bc

Bangun Cinta

book_age16+
9
FOLLOW
1K
READ
fated
mate
goodgirl
powerful
sweet
bxg
lighthearted
coming of age
gorgeous
sacrifice
like
intro-logo
Blurb

Demi mengobati kesedihan karena sang kekasih memilih pergi melanjutkan pendidikan, Nadia memilih mengabdikan diri di sebuah desa. Tapi sayang niat baiknya tidak segera menemukan jalan mulus.

Tekad bulatnya sebelum berangkat ke desa ini membuatnya tidak ingin menyerah. Dia bahkan rela meminta seorang petani muda bernama Galih menikah dengannya.

Namun saat Nadia sudah mengizinkan Galih menjadi bagian hidupnya, pria itu mengatakan sebuah rahasia besar. Ada seorang wanita yang dia janjikan untuk dinikahi sebelum bertemu Nadia.

Nadia merasa patah hati lagi. Dia menjadi dilema, akankah dia akan menyerah seperti dulu atau mempertahankan Galih tetap berada di sisinya?

Cover by Ai

Made with Canva

chap-preview
Free preview
Satu
"Bi… Apa tidak sebaiknya kita menikah dulu saja? Biar ikatan hubungan kita kuat," tawar Nadia yang lebih mengarah pada permintaan. Sepertinya dia terkena karma karena selama ini sangat anti dengan wanita yang menyatakan cinta kepada laki-laki lebih dulu. Sekarang dia bukan lagi menyatakan cinta tapi justru melamar pria untuk menjadi suami. "Nadia, bukannya aku tidak mau menikah denganmu. Hanya saja saat ini adalah waktu yang paling tepat untukku melanjutkan studi. Mumpung kedua orang tuaku bersedia membiayai pendidikan sekaligus biaya hidupku,” kata Abimanyu. “Aku tidak akan menghalangimu untuk mengambil pendidikan spesialis paru di Malang, Bi. Aku hanya ingin agar hubungan kita diresmikan secara hukum pemerintah dan agama. Aku tidak akan menuntut apa-apa selama kamu masih menjalani pendidikan,” ucap Nadia berusaha meyakinkan sang kekasih. Meskipun tidak pernah ada kata ikrar peresmian hubungan mereka namun baik Nadia maupun Abimanyu sudah saling terikat satu sama lain. Kedekatan mereka selama menjalani coass di salah satu rumah sakit pemerintah satu tahun terakhir ini membuat Nadia merasa hubungan mereka sudah cukup serius. Apalagi sempat terucap dari lisan Abimanyu bahwa pria itu akan segera menemui orang tua Nadia begitu mereka sama-sama mendapat gelar dokter. “Nadia, pernikahan itu adalah janji suci pria pada orang tua wanita di hadapan sang Pencipta untuk mengambil peran tanggung jawab lahir batas atas wanita. Ketika aku sudah mengucapkan ijab qobul dan disahkan para saksi, saat itulah aku sudah punya kewajiban menafkahi kamu lahir dan batin,” kata Abimanyu mulai memberi penjelasan. “Saat nanti aku sudah mulai menjalani pendidikanku, aku sudah bertekad untuk fokus dan totalitas dalam belajar. Oleh karena itu aku tidak yakin bisa melaksanakan kewajibanku terhadapmu, Nad. Aku tidak ingin jadi pria pendosa yang menelantarkan istrinya,” lanjut Abimanyu. “Nggak, Bi. Kamu nggak akan jadi pria seperti itu karena aku sendiri yang bersedia menjalani semua ini. Papa dan Mamaku juga pasti bisa akan mengerti dengan keadaanmu ini,” Nadia masih berharap Abimanyu berubah pikiran. “Aku minta maaf, Nadia. Aku tidak bisa memenuhi permintaanmu. Aku tidak ingin pendidikanku tidak tenang jika sekarang aku menuruti apa yang kamu minta ini,” kata Abimanyu. “Tapi, Bi. Bukannya kamu sendiri yang dulu berjanji akan menemui orang tuaku setelah kita menjadi dokter?” kata Nadia berusaha menagih janji Abimanyu. Abimanyu tersentak. Dia baru ingat kalau pernah mengucap janji semacam itu pada Nadia. Dia jadi berpikir mungkin saja ucapannya saat itu yang membuat Nadia bersikukuh dengan permintaannya. “Sekali lagi aku minta maaf, Nad. Mungkin saat itu aku sedang dalam keadaan tidak sadar ketika mengucapkannya,” kata Abimanyu yang seketika membuat Nadia lemas. “Tapi, Bi_” “Nadia… Aku tidak ingin memaksamu untuk menungguku sampai aku selesai dengan pendidikan spesialisku ini. Tapi… jika nanti aku sudah menjadi dokter spesialis paru dan belum menikah, aku janji kamu akan menjadi wanita pertama yang aku cari,” kata Abimanyu. “Jangan mengucap janji baru saat kamu baru saja mengingkari janjimu yang lalu,” kata Nadia dengan pandangan kosong. Abimanyu kembali tersentak. Kali ini pria itu langsung menunduk setelah mendengar hantaman kata tajam dari kekasihnya. Rasanya Nadia sudah putus asa membujuk Abimanyu agar bersedia menikahinya lebih dulu sebelum melanjutkan pendidikan. Dia paham bagaimana sikap Abimanyu jika sudah yakin dengan keputusannya. “Maafkan aku, Nad,” ucap Abimanyu. Nadia berdiri kemudian memaksakan senyum, “Semoga pendidikanmu lancar, Abimanyu. Aku salah sudah berharap padamu. Mamaku benar, berharap pada manusia hanya menimbulkan kecewa,” ucapnya dengan suara bergetar. “Nad?” Abimanyu terkejut saat mendengar Nadia memanggilnya dengan nama lengkap. Tidak lagi dengan panggilan ‘Bi’ seperti sebelumnya. Nadia secepat mungkin membalik badan karena sudah tidak lagi bisa menahan air matanya. Setengah berlari dia menuju ke tempat mobilnya terparkir dan segera masuk di kursi kemudi begitu sampai di depan mobil putih kesayangannya. Nadia menelungkupkan wajah pada tangannya yang bersandar pada kemudi. Bahunya bergetar mengiringi suara tangisnya yang berusaha ditahan. Dia tidak lagi memperdulikan jilbabnya yang basah karena derasnya aliran air dari indra penglihatannya. Dalam hati Nadia terus merutuki dirinya sendiri. Dia memaki kebodohannya sendiri karena selama ini lebih mengutamakan perasaan dibandingkan nasihat dari kedua orang tuanya. Selama ini kedua orang tuanya sudah mengingatkannya untuk tidak menjalin hubungan serius dengan pria manapun selain hubungan pernikahan. Tok. Tok. Tok. Nadia mendongak saat mendengar ada ketukan di jendela pintu mobilnya. Wajah sendunya berubah datar melihat siapa pelakunya. “Buka pintunya, Nad. Aku antar kamu pulang. Aku tidak mau terjadi sesuatu jika kamu menyetir dalam keadaan seperti itu,” kata Abimanyu yang terlihat panik. Meskipun Abimanyu merasa hubungan mereka untuk sementara waktu ini tidak bisa dilanjutkan, tapi perasaannya pada Nadia masih sangat besar. Tatapan mata Nadia menajam. Dia tidak malu menunjukkan wajahnya yang masih menyisakan lelehan air mata. Tanpa menghiraukan kepanikan Abimanyu, Nadia justru memutar kunci untuk menyalakan mesin mobilnya. “Nad! Buka, Nad! Turunlah! Biar aku yang mengemudi,” kata Abimanyu semakin keras mengetuk jendela dan memanggil Nadia. Nadia memalingkan wajah dan tanpa ragu menginjak pedal gas. Rasanya dia sudah tidak ingin lagi ada kompromi diantara mereka. Bukannya Nadia sudah benci. Hanya saja dia tidak ingin menambah catatan kebaikan Abimanyu di hatinya yang berakibat dua semakin sulit melupakan pria itu. Nadia rasa keputusan Abimanyu tadi sudah menjadi batas akhir hubungan mereka. Mengenai kemungkinan yang tadi Abimanyu ungkapkan, Nadia sama sekali tidak berharap hal itu akan terwujud. Kekhawatiran yang tadi Abimanyu utarakan hampir saja terjadi. Karena menyetir dengan kelajuan di atas rata-rata di jalan yang rapat kendaraan membuat Nadia hampir menyenggol sebuah gerobak bakso yang sedang melintas. Beruntung dia masih sempat menghindar sehingga tidak ada korban. Hanya saja dia tidak menolak saat tukang bakso memberinya bogem dari jauh disertai u*****n yang Nadia lihat dari kaca spion. "Astaghfirullah," ucap Nadia saat sadar dengan kecerobohannya. Dia sama sekali tidak menghentikan kendaraan karena takut akan menjadi bulan-bulanan massa. Dia pikir karena tidak ada yang terluka, maka tidak masalah jika tidak meminta maaf. Meskipun dalam hati kecilnya masih ada rasa bersalah karena membuat orang lain terkejut akibat perbuatannya. "Ini kalau Mama tahu pasti aku akan diomeli habis-habisan," kata Nadia pada dirinya sendiri. Dia baru bisa mengemudi dengan normal setelah mengalami kejadian menegangkan tadi. Nadia tidak langsung pulang ke rumah melainkan mampir dulu ke masjid perumahan. Dia ingin membasuh wajahnya dengan air wudhu dan sejenak menjalankan i'tikaf di masjid itu. Selain untuk menenangkan diri, dia juga ingin meredakan matanya yang masih bengkak karena menangis. "Papa?" baru saja Nadia menyelesaikan sholat sunnah dua rokaat, ponselnya berdering. Ada tulisan 'Papa' tampil di layar monitor benda pipih itu. "Assalamualaikum, Pa," ucap Nadia setelah menyetujui sambungan telepon mereka. "Waalaikumussalam. Kamu dimana, Kak?" ucap suara di seberang sana. Nadia tersentak karena suara sang ayah terdengar emosi. "Ini... Emmm... masih di masjid, Pa?" jawab Nadia. "Masjid mana? Jangan bohong kamu!" kata Arsya. Nadia tersentak. Entah apa yang sudah dia lakukan sampai membuat ayahnya semarah ini. Belum juga rasa sakit hati karena Abimanyu sembuh, sekarang jantungnya harus berdebar mendengar suara tajam Arsya. "Aku nggak bohong, Pa. Aku benar-benar di masjid," kata Nadia berusaha tegar. "Masjid mana? Coba, Papa mau lihat," kata Arsya. Beberapa saat kemudian terlihat permintaan panggilan video di layar monitornya. Nadia panik. Arsya pasti langsung tahu di masjid mana dia berada. Dia tidak ingin Arsya bertanya macam-macam jika tahu dia mampir ke masjid dan bukan segera pulang. "Aku pulang sekarang ya, Pa," kata Nadia yang langsung mematikan panggilan telepon dari ayahnya. Nadia segera melepas dan melipat mukenanya. Panggilan telepon yang terus masuk dari ayahnya tidak dihiraukan. Yang ada di pikiran Nadia saat ini hanyalah segera sampai di rumah sebelum keadaan semakin parah. "Nah itu dia anaknya pulang, Ji. Kamu nasihati dia biar nggak ugal-ugalan di jalan," ucap Arsya sambil menunjuk ke arah Nadia. Nadia yang baru setengah mengucapkan salam pun terkejut dengan keberadaan Arsya. Biasanya ayahnya itu masih di kantor di jam seperti ini. "Apa benar yang Papa tadi bilang, Kak?" tanya Jihan saat Nadia sudah dekat dan hendak mencium tangannya. Cara sang ibu memandang membuat Nadia ngeri. "Yang mana, Ma?" tanya Nadia takut-takut. "Papa bilang kalau kamu tadi ngebut di jalan. Kamu bahkan hampir menabrak penjual bakso dan nggak berhenti untuk sekedar meminta maaf," jawab Jihan. "Papa... Papa tahu dari mana?" tanya Nadia lirih. "Papa tadi ada di belakang kamu tahu. Tadinya Papa mau meeting, tapi karena lihat kelakuanmu terpaksa Papa membatalkannya dan pulang ke rumah untuk mencarimu. Ternyata saat Papa sampai, kamu malah belum ada," jawab Arsya. "Jadi benar apa yang Papa bilang?" tanya Jihan mengulangi pertanyaannya. "I... itu..." Nadia terbata. "Jujur saja, Kak Nad. Kamu tahu kan Mama paling tidak suka dibohongi?" kata Jihan sambil bersedekap. "Cerita sama Mama. Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Jihan lagi. Mata Nadia berkaca-kaca mengingat apa yang sudah terjadi. Mulutnya mulai terbuka, namun bukannya jawaban tapi suara tangisan histeris yang keluar dari sana. "Hwaaa....Mamaaa...." Nadia berlari mendekati Jihan dengan menangis keras. Dia segera memeluk erat sang ibu untuk meluapkan kesedihannya. Arsya dan Jihan berpandangan bingung dan terkejut dengan sikap kekanakan Nadia. Mereka tidak menduga anak sulung mereka melakukan hal ini. Seingat mereka, terakhir Nadia menangis seperti ini saat usia di bawah tujuh tahun. "Kamu kenapa, Kak? Apa yang sudah terjadi?" tanya Jihan panik. "Ma... Aku...Aku..."

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
206.1K
bc

Tentang Cinta Kita

read
190.6K
bc

Siap, Mas Bos!

read
13.5K
bc

My Secret Little Wife

read
98.6K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
3.6K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
15.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook