Kemunculan Byakko

2435 Words
Athela menatap jam tangannya. Malam nanti acara kamping dimulai, artinya dia hanya punya waktu beberapa jam untuk persiapan. Tak lama kemudian gadis berambut pirang itu menatap ke arah seragamnya yang basah. Pagi tadi hujan mengguyur kota, tapi sayangnya dia lupa membawa payung. Terpaksa dia harus hujan-hujan. "Kenapa dengan wajahmu, La?" Athela menatap sang sumber suara. Duduk di sampingnya Evelyne dengan gaya rambut baru. Bukan seperti kemarin, kali ini rambut merahnya diikat ke belakang. Tak lupa jepit rambut yang dia sematkan di dekat telinga hari ini terlihat lebih anggun. Warnanya biru laut dengan bentuk bunga teratai diukir sedemikian rupa. "Seperti biasa," jawab gadis berambut pirang itu. Evelyne selalu mencemaskan keadaan Athela. Bahkan luka gores sedikit pun. Pagi tadi Mama memukulnya karena bangun terlambat. Seperti kata pepatah sudah jatuh tertimpa tangga, sudah pegal dia tidur di luar ada saja alasan Mama untuk memukulnya. "Maafkan aku yang tidak bisa berbuat apa-apa," katanya menunduk. Jemari gadis itu memegang rok selutut kotak-kotak merahnya. Dia selalu terlihat seperti itu, dan itu membuat Athela merasa tidak nyaman. Saat kecil bahkan sebelum orang tuanya mendadak berubah kepribadian, mereka selalu bermain bersama. Saat Athela terluka, Evelyne selalu menolongnya. Bahkan tak segan-segan untuk mempertaruhkan nyawanya demi Athela. Apakah sebuah ikatan persahabatan sejauh itu? Mengorbankan nyawanya demi orang lain. Mungkin itu terdengar gila, tapi itulah kebenarannya. Mereka bermain bersama selama hampir lima belas tahun, yang dia tahu dari Evelyne hanyalah kesetiakawanan dan pengorbanan kepada teman-temannya. Lalu suatu hari saat dia menanyakan kenapa sejauh itu sampai bersedia meninggal, dia menjawab, "Karena aku tidak ingin kehilangan teman. Kau adalah satu-satunya temanku." "Ah, sudah-sudah. Itu tidaklah penting," katanya, "lalu lihatlah aku sekarang." Athela mendongakkan wajah Evelyne. "Aku baik-baik saja." Gadis itu mengangguk, mencoba meyakinkan Evelyne. Akhir-akhir ini ada satu hal yang bergumul di otaknya. Sebenarnya, mungkinkah manusia mengalami perubahan sisi emosional secara drastis seperti itu? Apa sebabnya? Apakah gangguan jiwa? Hal itu sungguh memaksa gadis itu memutar otak walaupun tidak berujung temu jawaban. Jika dia memikirkan hal gila, apakah dunia ini seperti novel-novel fantasi yang sering dia baca. Sebuah dunia yang--- "Eh, La!" teriak Evelyne, membuat Athela kaget. Sekejap saja teriakan sahabatnya itu memecah angan-angan Athela. Dia memutar bola mata malas sembari menatap Evelyne yang sedang menarik sudut bibirnya hingga menyungging senyum. "Ada apa?" tanyanya malas. "Bukankah hari ini kau berulang tahun?" Tepat sekali. Sekarang hari ulang tahunnya. "Lalu?" "Bagaimana jika nanti malam kita pergi ke kafe atau tempat makan lainnya saja, kita merayakan ulang tahun di sana---dan kau tidak perlu mendatangi kamping itu?" *** Tas yang berada di punggung Athela berat. Beberapa makanan siap saji dan peralatan masak ada di dalamnya. "Jika tidak mau, aku bisa berangkat sendirian." Dia menghentakkan kaki beberapa kali ke tanah. Ini kali pertama Evelyne tidak mau menemaninya. Rasa-rasanya sangatlah tidak nyaman. Jika biasanya selalu bersama Evelyne dan berbincang hangat sembari melihat bulan purnama, kali ini dia harus berjalan sendirian menuju titik temu para peserta kamping. Dia menghela napas dalam-dalam. Apakah keputusannya sudah tepat? Angan itu menyeruak di ubun-ubunnya. Manusia sering kali merasa bimbang ketika diberikan pilihan oleh Tuhan. Saat mulai yakin, ada saja sesuatu yang membuat keyakinan itu perlahan goyah. Barang kali lebih baik malam ini dia duduk bersama Evelyne di kafe yang sudah dipesan untuknya. Menyesap kopi kesukaan mereka dengan iringan petikan gitar klasik seperti di kota-kota. Lima menit lalu dia turun dari bus. Langkah mungilnya memaksa bebatuan licin di jalanan terjal itu berpindah tempat. Beberapa kali gadis itu mendongak. Bulan berbentuk bulat sempurna. Purnama telah tiba. Dapat dirasakan andrenalinnya sedikit menegang. Bulu kuduknya meremang kendati mendengar suara binatang malam dari kejauhan. Kejora di atas sana bertaburan di antara cahaya remang bulan. Jika dilihat saksama akan menyedapkan mata. Ditambah dengan sepoi angin yang memberi sensasi ingin melayang di udara. Jalanan menuju titik kumpul ini masihlah asri. Terlihat dari rimbunnya pepohonan di sekelilingnya. Sepuluh menit berjalan. Kaki mungilnya kini sedikit menyeret. Kedua kaki itu sepertinya sudah tidak mampu lagi menjadi tumpuan badan Athela dan tas besarnya. Hanya sisa-sisa tenaga untuknya bernapas. Udaranya semakin memburuk ketika dia semakin di atas. Ya Tuhan, sesak sekali! Dingin, sesak, seram. Semuanya bercampur jadi satu. Dia menatap ke peta yang ada di tangannya lalu melihat ke arah utara. Tampaklah ada kehidupan di sana. Seperti dinyalakan obor besar yang bisa dilihat sampai seratus meter, beberapa orang berkumpul. Tidak salah lagi, dia akan segera tiba. Bibir gadis itu tersenyum. Dia mempercepat jalannya agar segera tiba di sana. Perkara nanti kakinya nanti akan patah atau tidak, dia tak peduli. Baru lima langkah dia memangkas jarak menuju keramaian itu, suara seseorang menghentikannya. Getaran suara itu berjalan ke dinding-dinding indera pendengar dan sampai di gendang telinganya. Dia menoleh mencari sang sumber suara. Tepat di belakangnya ada sesosok gadis berambut merah yang tengah tersenyum kepadanya. Gadis yang sangat dia kenali. "Evelyne?" katanya dengan nada terkejut. Gadis berambut merah itu tertawa renyah. "Bukankah kau mengatakan tidak akan mengikutiku sampai ke sini?" "Kapan aku mengatakan itu? Aku hanya khawatir jika nanti terjadi sesuatu padamu. Itu saja." Jaket bulunya terkena tiupan angin, dia menggigil kedinginan. Sejak kecil tubuh Evelyne memang ringkih. "Ya sudah ayo cepat ke sana." Tangan Evelyne menarik Athela. Mereka berjalan dengan tergesa. Terpaksa, Athela harus menyejajarkan langkah tergopoh-gopoh Evelyne. "Jangan cepat-cepat. Kau kedinginan." Evelyne masih diam tak merespons perkataan Athela. Baru kali ini dia dicampakkan oleh sahabatnya seperti itu. "Ini demi kebaikanmu. Dengarkan aku."---langkahnya terhenti sejenak---"kau tidak boleh pergi ke mana pun tanpa sepengetahuanku. Apa kau mengerti? Kau harus selalu bersamaku." Setelah mengatakan itu Evelyne kembali memaksa Athela berjalan menyejajarkan langkah dengannya. Gadis berambut pirang itu menghela napas. Bukankah Evelyne terlalu mencemaskannya? "Eh omong-omong, mengapa kau tidak ke kafe saja?" "Bagaimana bisa aku duduk-duduk tenang di kafe sedang sahabatku tengah berjalan sendirian di sini? Cukup ketidakberdayaanku untuk melepaskan derita dari Mama Papamu, itu di luar jangkauanku. Tapi jika hal ini aku bisa sedikit ikut campur, kan?" katanya lalu menoleh ke belakang. Gigi-gigi kecil sebiji jagungnya terlihat. Berbaris rapi dengan warna putih cemerlang. Lesung pipinya juga terlihat tatkala dia tersenyum. "Kau terlalu mencemaskanku." Mereka berjalan sampai di kerumunan itu beberapa menit kemudian. Di sana ada beberapa manusia yang berbaris menunggu kedatangan peserta lainnya. Tepat pukul sembilan malam, mereka mulai tidur. Satu jam mereka mendirikan tenda, sedang untuk hari pertama makanan diberi oleh panitia. "Apa agendamu liburan kali ini, Lyne?" Wajahnya menengadah. Bulan terlihat lebih menawan jika dipandang dari gunung. Gadis itu mengulum senyum tanpa sadar. "Mungkin aku berlibur ke suatu tempat? Lama sekali aku tak mengunjungi kebun pamanku. Aku rindu menangkap kelinci di sana." Api unggun menyala. Beberapa orang masih terjaga. Di sebelah barat adalah tenda laki-laki, sedangkan di sebelah timur ada tenda perempuan. Satu tenda berisi empat orang. Kali ini giliran Evelyne yang jaga, tapi sepertinya Athela juga belum mengantuk. "Bagaimana denganmu? Apakah kau punya agenda liburan yang menarik setelah pulang dari kamping yang membosankan ini?" Hening sejenak. Api membulat-bulat dan membakar ranting-ranting kecil sebagai bahan bakar. Kadang kala Athela melempar beberapa ranting lain untuk menjaga agar apinya tetap menyala. Bunyi pletikan api mengisi kekosongan mereka. "Aku tertarik ingin menyelidiki dunia ini. Sepertinya ada hal-hal yang unik. Maksudku, beberapa kebenaran dunia ini yang belum kuketahui." "Apa yang kau maksud?" "Apa kau pernah membayangkan jika di dunia ini ada semacam alat untuk mengubah kepribadian manusia secara drastis?" Evelyne menggeleng. "Mungkin alat itu bekerja melalui getaran-getaran yang lalu frekuensinya masuk ke otak kita. Memblokade sinyal kehendak milik kita dan menggantinya dengan sesuka hati mereka." Athela berdeham, sedangkan Lyne mengerutkan dahi. "Simpelnya seperti ini. Dunia ini mempunyai sisi lain, yang mana ada beberap penduduk yang memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Hidup berdampingan dengan kita. Siapa tahu mereka membuat ini di masa depan?" "Maksudmu, kita hidup berdampingan? Masa sekarang dan masa depan?" "Boleh jadi seperti itu. Ada seseorang dari masa depan yang menginjakkan bumi di masa sekarang?" Lyne cepat-cepat menggeleng untuk menghentikan omong kosong Athela. Pembahasan gadis itu terlalu rumit untuk dipikirkan pada malam hari. Apalagi dia sudah mengantuk sejak tadi. "Jika kau mengantuk aku akan berjaga di sini," tawar Athela. Sekejap tanpa penolakan Lyne mengangguk. Dia sudah mengantuk berat sejak tadi. Bulu kuduk Athela kembali meremang seperti tadi saat pertama masuk ke kawasan ini. Suara binatang malam kembali mengalun memecah keheningan malam itu. Hawanya mendadak mencekam setelah Lyne tidur. Dia mengedarkan padangan, menatap beberapa wanita yang lebih dewasa darinya yang memiliki giliran menjaga berkumpul untuk bercerita mengelilingi api unggun mereka. Dia menelan susah saliva saat semak di sebelah kirinya bergerak. Seperti ada sesuatu di sana. Makhluk yang entah apa itu dia tidak tahu. Perlahan dia menatap ke semak-semak belukar itu. Dadanya tercekat saat melihat sepasang bola mata yang bersembunyi di sana. Makhluk itu sedang mengawasinya, tentu saja. Mungkin sejak dia bercakap-cakap dengan Lyne tadi dia sudah ada di sana. Mata itu bewarna merah. Dari balik rimbunnya semak belukar dia tak dapat melihat lebih jelas bagaimana bentuk makhluk yang saat ini tengah menatapnya. Mata merah itu menyala seperti memancarkan sebuah sinar. Di sekeliling manik matanya seperti terbakar api. Lebih mengerikannya lagi ketika semua orang yang terjaga seperti tak memedulikannya. Apa yang dikatakan Lyne benar? Hutan ini menyimpan banyak sekali hal-hal mistis yang mampu membuat bulu kuduk meremang hanya dalam beberapa saat. "Nona...," sapa makhluk itu dengan berbisik. "Saya harus menjemput Anda." "Ka--kamu si--siapa?" tanya Athela gemetaran. Kaki dan tangannya berguncang hebat. s**l, tidak ada satu pun manusia yang melihatnya seperti itu. Mereka cuek, bahkan jika Athela berteriak sekalipun. "Aku adalah Byakko." "Byakk---ko?" Makhluk itu terdiam. d**a Athela berdegup kencang ketika dia mulai menampakkan sosoknya. Seekor harimau putih yang memiliki manik mata merah menyala, dengan garis-garis hitam di badannya. Panjangnya sekitar dua meter. Dia perlahan mendekati Athela. "SI--SILUMAN! TOLONG AKU SILUMAN!" teriaknya. Sayang saat dia mencari bantuan, orang-orang itu seperti tak mendengar suaranya. Sial, umpatnya dalam hati. "Jangan takut, Nona Athela. Aku adalah Byakko, utusan Tuhan untuk menyelamatkanmu dari kejaran para iblis." "Ib--blis mak--sudmu apa?" tanyanya patah-patah. Semakin harimau besar itu memangkas jarak dengannya, kaki-kakinya semakin gemetar tak karuan. "Mengapa mereka mengejarku? Apa salahku?" Tangannya dengan susah payah memeluk kaki. Dia merengkuh saat sudah satu meter jaraknya dengan Byakko. Jangan-jangan harimau putih itu bohongan? Bagaimana jika iya? "Kau adalah keturunan asli dari Tuhan kami. Sebentar lagi kau akan diburu oleh mereka untuk dijadikan santapan. Setetes darah milikmu akan menjadi kekuatan yang bisa menghancurkan dunia paralel ini." "Paralel? Maksudmu, ada dunia lain yang berdampingan dengan kami?" Kali ini nada bicaranya tak lagi bergetar. Dia sudah mengumpulkan keberaniannya untuk bertanya seperti itu. Byakko mengangguk. "Ada banyak dunia paralel, Nona. Kau adalah salah satu cabang dunia paralel yang Tuhan ciptakan. Apakah kau tahu mengapa kepribadian orang tuamu secepat itu berubah?" Athela menggeleng. "Dua tahun yang lalu, tepatnya saat kau berumur lima belas tahun, sebuah portal dunia paralel terbuka." Byakko duduk. Bulunya terlihat halus jika dia menatap dari dekat seperti ini. "Kau ingin mengatakan jika orang tuaku bertukar tempat dengan dunia paralel itu?" Itu benar-benar gila. Tidak bisa dilogika oleh akal sehat. Apakah kau pernah membayangkan kau punya banyak kembaran di dunia lain? "Ya, Nona. Itulah kebenarannya." Byakko mengangguk. Kaki depan sebelah kanannya mengusap wajah. Terlihat cakar-cakarnya yang mampu membuat orang menelan salivanya susah-susah. "Apakah di dunia itu aku benar-benar anak pungut?" Namun jika dipikir-pikir, ini akan sangat logis. Kepribadian mereka berubah dan mengatakan jika dia adalah anak pungut. Barang kali Athela versi lain di sana benar-benar ditemukan Papa dan Mama di jembatan? "Ya. Pada dasarnya kau adalah anak dari Tuhan bangsa kami. Seharusnya Mamamulah yang melahirkanmu. Tapi dalam beberapa kasus, dunia paralel tidak berjalan semestinya. Di dunia tempat asal mula Papa dan Mamamu sekarang, kau dilahirkan dari rahim seorang p*****r. Jadilah Mamamu di sana tidak memiliki anak dan takdir yang menyuruhnya untuk mengangkatmu menjadi anak." "Tuhanmu? Siapa? Apakah Dia yang menciptakan dunia ini?" "Bukan, Tuhan yang menciptakan dunia ini kita sebut dengan Allah. Tuhan bangsa kami berbeda dengan Allah. Jelas sekali kedudukannya berbeda. Tuhan kami adalah seseorang yang menciptakan kami. Dia adalah penyihir hebat sepanjang masa. Dia penyyihir yang membuat tiruan Bumi untuk menandingi Allah yang kalian sebut sebagai dunia paralel. Kendati demikian, dia tidak pernah bisa melampaui Allah, Sang Pencipta Dunia ini. Yang bisa dia ciptakan hanyalah makhluk-makhluk sihir. Dan dunia paralel yang penuh dengan kecacatan." Otak gadis itu seperti tak mampu menerima ini semua. Ingin gila rasanya. "Jadi, Nona, aku diperintah oleh Tuhan---yang tidak boleh disebut namanya---untuk menyelamatkanmu dari kejaran makhluk yang bisa mengubah tatanan dunia ini. Jika darahmu digunakan untuk mandi, maka keseimbangan dunia ini benar-benar akan rusak. Percayalah kepadaku," katanya lalu menunduk kepada Athela takzim. Baru satu jam yang lalu dia memikirkan opini tentang bagaimana jika orang tuanya dikendalikan oleh orang-orang yang hidup berdampingan dengannya menggunakan alat supercanggih dari masa depan, kali ini penjelasan gamblang telah dia temukan. Dia tidak ingin membenturkan kepala, jelas sekali jika dipikir ini akan membuatnya tidak waras. Bayangkan saja tiba-tiba ada seekor harimau yang datang dari semak-semak dan mengatakan bahwa ada banyak cabang dunia paralel. Artinya ada banyak versi lain dirimu di dunia yang berbeda namun sama. "Bagaimana aku bisa bertemu Mama dan Papaku lagi, Byakko?" "Ayah aslimu Tuhan kami, Nona. Tuhan kami hanya meminjam rahim seorang wanita untuk melahirkanmu." Entahlah dia pusing! Dia tak dapat berpikir jernih saat ini. Membayangkan dikejar iblis sampai berteman dengan harimau putih sepanjang dua meter saja tidak pernah terpikirkan olehnya. Apalagi ada versi dirinya lain di dunia paralel yang sama tapi berbeda. Holla saya kembali, ehehe. Ceritanya bosenin, ya? Huhu maafkan saya yang baru belajar ini. Saya akan belajar lagi, lagi, dan lagi sampai bisa nulis fantasi, hehe. Oh ya Byakko itu harimau putih, ya. Menurut mitologi Jepang, Byakko dipercaya sebagai penjaga bagian barat. Dianggap sebagai pelindung umat manusia yang mempunyai kekuatan untuk mengendalikan angin. Sebenarnya, Byakko sendiri bermula dari mitologi China yang mengatakan semakin tua umur harimau maka warnanya akan menjadi putih. Konon pada masa Dinasti Han, ada seekor harimau yang berumur 500 tahun dan ekornya bewarna putih. Dikabarkan jika harimau putih muncul ketika terjadi perdamaian dunia. Lebih tepatnya tertulis di artikel seperti ini: BYAKKO - Sang Dewa Mata Angin Penjaga Gerbang Barat. Disebut juga The White Tiger, dalam mitoligi China disebut Xi Fang Bai Hu, di Korea disebut Baekho. Bagi bangsa China, macan adalah raja dari segala binatang. Byakko adalah salah satu dari penjaga dan pelindung gerbang atau disebut juga dewa mata angin gerbang barat. Sc: Google. Jadi saya milih bahasa Jepang daripada China karena apa? Ya nggak papa, pengin aja. Hahaha / garing amat. Nggak deng, di mitologi versi aslinya (China) nama Byakko susah banget. Ehehe. Udah segini saja informasi mengenai Byakko. See ya next chapter, Teman-teman!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD