono bergegas membuka dua buah tas yang ia bawa. Mengeluarkan beberapa tirai yang sudah ia persiapkan. "Box bayinya sekalian keluarkan ya Mbak Hera, biar aku dekor." Nazla menoleh pada Hera. "Oh iya, sebentar." "Nanaz, ini aku mulai dari sini ya?" tunjuk Joko pada dinding di sebelahnya. "Iya Jono, awas jangan salah warna, seperti yang di foto ya." "Siap Nanaz." Jono langsung melaksanakan tugas. Tak lama Hera keluar sambil mengendong bayi perempuan. Nazla melihat sekilas pada sang bayi. "Bayinya perempuan ya mbak, cantik. Seperti ibunya." Nazla membelai pipi mungil itu. Ada rasa sesak setiap kali melihat bayi mungil begini. Membuat matanya tak henti berkaca. "Mbak Nazla sudah punya anak?" Hera bertanya sambil meneliti mata Nazla yang terlihat sendu. Nazla tersenyum. "Sudah, tapi meninggal." Tatapannya berubah pilu. "Ketika dilahirkan." "Ya Tuhan, maaf saya gak tahu." Hera sungguh tak enak hati. Pantas mata Nazla terlihat berkaca ketika menatap putrinya ini. "Gak apa kok, itu sudah lama berlalu. Cuma saya kalau lihat bayi ya begini, cengeng. Apalagi bayi perempuan. Karena putri saya juga perempuan." Nazla menghapus sudut matanya. "Sabar ya mbak, saya yakin mbak bisa dapat lagi kok." Nazla menghela napas. "Aminnn." Jono yang menjawab. "Kebetulan saya juga sudah bercerai, jadi untuk punya bayi itu harus menikah dulu kan? Harus cari calon ayahnya dulu." Nazla mencoba bergurau. Hera hanya menganga. Kasihan sekali. Padahal menurut Hera, wanita di depannya ini sangat cantik. "Oh jadi Mbak Nazla sudah bercerai?" "Maklom lah Mbak Hera, lekong mata keranjang sampah gak layak dipertahankan." Jono kembali bicara. Ya ampun, laki-laki itu bodoh sekali. Pikir Hera. "Saya ikut prihatin Mbak Nazla. Tapi mbak Nazla cantik, pasti bakal banyak yang suka. Kalau atasan suami saya malah kebalikan mbak. Saat istrinya melahirkan, istrinya meninggal dan anaknya hidup. Lebih kasihan lagi ya." "Oh ya?" Mata Nazla membola. Malang sekali nasib anaknya. Ditinggal ibu saat masih bayi. "Iya, mana sampai sekarang bos suami saya masih menduda. Mungkin karena teringat terus sama mendiang istrinya." "Iya benar ya, kita gak bisa tahu akan seperti apa takdir kita ke depan." "Aduh kok jadi ngobrol, saya mulai saja ya mbak mendekornya, biar cepat." Nazla menoleh pada Jono. "Aku dekor box bayinya ya Jon," ucapnya pada Jono yang tengah memasang tirai. "Siap Nanaz, Eike dah mau kelar pasang sebelah sini." "Ibu Nazla beneran hanya berdua masangnya?" Hera menatap bagaimana Jono dan Nazla bekerja. Sungguh cekatan sekali. Padahal kalau melihat dekornya itu rumit. "Iya, saya cuma dibantu dia, tapi cepat kok." Ucapan Nazla benar, sebentar saja ia sudah menatap hasil karyanya. Dinding selebar empat kali tiga itu sudah terhias indah dengan tirai berwarna biru muda, biru tua dan putih, selaras dengan balon yang menjuntai dari dinding ke lantai. Hiasan nama bayi terpampang di dinding. Belum lagi dekorasi itu terlihat indah dengan lampu yang berkilap warna-warni. Lantai tempat box bayi sudah dihias dengan karpet bulu senada berwarna biru. Box tempat bayi pun sudah ia hias sedemikian indah. Sama mengusung warna tirai, biru dan putih. "Wah benar cantik ya Mbak Nazla. Saya suka sekali." Hera berdecak kagum. Ternyata kabar Nazla yang cekatan dalam bekerja memang bukan sembarang gosip, ia membuktikan sendiri hasilnya, memuaskan. Pilihannya tepat memakai jasa Nazla. Pantas Nazla terkenal sebagai tukang dekor. Balonnya pun terlihat indah. Jumlahnya pun fantastic. Dua ratus balon sudah dibuat sedemikian indah. Benar-benar mengagumkan. "Terima kasih kalau Mbak Hera suka." Rasa lelah di wajah Nazla langsung sirna melihat senyum kepuasan sang pelanggan. Tak lama dari arah kamar, keluar seorang lelaki yang Nazla yakin suami dari Hera, ayah dari sang bayi yang hari ini melangsungkan Aqiqah. "Bagaimana Mas, bagus gak?" Hera menatap suaminya yang berdiri di sampingnya. Suami Hera yang baru keluar kamar, melihat hiasan dekor yang Nazla pasang. "Suka sayang, bagus sekali." Lelaki tampan itu terlihat puas. "Ini suami aku Mbak. Mas Salman, ini Mbak Nazla yang pasang dekor." Nazla mengangguk ramah pada Salman pemilik rumah. Ia tersenyum melihat bagaimana pasangan ini terlihat bahagia. Mencubit hatinya yang paling dalam. Ia belum pernah merasakan seperti mereka. Entah apakah Tuhan berkenan memberikan kesempatan itu padanya. Memeluk bayi dalam dekapan dengan rangkulan lengan sang suami di pinggang. Sungguh romantis dan pastinya wanita bernama Hera ini hidup bahagia dengan suami yang terlihat penuh cinta saat menatap sang istri. Ya Tuhan aku iri sekali dengan nasib dan kebahagiaan mereka. Batin Nazla. Dia belum pernah seperti Hera, yang terlihat disayang dan dicintai oleh suaminya. "Sini, saya taruh dedek bayinya di box," pinta Nazla. Hera menyerahkan bayi perempuan yang sudah ia rias dengan sedemikian cantik. "Dia sudah kenyang minum asi?" Nazla menatap dengan senyum ke arah wajah sang bayi. Benar-benar bayi yang cantik, secantik Mamanya. "Sudah, biasa dia anteng beberapa jam kalau sudah minum susu." Gaun pink yang dikenakan bayi itu selaras dengan bando yang tersemat di kepala. Terlihat dia nyaman mengenakan acesoris yang disematkan Mamanya ini. "Cantik sekali kamu sayang." Nazla membelai pipi bayi merah itu. Seketika mata bayi itu terbuka dan tersenyum. "Ih senyum, jadi makin gemes deh kamu." Nazla meletakkan secara perlahan, bayi itu di box yang sudah ia dekor indah juga. Menatap sebentar pada bayi Hera yang kembali menutup mata sebelum berpaling pada yang punya rumah. "Dia tidur lagi." Nazla tersenyum. "Saya menunggu sampai acara selesai di sini." Nazla memberi penjelasan pada Hera. "Oh ya Mbak Nazla, saya sudah siapkan jika Mbak Nazla dan Jono mau mencicip hidangan di belakang. Jangan sunkan ya Mbak." Hera mengusap lengan Nazla. "Iya terima kasih ya mbak Hera, Mas Salman." Lalu Nazla mengajak Jono ke arah belakang. Menunggu hingga acara usai. Dan acara pun dimulai. Acara pertama diisi dengan pengajian ibu-ibu dari forum pengajian di dekat rumah Hera. Terus saja hingga waktu bergulir cepat. Dan terakhir adalah acara keluarga. Dimana tampak beberapa tamu yang merupakan rekan dan sahabat Hera juga Salman tampak hadir. Acara terakhir bisa dibilang cukup santai. Di sanalah biasa banyak yang bertanya tentang dekor Nazla dan ikutan pesan untuk acara mereka. Semoga hari ini pun sama, ada orderan sambungan. Begitu Nazla menyebutnya. Nazla mengikuti prosesi semua di rumah Hera itu dengan penuh rasa haru. Sesekali ia melangkah ke arah depan melihat proses akikah putri Hera dan Salman. Begini rasanya menikah dengan orang yang kita cintai, memiliki anak, disayang keluarga. Kapan aku mengalaminya Ya Tuhan. Apakah memang aku ditakdirkan hidup sendiri? "Nanaz, yey ngapain bengong. Udah gak usah melamun. Jodoh dan rejeki sudah diatur. Sekarang yey sudah cantik, sudah tahu merawat tubuh dan wajah. Angkat wajah cari cem-ceman jangan mengurung diri aja di kamar kalau malam. Yang ada gak bakal dapat cem-ceman." Jono mulai berorasi. Nazla mencubit lengan Jono dengan gemas. Jono memang semangat menjodohkan dirinya dengan lelaki ya h menurutnya baik dan pantas buat Nazla. Tapi sampai sekarang Nazla sendiri belum berminat menjalin hubungan dengan siapapun. Ia menunggu cinta menyapa hatinya. Mungkin terdengar lebay, tapi itu yang ia harapkan. Menikah atas dasar cinta. "Kamu suruh aku keluyuran malam-malam? Sembarangan. Dikata aku kupu-kupu malam apa?" jutek Nazla. "Ish yey tuh salah sangka. Maksud eike ke cafe sana, nongki-nongki minum kopi kek juice kek, sambil lirak-lirik gitu. Yey mah bukan kupu-kupu malam, tapi nyamuk-nyamuk nakal ha ha ha." Jono terkekeh geli. "Gigitan yey mematikan para kaum Adam." Nazla memutar bola matanya dengan jengah. "Aku cari suami Jono, bukan cari pacar." "Sebelum jadi laki juga kudu jadi pacar dulu Nanaz. Yey mau main comot untuk jadi laki? Mending kalau oke dan baik hati, kalau ketemu model si kutu kupret penghuni neraka itu, amit-amit cabang babi." "Huss jangan mengumpat kayak gitu, banyak tamu juga," protes Nazla sambil melirik pada ibu-ibu yang baru pada mengambil makanan. "Nanaz, kita ikutan makan yuk, eike dah lapar nih." Jono meraba perutnya yang sudah berdemo ala-ala pedagang kaki lima yang kena sidak pol-PP. "Yuk, kita ke belakang aja ya, di sini banyak tamu gak enak." "Iyalah, di sini eike malu kalau minta nambah he he he." Nazla ikutan terkekeh geli. Bersama Jono serasa nonton komedi. Ia yakin bisa awet muda. Sementara itu, sebuah mobil sedan jenis Audi A8 Plus sudah berhenti di depan rumah Hera. Dayan keluar beserta Andini dan Killa. Ia menuntun putrinya memasuki sebuah rumah yang dimiliki salah satu karyawannya, Salman. "Selamat datang Pak Dayan. Terima kasih atas kedatangannya." Salman dan istri menyambut kehadiran Dayan. Dayan memang terkenal ramah pada semua karyawan. Ia akan datang jika diundang dalam acara apapun oleh karyawannya. Salman melirik wanita yang dibawa atasannya. Ia mengenal wanita ini. Ia mengira atasannya ini akan melepas masa lajang dengan menikahi wanita cantik yang kini mendampinginya, tapi hingga ia pacaran, menikah dan memiliki bayi, atasannya itu masih saja betah melajang. "Selamat atas kelahiran putrimu, Salman." Dayan menjabat tangan Salman dan Hera dengan senyum hangat, begitupun Andini yang selalu bahagia bisa selalu mendampingi Dayan dalam segala suasana. Paling tidak dengan adanya dirinya disamping Dayan, tidak ada yang berani mendekati Dayan dan berniat mengambil alih posisinya sebagai satu-satunya calon pendamping Dayan, yang hingga kini belum terlihat sinarnya. "Killa, apa khabar sayang?" sapa Hera pada putri Dayan. Hera dan Salman juga sudah lama mengenal sosok Shakilla, yang selalu ikut bersama Ayahnya jika ada acara di luar jam kantor. "Killa baik Tante, dedek bayinya mana?" tanya Killa tak sabar. Matanya sudah lapar mencari ke belakang tubuh Hera. "Ada di dalam sayang. Yuk ikut sama Tante. Mari silahkan masuk Mbak Andini." Hera mempersilahkan Andini masuk, sementara tangannya sudah menggenggam telapak tangan Killa. Killa langsung menuju box bayi. "Wah dedeknya tidur, cantik ya," seru Killa dengan semangat yang tidak bisa ia sembunyikan. Killa selalu menyukai bayi. Menurutnya bayi adalah makhluk yang menggemaskan sekali. Dayan terkekeh. Putrinya ini memang begitu jika melihat bayi. Heboh sekali. "Habis minum s**u barusan, terus bobok deh," terang Hera. Ia menatap wajah Killa yang terlihat cantik. Hera pernah melihat foto ibunya Killa dari suaminya. Tapi melihat Killa ini, sama sekali tidak ada kemiripan antara ibu dan anak. Entah Killa ini mirip siapa? Yang jelas wajahnya pasti cantik jika sudah dewasa nanti. Lalu mata Killa menatap dekorasi yang ada di depan matanya. Matanya tampak menunjukkan kekaguman. "Tante balonnya banyak sekali," puji Killa dengan mata berkilat senang. "Killa mau sayang?" tanya Hera. Killa mengangguk. "Mau Tante, tirainya juga bagus." Killa membelai tirai yang terlihat memukau di matanya. "Kalau tirainya, Tante gak bisa kasih sayang. Karena harus dikembalikan pada yang pasang." "Ini siapa yang masang Mbak?"tanya Andini. Ia ikutan memuji dekor yang tampak di depan mata. "Saya pakai jasa dekor Mbak Andini." "Oh pantas. Hasilnya indah." Dayan ikutan bicara. "Papi, Killa mau ulang tahun Killa seperti ini." Killa menoleh pada Dayan. "Boleh bang, aku setuju. Ultah Killa kan sebentar lagi. Killa mau seperti ini sayang?" tanya Andini. "Mau Tante, bolehkan Papi?" Kembali gadis kecil itu bertanya. Dayan tersenyum. Apapun akan ia berikan pada putrinya, selama ia bisa melihat senyum Shakilla. "Boleh sayang, nanti kita minta nomor telepon tukang dekor sama Tante Hera," jawab Dayan. "Kebetulan tukang dekornya masih ada di belakang. Nanti saya kenalkan sama Pak Dayan dan Mbak Andini ya." "Boleh Mbak Hera. Biar aku nanti bicara sama dia." Nazla baru selesai makan, ketika melihat pemilik rumah dan istrinya ke dapur. Hera dan Salman. "Tolong ya Ma, berikan makanan yang paling enak untuk atasan Mas." Salman tampak mengingatkan istrinya. Nazla dan Jono saling bertukar pandang. Salman dan Hera terdengar berdiskusi. Sepertinya ada tamu agung. Begitu pikiran Jono. Hera mengangguk. Salman yang hendak keluar, berbalik lagi. "Sayang jangan lupa, keluarkan es krim sekalian untuk putrinya Pak Dayan ya." "Iya Mas. Eh Mas, itu pacarnya Pak Dayan yang dulu kan ya? Yang dulu adik iparnya Pak Dayan. Kok mereka belum nikah-nikah ya? Perasaan ama kita dulu, pacarannya duluan mereka ya? Tapi kenapa gak nikah-nikah sih? Secara cantik sama ganteng gitu, apa lagi coba yang ditunggu." Hera berkata sambil mengeluarkan beberapa jenis es krim dari lemari esnya. Lidah Jono langsung menjilat bibir. Ia juga menyukai es krim! "Huss, jangan gosip. Itu urusan Pak Dayan, kita kan cuma lihat dari luar saja, gak tahu gimana hubungan mereka. Sudah ah, Mas mau ke depan, mau ajak mereka ngobrol lagi." "Ini Mas sekalian bawa es krimnya buat Killa." Hera menyerahkan beberapa bungkus es krim pada suaminya. Jono iseng mendekati istri Salman. "Ada apa sih Mbak Hera? Heboh amat kayanya." Nazla memutar bola matanya. Jono dan kekepoannya yang akut mulai beraksi. "Itu lho atasannya Mas Salman, yang tadi saya ceritakan sama Bu Nazla. Yang dulu istrinya melahirkan dan anaknya hidup. Dia datang kemari memenuhi undangan." "Oh." Nazla mengangguk sambil menghabiskan minumannya. "Mas Jono kalau mau es krim, ambil aja ya di kulkas." "Ah siap Mbak Hera. Saya memang penyuka es krim." "Sengaja saya beli buat anaknya bos." "Ganteng gak bu?" Jono kicep. "Siapa? Bos Mas Salman?" "Iyalah Bu, masa bos Eike sih. Kan bos eike mah cantik jelita." Jono melirik Nazla. "Bukan ganteng-ganteng lagi. Ganteng banget." "Oh My God. Beneran bu?" Jono terpekik. Tak lupa dengan tangan yang memegang pipinya, ala-ala waria yang suka mangkal di lampu merah. Nazla menggeleng heran. "Lihat sana kalau gak percaya." "Oke, asiaapppp Capcussss." Jono segera melesat pergi. Tak lupa dengan kibasan rambut kuncir kudanya. Sementara Nazla dan Hera terkekeh geli. "Oh ya Mbak Nazla. Sepertinya atasan Mas Salman menyukai dekor Mbak Nazla." "Oh ya?" Wah, akhirnya beneran dapat pelanggan baru. Semoga saja! "Iya, justru mereka tanya siapa yang dekor. Makanya saya kasih tahu Mbak Nazla. Kayaknya mereka mau pakai untuk acara ulang tahun putrinya Pak Dayan." Mata Nazla berkilat. "Terima kasih sekali Mbak." Tentu saja Nazla senang jika ada yang menyukai hasil dekornya, itu berarti akan banyak pesanan di kemudian hari. Memang pelanggan ini semua mengetahui dari mulut ke mulut, juga kepuasan yang mereka lihat. Nazla tak pernah pasang iklan dimanapun. "Nanti selesai ngobrol di depan, Mbak Andini akan tanya-tanya sama Mbak Nazla." "Iya siap. Eh Mbak Andini itu calon istrinya?" tanya Nazla lagi. Hera mengangkat bahu. "Entahlah, setelah istrinya meninggal, Pak Dayan itu belum menikah lagi. Tapi kalau kemana-mana ya cuma Mbak Andini ini yang mendampingi. Heran sih sampai sekarang masih belum nikah juga." "Oh gitu." Kepala Nazla mengangguk. "Mbak Andini itu adik dari mendiang istrinya Pak Dayan. Kalau mereka nikah kesannya kayak turun ranjang gitu." Benar juga sih. "Ya udah saya ke depan dulu ya, silahkan dicicipi lho makanannya." "Terima kasih Mbak Hera, ini juga baru selesai makan." Hera berjalan ke ruang depan dan hampir bertabrakan dengan Jono yang kembali dengan wajah sumringah. "Aish, maaf Mbak Hera." Jono tersipu malu. Lalu Jono mendekati Nazla. "Ya ampun Nanaz, yey kudu lihat ke depan, Ya ampun itu lekong gantengnya booook gak kaleng-kaleng. Astagaaaaa mirip kaya di sinetron banget, ih gemessss deh! Pokoknya ya, kalah deh abang supir angkot yang bawa lari bungkusan eike dulu. Ini beneran pengen banget eike peluk dan bersandar di dadanya." "Ya Tuhan, kok bisa sih ada orang ganteng selangit dan gak turun-turun gitu ya!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD