Lari ke Hutan

1610 Words
Dua gadis itu kini menginjakkan kaki di tanah, berjalan menginjak rerumputan yang tingginya sekitar mata kaki. Kadang pula terdengar suara nyanyian jangkrik yang nyaring. "Kau... Sang Pendekar Pedang yang pernah melawan Bryan beberapa saat lalu?" "Bryan? Jadi pemuda itu bernama Bryan?" Athela mengangguk. Malam telah datang sepenuhnya. Matahari telah lenyap tak bersisa, yang berada di atas hanyalah dewi malam yang menggantung di langit-langit bersama kerlipan bintang. Udara kembali dingin. Saat kedua gadis itu berjalan, daun-daun bergerak. Athela sedikit menyipitkan mata saat melihat ke hutan yang gelap. Katanya, semakin mata manusia beradaptasi dengan kegelapan maka mereka akan bisa melihat. Dan tentu saja itu benar. Apalagi mata dan hidung Athela yang kelewat tajam dari seukuran gadis biasa. Dia mengembus sedikit, bau tanah bercampur dengan air hujan. Pastilah tanah yang mereka pijaki sekarang lembab. Apalagi dia merasa tidak ada tanda-tanda kehidupan di sini selain mereka. "Maaf, aku tidak bisa menerbangkanmu. Sihir terbangku hanya bertahan selama beberapa menit. Itu sihir yang belum sempurna, jadi... aku tidak bisa menggunakannya berlama-lama. Kalaupun bisa, ada efek samping yang sangat berisiko." Kirania menunduk, lalu gadis itu menengadahkan wajah ke bulan malam. Athela mengikuti. Matanya awas sekali menatap bulan yang sangat elok itu. Indah sekali saat dilihat sejauh mata memandang, tapi keindahan itu lenyap tatkala dilihat dari dekat. Apa itu salah satu keistimewaan bulan? Athela tertawa terbahak-bahak. Detik berikutnya terdengar suara orang yang terbahak-bahak, persis sekali gema. "Aku bersyukur karena kau sudah mau menyelamatkanku. Omong-omong, bagaimana kabar Raja Baaj itu?" Kirania segera menatap ke belakang, takut-takut jika mereka akan terkejar. Kemudian tangannya meraih tangan Athela, mengajak gadis itu berlari bersama-sama. "Aku takut dia akan memburu kita." "Eh? Bukannya ini sudah sangat jauh dari kerajaan?" "Iya, tetapi tetap saja. Vampir itu selain memiliki tubuh yang keras, dia juga memiliki indera penciuman yang tajam. Sekali mereka bisa mencium baumu, dia akan mendatangimu sejauh apa pun. Penciuman mereka tidak pernah meleset." Athela menelan ludah saat mendengar penuturan yang mengerikan dari Kirania tersebut. Dadanya tiba-tiba dijejaki rasa cemas yang teramat sangat karena telah mendengar itu. Entah rasa apa itu, tetapi khawatir adalah salah satunya. Mereka berjalan melewati dedaunan dan bunga-bunga. Warna bunga merah, kuning, hijau, ungu, dan warna-warna lain sudah mereka lalui. "Kau berpikir bahwa kita akan dikejar?" Mau tidak mau Kirania mengangguk. Tampaknya gadis itu tak bisa berbohong kepada Athela. Semenyakitkan apa pun keadannya, dia akan selalu berkata yang semestinya. "Jika itu terjadi, apa yang akan kita lakukan?" "Entahlah, aku belum memikirkannya. Bertarung dengan werewolf tipe petarung sepertinya sangat membuatku kewalahan. Aku tidak bisa menumbangkannya dengan mudah. Sihirku belum sempurna." Terdengar Nia sedikit menghela napas, sepertinya gadis berambut hitam gaya ombak yang saat ini tengah tergerai itu menyesali keberadaan kekuatannya yang belum kuat. Rok pelayannya masih berkibar lantaran terkena dedaunan semak-semak belukar. Alas kakinya yang tipis siap rusak kapan saja saat nanti menaklukan bebatuan yang besar-besar. Langkah gadis itu sedikit dipercepat, mungkin dia tidak mau Athela melihat wajah suramnya. "Memangnya kenapa?" Kirania terkaget, dia memberhentikan langkahnya sekejap. Badan gadis itu diputar beberapa senti untuk melihat Athela. Gadis itu berlarian mendekatinya, sedikit terburu-buru untuk menyusulnya. Mulutnya penuh dengan senyuman. "Apa yang kau maksud?" Dua langkah setelah sampai di samping Kirania yang masih menatapnya, Athela sedikit berlonjak, menghindari ranting jatuh yang begitu merepotkan. Kemudian tersenyum ke samping, wajah Kirania masih kebingunan. Itu tandanya dia membutuhkan penjelasan dari Athela. "Maksudku, memangnya kenapa jika kau tidak bisa melawannya? Siapa yang peduli?" Kirania lagi-lagi memasang wajah kagetnya. Dia benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikiran gadis di depannya. Kirania sudah menyelamatkannya, kemudian orang yang diselamatkan malah berkata seakan tengah menghiburnya—bukan, bukan hiburan, melainkan sebuah ejekan. Seakan tahu pikiran Nia saat itu melalui ekspresinya, Athela tertawa. Tangannya menepuk pelan pundak Nia. "Maksudku, aku tidak memedulikan kau bisa mengalahkannya atau tidak. Kau membebaskanku itu sudah lebih dari cukup. Lalu, saat kita bisa berlari bersama—kita berlindung bersama-sama. Bukan soal lagi hanya kau yang melindungiku, aku akan melindungimu juga. Itu takkan ada masalah lagi, kan? Aku ingin berguna di sini walaupun sedikit. Aku takut jika kau terlalu mencampuri urusanku dalam-dalam—ini terlalu bahaya untukmu." Kirania diam, kemudian menatap mata Athela dalam-dalam. "Yah, kukira kau tidak akan memercayaiku karena aku lemah. Tidak bisa diandalkan, bahkan tidak bisa apa-apa." Gadis itu memanyunkan bibir, mengendikkan bahu, kemudian kembali berjalan. Diikuti Kirania di sampingnya. "Tapi, namanya manusia, kau tahu, kan, pasti mempunyai rasa tidak enakan?" Kirania tertawa. Itu kali pertama selama tiga puluh menit ini Athela melihat gadis itu tertawa terbahak-bahak. "Eh omong-omong, mengapa kau dan Bryan bisa jadi teman baik seperti ini? Bukankah terakhir kali aku melihat kalian sedang bertarung? Bertarung karena apa?" Kirania diam sejenak, dia berdahem. "Aku bertarung dengannya tidak lama. Aku kalah telak. Kemampuannya terlampau jauh dariku. Setelah itu kami menyadari kamu tidak ada, lalu aku merasa bersalah karena aku kau bisa diculik. Lalu kami membuat kesepakatan kerjasama untuk mencarimu." Ranting-ranting yang sudah terjatuh itu menimbulkan bunyi di kekosongan malam. Saking sunyinya, hingga saat mereka berjalan pun menimbulkan suara. Terlalu banyak daun berguguran yang mereka injak. "Kalian tahu jika aku dicuri lelaki tua itu?" Nia mengangguk. "Lalu mengapa Bryan tidak ke sini?" Diam sejenak. Kirania menatap lurus ke depan, hutan lebat ini seperti tak ada ujungnya. Dipenuhi semak belukar yang menjengkelkan. Belum lagi jarak pandang mereka yang terbatas karena hari sudah malam. Jika bukan karena kemampuannya sebagai penyihir, dia tidak akan bisa melihat. Eh, omong-omong, apakah Kirania juga tahu jika dia adalah keturunan asli dari penyihir sepanjang masa? "Dia berkata akan melakukan sesuatu. Kami telah menyisirmu di beberapa tempat, tetapi tidak menemukanmu. Entah bagaimana, di menit-menit terakhir aku mencurigai sesuatu. Bangunan yang agak jauh dari istana, tepatnya berada di kedalaman hutan. Kurasa semua orang juga akan mencurigainya. Terlebih lagi saat kulihat beberapa pelayan datang ke sana." Dia menghela napas sejenak, kemudian mulutnya terbuka. Sepertinya gadis itu hendak melanjutkan bicaranya yang tertunda. "Karena saat itu aku melihat ada seorang pengawal yang memberikan makanan, langsung saja kuculik. Haha! Lalu aku memakai pakaiannya. Dan kemudian menemui raja dan meracuninya—untung saja di hutan banyak tanaman yang mengandung racun, aku bisa mengekstraknya kemudian kutuangkan ke dalam makanan berkuah itu." Dia kembali tertawa. Sepertinya gadis itu tengah menikmati bercerita kepada Athela. Athela hanya mengangguk-angguk. "Tapi ternyata, susah sekali melumpuhkan orang gila tua itu. Aku tak pernah menyangka jika dia adalah seorang werewolf petarung. Pastinya, racun yang kuracik itu tidak akan bisa membunuhnya. Mungkin baginya, racun itu tidak ada apa-apanya." Kirania menghela napas. "Lalu aku berkata kepada Bryan jika kami telah menemukanmu. Dia berkata akan pergi ke suatu tempat, dan aku disuruh ke sana denganmu. Mau tidak mau aku harus ke sana dan membuat werewolf itu memberikan waktu sedikit untuk kita melarikan diri. Yah, walaupun cuma luka ringan, tapi aku bertaruh itu akan membuatnya sedikit mengejutkannya." Entah ini ke berapa kalinya Athela mengangguk tanda mengerti perkataan Kirania. Sepertinya, gadis ini bukan orang jahat. Terlebih lagi Byakko telah memercayai gadis ini untuk ikut mencarinya. Tiba-tiba d**a Athela berdebar, dia merasakan ada sesuatu yang berkecepatan di atas rata-rata berada di belakang mereka. Seperti tengah mengejar. Tidak ada waktu lagi, sepertinya kita telah terkejar." Kirania panik, nadanya sedikit bergetar. Athela ingin sekali bertanya, "Bagaimana ini?". Akan tetapi, gadis itu sudah mengatakan bahwa dia akan ikut melindungi Kirania. Melindungi apa-apaan? BLEDAR! Di langit seperti ada petir, bersamaan dengan seseorang yang melaju cepat ke arah mereka. Athela membelalakkkan mata. Baru saja setengah jam yang lalu dia merasa bersyukur karena telah dibebaskan, sekarang gadis itu harus kembali mengenal rasa kecewa akibat perkataan Kirania tersebut. Ah, sepertinya dia terlalu takut. Bukankah tiga puluh menit belakangan adalah kesempatan hidup yang Tuhan berikan kepadanya? Tentu saja dia tahu jika Kirania tidak bisa melawan werewolf itu seorang diri. Jika saja ada, pastilah orang itu adalah Byakko. Namun Byakko tidak ada di sana. Dia masih belum sampai ke tempat Byakko. Lelaki itu masih ada di suatu tempat yang dia jadikan sebagai tujuan. "Kita akan bersembunyi." Athela berkata dengan gelisah, sesekali dia menengok ke belakang. Takut-takut lelaki tua itu akan mendatangi mereka. Mereka berlari. Kaki Athela yang tanpa alas itu pun menapak tanah dengan tergesa. Sesekali kaki mungil itu terkena duri, tapi dihiraukannya. Bukan saatnya, bukan saatnya berpikir seperti itu. Sakit kakinya bahkan tidak ada apa-apanya dibanding masalah sekarang ini yang terlampau serius. Selain dia bisa tertangkap, gadis di sampingnya pun pasti akan mengalami hal yang sama dengannya. Mereka berlarian di tengah kegelapan. Untung saja, entah ke berapa kalinya gadis itu berterima kasih kepada darahnya sebagai keturunan asli penyihir sepanjang masa. "PENYIHIR k*****t CILIK! KAU DI MANA?" Suara itu seperti menyebar seantero hutan, menggema dengan nada yang menyeramkan. Bahkan untuk ukuran gadis seumuran mereka akan merasa ketakutan. "Kekuatannya benar-benar mengerikan!" bisik Athela. Jemari-jemari kakinya seperti mati rasa, apalagi saat beberapa kali terkena duri. Atau ketika dia mulai kehilangan keseimbangan karena kakinya menyandung akar pohon yang muncul di permukaan tanah. "Kau berhati-hatilah!" Kirania yang lebih dulu berlari darinya pun berhenti saat melihat Athela hilang keseimbangan. Dia mengatur napas, membungkuk. Tangannya diletakkan di lutut. "Kau pergilah terlebih dahulu!" "Aku tidak bisa. Aku harus membawamu." "Kau harus pergi, aku tidak ingin dia menyakitiku. Tenang saja, yang dia incar adalah aku. Aku tak ingin lagi melibatkanmu." Senyum Athela terpancar. Di bawah penerangan sinar rembulan malah membuat senyum itu lebih mengerikan; seperti tersenyum karena siap akan kematian. Ketenangan gadis itu pun juga sangat menyeramkan. "Tidak, aku tidak bi—" Tiba-tiba ada sebuah cahaya berpendar, berwarna putih yang sangat silau. Mereka menyipitkan mata. Kalau benda itu berada di sini, berarti— Cahaya itu membesar dan mengelilingi mereka. Terdengar suara bariton seseorang yang sangat familier di telinga Athela. "Maaf, aku terlambat." Mata Athela terbelalak, dia kaget. "Bry—Bryan?" Byakko tersenyum.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD