Dua

1738 Words
“Kak Nad… Kamu yakin akan pergi? Kamu kan nggak tahu disana seperti apa. Kita juga nggak ada saudara di dekat sana. Kalau ada apa-apa sama kamu gimana?” Jihan terus membujuk Nadia agar mengurungkan niatnya. Nadia tersenyum lembut kemudian duduk di samping ibunya. Dia menghentikan sejenak aktivitas menyiapkan keperluan yang akan dibawa ke tempatnya yang baru. “Ma…Bukannya Mama yang selalu bilang kalau dimanapun kita berada akan selalu ada Allah yang melindungi dan menolong kita. Jadi Mama jangan khawatir ya, Ma,” kata Nadia. Wanita yang baru mendapat gelar dokter itu menggenggam tangan Jihan. Sebenarnya Nadia sendiri merasa gugup karena akan tinggal dalam waktu lama di tempat yang sama sekali belum pernah didatanginya. Namun, dia tidak ingin membuat kedua orang tuanya khawatir jika dia menunjukkan perasaannya itu. “Iya, Kak. Tapi…Emm, Mama minta maaf sama kamu ya, Kak. Waktu itu Mama bukannya bersimpati malah menjatuhkanmu,” kata Jihan. Malam setelah Nadia menceritakan masalahnya, Jihan sudah sangat menyesal. Nadia memang melakukan kesalahan karena tidak menuruti nasihatnya. Namun saat anak sulungnya itu bersedih sudah seharusnya dia sebagai ibu menenangkan dan menghibur. Bukannya menyalahkan Nadia seperti yang dilakukannya saat itu. “Mama nggak salah. Aku yang salah karena nggak patuh sama Mama dan Papa. Mungkin saja Allah membuat Abimanyu lebih memilih pergi meninggalkanku adalah bentuk peringatan atas kesalahanku ini,” kata Nadia sambil menundukkan kepala. “Iya, Kak. Allah pasti sedang memberikan jalan yang terbaik untuk kamu, untuk Mama dan Papa juga,” kata Jihan menyetujui. Nadia mengangguk lalu memandang Jihan. Dia selalu merasa sangat nyaman jika sedang berbincang santai dengan ibunya seperti ini. “Jadi…Kamu nggak jadi pergi kan, Kak?” kata Jihan penuh harap. Nadia tertawa singkat, “Mama ini gimana sih? Kan waktu itu Mama sama Papa setuju dengan keputusanku ini. Ini aku udah tinggal berangkat loh, Ma. Tiga jam lagi mobil travelnya datang, masa iya sekarang aku batal berangkat begitu aja,” kata Nadia. “Iya sih, Kak. Tapi kan waktu itu Mama sama Papa kasih izin karena kami kasihan sama kamu. Selama di rumah kamu kelihatan selalu sedih. Bahkan adik-adikmu bisa merasakan kalau Kak Nad tidak seperti biasa,” kata Jihan. “Makanya, Mama jangan menahanku untuk pergi ya. Jujur sampai sekarang aku masih kecewa, Ma. Kecewa dengan Abimanyu yang tidak tepat janji, juga kecewa dengan diriku sendiri yang sudah bersalah sama Papa dan Mama,” kata Nadia. “Aku mohon ridhonya ya, Ma. Cuma sementara. Sampai aku bisa menata hatiku lagi,” lanjut Nadia berusaha meyakinkan. Mata Jihan berkaca-kaca. Ini bukan kali pertama Nadia meminta izin untuk pergi keluar kota dalam waktu yang lama. Gadisnya itu sudah pernah melakukan pengabdian di desa saat menjalani internship dulu. Namun, entah mengapa kali ini Jihan merasa berat melepaskan Nadia pergi. Jihan mengusap lembut kepala Nadia, “Mama ridho kepadamu, Kak. Semoga ridho Allah juga selalu menyertaimu. Mama pesan, apapun yang terjadi jangan pernah meninggalkan sholat,” ucap wanita paruh baya itu. “Iya, Ma,” kata Nadia. Kedua ibu dan anak itu kemudian berpelukan. Tidak beberapa lama, Arsya masuk ke kamar Nadia. Jihan masih sempat melihat suaminya itu mengusap ujung matanya saat berjalan mendekati mereka. “Eh, ada apa ini? Kok ada acara peluk-pelukan kayak gini? Mana Papa nggak diajak,” ucap Arsya yang kemudian duduk di sebelah Nadia. Pria itu seakan ingin menghangatkan suasana. Posisi Nadia sekarang diapit kedua orang tuanya. “Pa? Sudah pulang?” tanya Nadia setelah mencium tangan ayahnya. “Iya dong, Kak. Sebenarnya dari pagi Papa sudah nggak tenang ingin pulang. Tapi karena terlanjur ada janji ketemu dengan klien jadi terpaksa Papa harus ke kantor dulu,” kata Arsya. Nadia mengangguk. Dia sangat paham bagaimana karakter ayahnya, pantang melanggar janji. Ayahnya itu juga tipe pria yang tidak mudah memberi janji. “Ditunda kan bisa, Mas, sebenarnya,” kata Jihan yang lebih terdengar seperti gerutuan. “Kamu tahu kan, Ji aku seperti apa? Bukannya sikapku ini yang membuatmu tetap mencintaiku sampai sekarang,” goda Arsya. “Apaan sih, Mas? Ada anaknya juga. Kenapa malah bicara seperti itu,” lagi-lagi Jihan menggerutu. Arsya dan Nadia tertawa sedangkan Jihan memalingkan wajah. Dalam hati Nadia yakin bahwa dia akan merindukan momen seperti ini. Saat-saat kedua orang tuanya tidak pernah sungkan menunjukkan kemesraan di depannya dan adik-adiknya. Dia berharap suatu saat bisa memiliki hubungan semanis kedua orang tuanya itu. Nadia segera menggeleng untuk menghilangkan bayangan di benaknya. Baru saja dia dikecewakan oleh laki-laki, sekarang malah memikirkan tentang hubungan pernikahan. “Kenapa, Kak? Tuh kan, Pa. Nadia sampai geleng-geleng kepala melihat kelakuan kamu,” kata Jihan. “Nggak kok, Ma. Bukan karena itu. Aku suka lihat Papa dan Mama selalu mesra seperti ini,” kata Nadia sambil melambaikan kedua tangan didepan dadanya cepat. Dia tidak menyangka ibunya jadi salah paham. “Tuh, Ji. Nadia aja suka lihat kita kayak gini. Kenapa justru kamu yang protes?” cibir Arsya. Jihan menghela nafas kemudian menggelengkan kepala. Suaminya itu memang kadang menggemaskan. “Itu semua barang bawaan kamu, Kak?” tanya Arsya mengalihkan pembicaraan. Dia menunjuk dengan dagu ke tempat koper dan beberapa tas Nadia yang lain. “Iya, Pa,” jawab Nadia. Dia kemudian berjalan menuju ke kopernya yang masih terbuka. “Aku sambil melanjutkan packing ya, Ma, Pa,” ucap Nadia meminta izin. “Iya, Kak. Dilanjutkan aja. Pasti tadi Mama ya yang mencoba menghentikan niat Kak Nad untuk pergi?” tebak Arsya. Ayah Nadia itu melirik Jihan singkat. Seperti yang diduga, sang istri langsung memberikan pelototan kepadanya. Lagi-lagi Nadia hanya menggeleng dan tersenyum dengan sikap kedua orang tuanya itu. “Diteliti lagi, Kak. Jangan sampai ada kebutuhan yang ketinggalan. Kamu bilang desa tempat kamu akan bertugas ini cukup jauh dari pusat kota,” kata Arsya dari tempatnya duduk. Sejak tadi pria itu terus memandang lekat ke arah Nadia. “Iya, Pa,” jawab Nadia. “Mas! Kamu kenapa bicara seperti itu? Kayak menyuruh Nadia nggak kembali aja,” sergah Jihan mengingatkan. “Loh! Salahku dimana, Ji? Aku benar kan? Bisa gawat kalau ada kebutuhan Nadia yang ketinggalan. Dimana dia bisa cari kalau jarak desanya dari pasar sangat jauh,” kata Arsya tidak mau kalah. “Yah kan kalau ada yang ketinggalan kita bisa antar,” kata Jihan. “Hehhh, kamu ini, Ji. Iya kalau jaraknya cuma beberapa menit. Ini Nadia butuh lebih dari dua belas jam loh ke lokasi. Itu pun harus melewati beberapa hutan,” kata Arsya terlihat gemas. “Hahhh? Dua belas jam lebih? Lewat hutan-hutan?” tanya Jihan tidak percaya. Nadia menggigit bibir bawah kemudian mengangguk pelan. “Kenapa kamu nggak bilang sebelumnya, Kak? Kamu juga gimana bisa tahu, Mss?” tanya Jihan tidak percaya. “Emm, aku juga baru tahu waktu pesan travel, Ma,” kata Nadia nyengir. Jihan dengan mata masih terbuka lebar mengalihkan pandangan pada Arsya untuk meminta penjelasan juga. “Aku juga baru tahu beberapa hari lalu, Ji. Aku meminta seseorang untuk mencari informasi tentang tempat yang akan Nadia datangi. Dari orang itulah aku tahu bagaimana medan menuju kesana,” kata Arsya. “Terus gimana, Mas? Kak Nad? Masa iya kamu akan tetap berangkat?” tanya Jihan yang menjadi semakin khawatir. “Yah tetap berangkat dong, Ji. Buktinya Nadia tetap pesan tiket travel,” jawab Arsya. Nadia mengangguk menyetujui sang ayah. Jihan menghela nafas lemah. Entahlah, perasaannya yang semula mulai tenang kembali dilema. Akan tetapi rasanya tidak ada yang bisa dia perbuat lagi karena Nadia tetap pada pendiriannya. “Tenang, Ji. Kamu nggak perlu terlalu khawatir. Kamu tahu kan Nadia seperti apa? Selama ini dia sudah terlatih hampir di segala kondisi,” kata Arsya sambil merangkul bahu Jihan. “Tapi, Mas…,” Jihan terus memandang kepada Nadia. “Percaya sama Nadia ya,” kata Arsya. Jihan memandang lesu pada suaminya lalu mengangguk lemah. Nadia tersenyum lalu bersimpuh di depan kedua orang tuanya. “Doakan aku ya, Ma, Pa,” ucapnya meminta restu. “Kami akan selalu mendoakanmu, Kak,” ucap Arsya sembari mengusap lembut kepala Nadia. Jihan mengangguk lalu melakukan hal yang sama dengan suaminya. “Kamu sudah pamitan sama Eyang?” tanya Jihan. Nadia menggeleng, “Belum, Ma,” jawabnya. “Ya sudah kamu lanjutkan saja packingnya. Kalau sudah selesai langsung ke bawah ya, Kak,” kata Jihan. “Iya, Ma,” jawab Nadia. Setelahnya, Jihan dan Arsya pun keluar meninggalkan Nadia di kamarnya. Kedua orang tua itu membawa masing-masing dua tas Nadia yang sudah siap. Sejenak Nadia termenung setelah selesai bersiap-siap. Dia memandang sekeliling kamarnya. Sudah banyak hal yang dia lakukan di ruangan ini. Mulai dari berjuang masalah akademik juga bertahan dengan kisah kasihnya. “Bismillah… Semoga ini bisa menjadi jalan yang terbaik,” ucapnya berusaha menguatkan diri lahir dan batin. “Sudah siap, Kak?” tanya Arsya begitu Nadia sampai di lantai satu rumah kakeknya. “Sudah, Pa,” jawab Nadia mantap. Nadia tersenyum kemudian menghampiri tempat semua anggota keluarganya berada. Sepertinya mereka semua sengaja berkumpul di ruang tengah untuk melepas kepergiannya. Nadia berpamitan pada semua dengan menyalami satu persatu. Air mata pun tidak bisa dibendung dari mata masing-masing. Mereka saling memberi pesan satu sama lain. Hingga beberapa waktu kemudian Nadia mendapat telepon dari sopir travel yang akan menjemputnya. “Siapa, Kak?” tanya Jihan setelah Nadia menutup sambungan teleponnya. “Sopir travel, Ma. Sepuluh menit lagi mau sampai katanya,” jawab Nadia. “Kalau begitu kita angkut barang-barangnya ke depan sambil menunggu travel yang mau jemput kamu ya, Kak,” tawar Arsya. “Iya, Pa. Boleh,” jawab Nadia. “Mas, kenapa kamu yang kayak ingin Nadia cepat pergis sih!” protes Jihan. “Bukan gitu, Ji. Yah kan daripada nanti sopir travel dan penumpang lain menunggu lama kan jadi nggak enak. Iya kalau mereka nggak buru-buru,” kata Arsya memberi penjelasan. “Iya, Ma. Papa benar. Barang bawaanku kan sebanyak ini. Kalau nunggu mobil datang baru diangkut keluar kan jadi tambah lama nanti,” kata Nadia. “Kalian berdua ini kenapa kompak banget sih hari ini,” kata Jihan kesal. Nadia dan Arsya berpandangan lalu sama-sama nyengir. Tidak berapa lama menunggu, mobil yang menjemput Nadia pun datang. Wanita itu meminta sopir membawa mobil masuk ke gerbang karena barang bawaannya yang terlampau banyak. Arsya dan adik-adik Nadia yang laki-laki estafet memindahkan tas dari teras rumah ke bagasi mobil. Setelah semua barang masuk, Nadia kembali berpamitan pada seluruh anggota keluarganya. “Pa, aku pergi dulu ya,” kata Nadia pada Arsya. Pria itu memang sengaja menjadi urutan terakhir menerima uluran tangan sang putri. “Kak… Kalau kamu masih mau berubah pikiran, Papa siap lho bayar ganti rugi untuk pembatalan keberangkatan kamu ini,” ucap Arsya. “Papa!!!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD