Kebenaran dari Masa Lalu Paman Aziel

1507 Words
Aku tak pernah menyangka sampai di sini. Maksudku, ketika bagaimana beberapa makhluk lain yang seharusnya sudah punah di zaman ini ternyata keberadaannya masih ada. Dan aku hidup dikelilingi oleh mereka. Aku menghela napas, pelan-pelan pandanganku kufokuskan ke arah pohon yang terletak di depanku persis. Netraku menyipit saat silauan matahari menyapu rambut hingga wajahku. Kedua tanganku memegang ganggang pedang perak mencoba menebas pohon besar itu. "Ya, seperti itu, Nia!" Suara seseorang terdengar. Tapak kakinya terasa sangat berat saat menyentuh tanah. Kali ini Paman Aziel memakai kaus oblong bewarna putih dengan rompi hijau. Kaki-kakinya yang tidak terlalu besar pun melakukan kuda-kuda, lantas mulai memangkas ranting pohon itu. Sekali tebasan dalam sekejap ranting itu berjatuhan. "Wah, Paman hebat!" kataku memujinya. Untuk mengatakan jika lelaki tua itu adalah makhluk buatan para penyihir sepertinya terlalu kasar. Beberapa hari yang lalu dia pernah berkata kepadaku jika orang tuanya meninggal karena dibunuh oleh para penyihir. "Tentu. Suatu saat kau harus melampauiku, Gadis Kecil. Aku tidak ada apa-apanya dibanding dengan para makhluk di luaran sana yang memiliki teknik bertarung yang sangat hebat." "Apa Paman pernah menemui mereka? Maksudku, para penyihir yang membunuh orang tua Paman?" tanyaku sembari mendekat. Kulihat kaki-kaki mungilku yang bertelanjang menyentuh rerumputan di depan rumah. Lalu beralih menatap Paman Aziel yang mengempaskan tubuhnya dengan ringan di tanah. Tepat berada di bawah rimbunnya pohon yang dahannya beberapa saat yang lalu dia tebas. Dia mendongak. "Tentu saja, tetapi aku tidak punya cukup ilmu untuk menandinginya." Suara itu parau, di kalimat terakhirnya seperti menyimpan sejuta kepedihan yang mendalam. Aku duduk berjongkok di sampingnya, menatap sekilas wajah pria tampan yang rambutnya sudah memutih itu. "Tetapi Paman sudah kuat sekarang. Paman bisa membalaskan dendam saat ini karena kemampuan Paman sudah berkembang pesat." Pria tua itu tertawa mendengar ocehanku. "Bagaimana caranya kau mengukur perkembangan ilmuku jika kau saja belum pernah melihatku di masa lalu, Gadis Kecil? Bukankah umurmu hampir menginjak tujuh belas tahun? Perkataanmu sungguh tidak logis." Paman Aziel menggeleng sembari tersenyum lebar. Tampaklah gigi-gigi runcingnya yang berbaris rapi. "Entahlah, tapi hatiku merasakan seperti itu. Dan semua manusia seperti itu. Mereka mengalami peningkatan fisik maupun kekuatan karena belajar dari masa lalu mereka yang tidak bisa apa-apa." Sedetik setelah aku berbicara seperti itu, tawa Paman Aziel lenyap. "Ya... dulu aku memang tidak bisa apa-apa. Aku hanya mampu merengek kepadanya agar membebaskan kedua orang tuaku. Aku tidak bisa melakukan teknik bertarung atau pedang satu pun. Akibat ketidakbisaanku itu, aku harus melihat kematian mereka." Pria bergaya rambut dibelah dua itu tak lagi mendongak. Sorot matanya pun kini berbeda dengan yang tadi. Dia menunduk, menatap rerumputan hijau yang tumbuh di pekarangan rumahku. "Jika boleh tahu, mengapa dia membunuh orang tua Paman?" tanyaku dengan hati-hati. Aku takut jika sampai melukai hatinya. "Konflik internal, semua hal-hal yang berhubungan dengan politik. Ayah dan ibuku menjadi korbannya." Semakin Paman Aziel bercerita tentang kehidupannya, semakin menggebu pula rasa penasaranku terhadap hidupnya di masa lalu. Apakah dulu dunia ini sebegitu kacaunya hingga harus ada pertumpahan darah antarmanusia? "Dunia yang dulu Paman tinggali itu seperti apa?" tanyaku. Kali ini aku ikut duduk bersandar di pohon rindang itu. Di sebelah kanan Paman. Kudengar kesekian kalinya pria itu menghela napas. Netranya menerawang jauh-jauh ke langit yang bewarna biru. "Dulunya dunia ini baik-baik saja. Tidak pernah ada pertumpahan darah satu pun dari manusia. Para raja yang bijaksana, dan penduduknya yang hidup makmur. Semuanya serba berkecukupan. Lalu perpecahan dimulai tatkala seorang penyihir muncul. Dia mengubah tatanan dunia ini dan berniat ingin mengubah dengan kekuasaannya. Tak beberapa lama kemudian, dia menjadi raja. Raja yang arif dan bijaksana telah gugur. Tidak ada yang bisa melawannya. "Lalu orang-orang yang menentang pemerintahannya dibunuh secara s***s. Melalui mantra-mantra kuno yang dia dapat dari markasnya di sebuah gunung. Mantra pembunuh yang bertahun-tahun dia pelajari sungguh menyiksa. Orang-orang yang terkena mantra itu mati dengan wajah tersenyum dan mata terbuka lebar." "Sekuat itukah dia hingga bisa menggulingkan raja begitu saja?" Paman Aziel menggeleng. "Tidak, dia dibantu oleh para penyihir di markas. Total penyihir pada saat itu ada sekitar seratusan orang, mereka mentransferkan kekuatan untuk penyihir itu dari markas." Aku mengerutkan dahi, perbincangan kami semakin menarik kurasa. Entah Paman yang pandai bercerita atau aku yang pintar mencari topik pembicaraan. "Lalu orang tuaku adalah manusia tak bersalah yang ikut terlibat dalam konflik itu." "Apa ini artinya ayah Paman adalah raja yang memerintah pada saat kemunculan penyihir itu?" tanyaku sembari menebak. Paman Aziel mengangguk beberapa kali, berarti jawabanku benar. "Jadi dulunya Paman ini pangeran?" Kali ini aku bertanya dengan nada tak percaya. Paman terkekeh pelan. "Memangnya kenapa?" tanyanya balik. "Tidak, aku hanya sedikit terkejut." Aku berbohong. Tentu saja saat ini hatiku tertawa mendengar penuturan paman yang sangat menggelikan. Paman Aziel? Pangeran? Aku tidak bisa membayangkan jika Paman Aziel, pria tua yang sudah berambut putih itu dulunya adalah seorang pangeran. Pantas saja parasnya tampan, dia juga terlihat lebih berwibawa dari lelaki-lelaki di desa ini. "Tapi, jika boleh tahu...," kataku menggantung. Ada sesuatu yang mengganjal. Kulihat Paman Aziel melirikku. Sepertinya dia sedang menungguku untuk melanjutkan bicara. "Kapan sistem monarki itu ada di negeri ini? Puluhan tahun yang lakukah? Kurasa puluhan tahun adalah waktu yang terlalu cepat mengubah peradaban hingga menjadi saat ini." Manik mataku kini menatap beberapa orang yang berjalan menuju ladang. Di sebelah kiri rumah ada jalan setapak menuju sendang yang kosong. Para bocah lelaki berlarian bermain di sana. Kadang kala terdengar suara gelak tawa mereka yang memekakkan telinga. Terlihat dari mata t*******g mereka sangat berbahagia. Udara pagi ini cukup segar. Beberapa kali aku mengembuskannya dengan sangat nyaman. Ibu-ibu berkumpul menjadi satu untuk membahas sesuatu. Kadang pula jika kita mendongak dengan saksama, matahari yang begitu terik itu berteman arakan awan seputih kapas. Hari ini lumayan cerah. Tangan Paman memegang pedang hitamnya. Sejak dulu belum pernah sekali pun aku melihat pria itu melepaskan s*****a itu dari tangannya. Bahkan dengan makan pun, Paman Aziel tetap memegangnya. Saat kutanya, dia menjawab untuk berjaga-jaga. Memangnya, apa istimewa benda itu? "Aku datang dari negeri seberang." Aku yang saat itu tengah mendongak lalu menatap Paman Aziel. Jemari kanannya memutar-mutarkan pedang hingga membuat simbol bundar di tanah. Dahiku mengernyit. Bagaimana dengan kenyataan bahwa lelaki itu sudah pandai berbicara bahasa Pulam? Memangnya beberapa negeri menggunakan bahasa yang sama? Jika dipikir itu juga sangat mustahil. "Apa kau tidak penasaran bagaimana aku bisa ke sini dan selamat dari penyihir itu? Ah, lupakan." Dia membuka kakinya lebar-lebar. "Itu tidak penting. Yang terpenting adalah kau harus bisa menjaga diri melalui seni pedang dan bela diri yang telah kuajarkan. Sebenarnya, aku ingin meminta bantuan darimu." Mata tua itu menatapku serius. "Aku membutuhkan bantuanmu." Pandangan lelaki tua itu mengedar. "Dengar, dengarkan aku. Kau tahu jika aku sudah tua. Tentu saja untuk melatihmu menjadi seorang gadis yang pandai akan ilmu perpedangan. Biar kuberitahu kau suatu hal. Jika nanti teknikmu sudah benar-benar sempurna, bunuhlah penyihir itu. Penyihir itu... dia adalah makhluk paling membahayakan di dunia ini." Aku terhenyak sebentar. Maksudnya, Paman Aziel ingin aku membalaskan dendamnya? Mengapa tidak dia sendiri saja? Aku ingin berkata demikian, tetapi perkataan itu seperti stagnan di tenggorokan. Pita suaraku seakan-akan putus. Bibirku bungkam. Aku memilih untuk menatap wajah keriputnya yang terkena sapuan angin. "Penyihir itu yang membuat keadaanmu menjadi seperti ini." Kali ini nadanya berubah menjadi sedikit sendu. Dahiku mengernyit. Berarti Paman Aziel tahu segalanya tentangku? Maksudku, tentang kedua orang tuaku? "Dia adalah orang yang membuatmu menjadi yatim piatu. Ya... dia makhluk yang telah melenyapkan orang tuamu." Kalimat terakhir itu membuat jantungku berpacu dengan cepat. Entah mengapa, tiba-tiba tanganku mengepal. Gigi-gigiku bergemeletuk, kemudian tangan itu meninju udara kosong. Jika benar demikian, seharusnya aku memang sudah harus membunuhnya. Membalaskan dendamku. "Kau tahu, aku sudah tua. Dan, tentu saja aku tidak bisa mengalahkan penyihir itu. Maukah kau sekaligus membalaskan dendamku?" Mata pria tua itu menatap lamat-lamat ke bola mataku. Tentu saja, aku mengangguk mantap. "Tentu saja, Paman. Aku akan membalaskan dendammu juga. Bagaimanapun, Vivian telah membuat kita berpisah dari kedua orang tua." Paman Aziel tersenyum lembut. Di bawah siraman sinar sang surya, senyumnya berubah menjadi lebih manis dari biasanya. Walaupun sudah tua, tetapi paras tampannya masih terjaga. "Kau tahu pedang itu... pedang yang diberi simbol matahari. Pedang perakmu itu bisa memenggal kepala Vivian, jika kau tahu." "Bagaimana bisa?" tanyaku terbengong. "Walaupun Vivian adalah penyihir hebat sepanjang masa, tapi dia juga memiliki kelemahan. Kau tahu? Dia bukanlah Tuhan yang mahasempurna. Lelaki itu penuh dengan kecacatan. Telah lama aku belajar mengenai mantra dan simbol itu. Keduanya sangat ampuh sebagai penentang sihir Vivian bahkan yang paling hebat sekalipun." "Dari mana Paman mendapatkan informasi itu?" "Tentu saja dari riset selama bertahun-tahun. Aku tidak sehebat waktu muda, Nia. Punggungku sering encok karena dimakan usia. Aku tidak bisa lagi mempertahankan teknik berpedangku, yang kubisa kini hanya menyumbangkan pengetahuan." "Dan... bagaimana gambaran Vivian itu, Paman?" "Dia lelaki yang licik, penuh dengan ambisi. Dan tentu saja kriminal terjahat sepanjang masa. Lelaki itu... sering membuat tumbal manusia sebagai kekuatan." Aku menengadah, menatap langit biru yang senantiasa cerah tanpa satu awan pun. Sapuan birunya membuat mataku sedikit terhibur, indah jika dipandang mata. "Aku akan membunuhnya, Paman. Aku akan membunuhnya. Percayalah padaku."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD