Raja Baaj

1601 Words
Raja sudah berganti baju untuk bersiap-siap. Rambut panjangnya sudah ditata rapi oleh para pelayan. Gadis itu masih berada di ambang pintu, menunggu. "Mengapa kau masih ada di sana?" Dia tersenyum, lalu membungkuk takzim. "Maafkan atas kelancangan saya, Yang Mulia. Saya akan segera undur diri." Setelah itu dia pergi, badannya lenyap seperti ditelan pintu cokelat berukuran besar itu. "Lancang sekali dia berkata seperti it—" Belum sempat sang raja melanjutkan perkataannya, tiba-tiba matanya merah membelalak, badannya tak lagi seimbang, lalu keluar darah segar dari mulutnya. Lelaki tua itu batuk-batuk. "Ke—keparat... dia—pelayan ke-k*****t. Dia ingin membunuh—ku," umpatnya dengan terbata-bata. Sesekali mulutnya kembali keluar darah segar saat dia terbatuk-batuk. Athela terbelalak sempurna menahan kaget. Dia menatap adegan itu dengan sedikit jijik. Apalagi ada darah yang berceceran di lantai, itu sungguh membuatnya muak. "Kau menyedihkan, Pak Tua." BUG! Kaki ringkihnya tak lagi bisa menopang berat badan. Seketika dia ambruk tepat di samping Athela. Gadis itu hampir saja mau memuntahkan seluruh isi perutnya karena jijik. Sedetik. Dua detik. Lelaki tua itu tak kunjung bergerak. Untung saja sebelum dia berganti baju sudah menyuruh para pelayan untuk pergi. Jadi hanya orang yang bisa mendengarkan perkataan ringkih raja lah yang akan menolongnya. "Cih, lelaki tua yang menjijikkan." Athela berusaha berjalan mengesot mendekati pintu. Semeter. Dua meter. Tiga meter. Dia memotong jarak sembari menahan mual. Entah apa yang sedang terjadi, tapi dia sangat bersyukur akan kejadian ini. Barangkali Tuhan memang mendengar doanya. Walaupun tidak dilepaskan kekuatannya, setidaknya Tuhan Yang Maha Pemurah itu selalu mendengarkan permintaan hamba-Nya lalu mengabulkannya. Belum sampai di pintu, tiba-tiba pintu terbuka. Gadis itu menengok ke atas. Dia menelan ludah tatkala mata gadis itu melihat sang raja yang tersenyum kepadanya. Tangan kanan ringkih yang sudah keriput itu pun membukakan pintu—seolah sedang mengejeknya. "K—kau... bagaimana bisa—" Terdengar suara kekehan samar-samar yang semakin membesar. Bibirnya semakin lama semakin melebar. Saat itu tiba-tiba taringnya berubah menjadi lebih runcing. Dia... vampir. "s**l, aku tidak tahu siapa yang tiba-tiba meracuniku. Atau mungkin gadis berrambut ombak tadi? Ah siapa pun itu aku akan menghukumnya nanti." Dia terkekeh. "Sekarang saatnya melihat wajah sedihmu yang merangkak padaku. Hihihi." Athela menelan ludah. Dahinya penuh dengan peluh yang bercucuran. Tiba-tiba saja atmosfer di sekelilingnya berubah menjadi panas. Padahal, saat ini sudah tengah malam. "Kau akan pergi? Kupersilakan." Dia berkata sembari mengejek, terkekeh saat melihat Athela yang berjalan seperti ulat bulu, mengesot. "Di mataku sekarang ini kau tidak lebih dari seekor ulat yang merengek minta dibebaskan." Athela menatap ke sekeliling ruangan. Siapa tahu ada sesuatu yang bisa melepas kerangkeng besi ini. Ah, lagi pula, memangnya alat apa yang bisa mengalahkan besi? "Kau sedang melihat apa?" Walaupun wajahnya sama, tetapi kemampuan dan tubuhnya sangat berbeda jauh. Penampilan dari vampir laki-laki itu sangat berbeda dengan apa yang ada di gambaran manusia biasa. Tubuhnya dua kali lipat lebih besar dari sebelumnya, lalu gigi taringnya kian memanjang. Mata merah yang seperti darah, dapat dilihat di minim cahaya. Benar-benar mengganggu. Apalagi sekarang ini makhluk itu tepat berada di atasnya, tengah terkekeh riang menertawainya. Athela beralih menatap jam dinding. "Aku sedang menatap waktu di mana kau akan mati." PLAK! BUG! Tubuh mungil itu menggelinding ke kiri, dia menggigit bibir bawahnya untuk menahan rasa sakit. "Di saat-saat seperti ini kau masih bernyali mengatakan hal itu, heh?" "Wujud biasamu atau tidak tetap sama saja di mataku—tidak ada yang berubah. Mukamu tetap jelek, mulut dan kakimu bau." Tiba-tiba tubuh Athela bergerak sendiri. Terbang ke kanan, kiri, atas, bawah, bergiliran. Sang raja tertawa terbahak-bahak. "Siapa yang kau bilang jijik tadi? Siapa yang kau bilang pak tua tadi? Dasar, gadis cilik gila. Kau membuatku marah saja." Bukannya sambil marah, lelaki tua itu malah tertawa. Tangan kanannya menutupi wajah, mata merah lasernya itu terlihat mengerikan. Dia semakin tertawa. Seperti psikopat saja. "Apa kau akan meminta bantuan? Kau kira aku ini siapa? Tidak akan ada orang yang akan menolongmu. Kukatakan ini karena apa? Karena tempat ini jauh dari istana. Kau tahu?" Menurutnya, di mana pun itu, sepertinya tidak akan ada yang menolongnya. Entah saat ini lelaki yang bernama Byakko itu di mana. Ada pun, belum tentu dia akan menolongnya seperti yang telah dia janjikan. Barangkali lelaki itu sudah lupa akan kewajibannya? Atau jangan-jangan, Byakko itu hanya makhluk yang menginginkan darah darinya. Lalu berpura-pura baik dan melindunginya. Bisa saja, kan? Tidak ada makhluk di dunia ini yang bisa dipercaya. Itu adalah suatu hal yang tidak boleh dia lupakan. Barangkali semua yang dikatakan Byakko itu omong kosong. Tidak ada dunia paralel, tidak ada darah keturunan asli penyihir terhebat sepanjang masa. Lalu, penyihir itu adalah ayahnya. Apa-apaan itu? Bukankah sedari dulu itu hal yang tidak masuk akal? Barangkali vampir yang berada di depan matanya saat ini juga hanya khayalan semata. Dia ingin kembali. Kembali ke masa di mana dia tidak tahu apa pun. Yang dia tahu hanya Mama dan Papa yang tersenyum bahagia kepadanya. Dia.... "Nah, Nak, tiga menit lagi, dan aku akan meminum darahmu sampai habis. Lalu aku akan mengubah tatanan dunia. Hanya aku makhluk abadi yang memiliki kekuatan tak terbatas. Mengalahkan penyihir k*****t itu." Lelaki itu tertawa keras dan menyeramkan. Dada Athela berdebar hebat. Suasananya sangat mencekam hingga membuat peluh gadis itu keluar semua. Matanya hampir saja mengeluarkan air mata. Dia teringat beberapa hari yang lalu sesaat sebelum kejadian ini dimulai. Saat mereka berdua masuk ke Kota Baaj, dan dia pernah bertanya kepada Byakko. Lelaki itu tak menjawabnya. Entah belum tahu atau tak mau menjawab. Namun, dia sangat berharap sebelum mati bisa mendengar jawaban dari mulut manisnya itu. Ah, sepertinya ini memang akhir riwayatnya. Tidak ada peluang untuk selamat. Kalaupun ada, dia tidak yakin, orang itu tak dia kenali. BRAK! Tiba-tiba bunyi pintu berderit. Dari balik pintu terlihat seseorang yang berdiri di ambang pintu. Gadis itu lagi. Mata raja yang sudah menjadi vampir berubah memerah, sekarang kental seperti darah. Lalu saat melihat seseorang di depannya yang berusaha menyelamatkan mangsanya itu dia menatap dengan tatapan mengerikan. Di matanya seperti ada laser merah bercahaya. Kemudian badan besar kekarnya itu semakin mengeras. "KAU—KAU ORANG YANG SUDAH MERACUNIKU. BERANI-BERANINYA KAU MERACUNI TUANMU, PELAYAN CILIK k*****t!" Barang-barang di sekelilingnya beterbangan. Semakin matanya bersinar merah, semakin pula kekuatan yang dimiliki berlipat ganda. Anehnya, gadis di depannya tak gentar menatapnya. Vampir itu terbang, tangan kanannya terangkat. Mata merahnya memelotot. "K—KAU... BERANI-BERANINYA!!!" BLEDAR! Sebuah sinar mengelilinginya. Sinar warna merah yang bersumber dari tanah begitu silau. Wajahnya yang mengerikan tambah menyebalkan saja bagi Athela. "Racun yang kau bubuhkan di makanan tidak ada apa-apanya bagiku. Seharusnya kau tahu hal itu jika kau adalah pelayan yang sangat loyal kepadaku." Dia kembali tertawa. Setiap tawanya selalu membuat barang-barang di sekelilingnya rusak. Benar-benar teknik penghancur yang sangat hebat. Tangan kanan gadis itu terulur, memberikan sebuah cahaya berwarna hijau berpendar lalu mengelilinginya membentuk seperti sebuah selaput. Byakko pernah membuatnya, kalau tidak salah namanya adalah lingkaran sihir pelindung. "Kau... seorang penyihir rendahan rupanya?" Gadis pelayan berambut ombak itu menatap makhluk besar dan kekar di depannya dengan tatapan tajam. Dia mengambil sebilah pedang. "Penyihir yang bisa teknik berpedang?" Dia memiringkan kepalanya ke kiri, terlihat seperti burung hantu gendut yang ingin mematahkan kepalanya sendiri. Dia sedikit berdahem, seolah-olah tengah berpikir. "Kau sepertinya tengah berpikir. Kukira otak besarmu itu hanya pajangan." "BERANI-BERANINYA KAU... PENYIHIR RENDAHAN!" Tangan kanan sang raja dia angkat ke udara, kemudian diayunkan. Menimbulkan kekuatan besar yang bisa menghantam Pohon Ek yang sudah berusia ratusan tahun. Apalagi gadis semungil dia. Gadis itu berusaha mengindarinya. Semakin lincah gadis itu menghindar, semakin cepat pula sang raja mengayunkan tangan. Lalu, tangan kanannya pun ikut berayun. Untung saja Athela berada di lingkaran sihir pelindung yang begitu kuat, dia jadi tak terlalu risau dengan pertarungan yang berat sebelah ini. Kendati demikian, dia sedikit iba dengan gadis itu. Baru saja bertemu tetapi dia sudah mau membantunya. Dia benar-benar merasa bersalah. Andai saja jika dia bisa menguasai teknik itu. Teknik pembekuan. "Apa-apaan ini sejak tadi kau menghindariku terus? Betapa menyedihkannya kau saat ini." Gadis itu masih diam. Dia sibuk menghindar. "Jangan membuatku tertawa. Baru saja kau ingin membunuhku dengan racun yang payah itu? Ah, benar-benar membuatku malu. Akan jadi seperti apa jika aku benar-benar mati setelah memakan makanan yang dibubuhi racun?" "Sialan." Akhirnya setelah dua menit berjalan dan dia tidak bisa mengimbanginya, gadis itu pun mengumpat. Matanya masih lurus menatap ke depan. Walaupun dia tidak bisa menang, sepertinya dia masih memiliki harapan. "Cecunguk sepertimu mana bisa membunuhku?" Tiga menit telah berlalu, keadaannya masih belum berubah. Sang raja yang tertawa terbahak-bahak karena berada di atas angin, dengan gadis yang hendak menyelamatkannya yang penuh luka-luka. Padahal pertarungannya hanya tiga menit, tetapi dia sudah luka separah itu. Sedangkan di pikirannya saat ini semrawut. Gadis itu siapa? Apa benar-benar akan menyemalatkannya? Bagaimana jika dia juga menginginkan darah miliknya? Apakah gadis itu bisa dipercaya? Pertanyaan-pertanyaan rumit itu memenuhi pikirannya. Rasanya otak gadis itu ingin meledak saja. Semua ini benar-benar di luar akal sehatnya. Bukankah saat ini yang terpenting bisa terbebas dari sini? Dia kembali melihat pertarungan. Belum ada yang berubah. Keadaannya masih sama. Entah kenapa saat ini dia berubah cemas. Setelahnya, gadis berambut ombak itu mengayunkan pedang. Salju berguguran. Debu beterbangan di mana-mana. Badannya dibawa oleh seseorang, terbang lalu menghilang. Yang dia sadari ketika dia sudah sampai di hutan. Gadis itu terbelalak sempurna. "K—kau... kau siapa?" "Kirania, orang-orang menyebutku Sang Pendekar Pedang." Mata Athela terbelalak sempurna. "Sudah kuduga kau akan bereaksi seperti itu. Jangan cemas, kita sedang berada di perjalanan menuju lelaki berambut pirang itu." Tiba-tiba pipinya merah merona. "Namamu Kirania, kan?" Kirania mengangguk. "Salam kenal. Semoga kita bisa berteman baik."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD