Ayah dan Anak

1641 Words
"Anggaplah pedang sebagai jiwamu, Nia. Pedang itu akan benar-benar menyatu denganmu. Sehingga, kau bisa menghindari beberapa gerakan yang tak berguna. Pedang itu akan melindungimu, karena mereka beranggapan kau adalah bagian dari jiwanya." Mungkin sampai saat ini, aku tidak mengerti apa yang dibicarakan Paman Aziel belakangan ini. Apakah jika hanya berlatih keras menggunakan teknik pedang saja tidak akan cukup untuk mengendalikan, atau belih tepatnya menguasai pedang itu sendiri? Lalu, apa maksudnya menganggap pedang sebagai jiwa? Bukankah selama ini aku telah melakukannya? Menganggap bahwa benda panjang yang terbuat dari logam perak ini adalah bagian dari diriku. Apa maksud Paman Aziel? Aku mengerjap beberapa kali, menatap langit biru Hutan Hamur yang indah dipandang mata. Sebenarnya, apa yang membuat hutan indah ini begitu ditakuti? Bahkan oleh para warga dijadikan sebagai hutan terlarang. Banyak desas-desus adanya penyihir di sini. Aku kembali menghela napas. Jika dilihat kembali beberapa hari yang lalu, terakhir kali berlatih pedang di hutan ini, aku juga merasakan hal yang sama. Bahkan melihat sesuatu yang para warga bilang makhluk buatan penyihir. Lalu, untuk apa Paman Aziel mengajakku ke sini? CLANG! Mataku membelalak sempurna. Tiba-tiba ada sebuah pedang di depanku bersiap untuk meghujam. Bukan, bukan bersiap, melainkan memang sudah. Namun, kabar baiknya aku bisa menghalau. Membelokkannya sebelum benar-benar sampai menggores tubuhku. "Bagus sekali, Gadis Kecil! Walaupun sedang melamun, jangan pernah sekali pun kau mengendorkan penjagaan." Suara itu terdengar sangat familier di telinga. Selang beberapa saat setelah itu, seseorang muncul dari balik pepohonan dan tanaman di hutan itu yang rimbun. Lelaki berambut cepak yang selama ini berdiri di balik pepohonan dan melancarkan serangan itu tertawa keras-keras. "Cepat atau lambat kau akan segera melampauiku." Tanpa menghiraukan wajahku yang masih terkejut, lelaki tua itu duduk-duduk di sampingku sembari menatap pedang bersimbol bunga matahari itu. Sejak lama aku ingin bertanya, sebenarnya simbol matahari itu apa? Kalau tidak salah aku pernah bertanya, tetapi jawaban Paman Aziel belum membuatku puas. "Mengapa semua barang yang Paman milili memiliki simbol bunga matahari?" Paman Aziel berdeham sejenak, mulutnya tak lagi membuat bentuk segaris lurus. Sedang satu alis di bagian kirinya terangkat. "Kenapa, ya? Aku senang sekali jika membuat tanda semua barang-barang milikku." Jawabannya berbeda dengan yang dulu. "Kenapa harus bunga matahari?" "Karena matahari melenyapkan kegelapan." Awalnya kukira itu hanya perkataan yang biasa-biasa saja, seperti perkataan lainnya. Namun, mungkin, lusa aku akan mengerti perkataan lelaki tua jangkung berambut cepak yang selama ini melatihku. "Oh iya, Paman. Mengapa Paman memilihkan tempat ini untuk berlatih?" tanyaku hati-hati. Ada beberapa dugaan di dalam diriku. Apakah Paman Aziel memang penyihir, makhluk yang berhubungan dengan penyihir, atau ada sesuatu yang sedang dia selidiki di sini dengan melatihku sebagai alasan? Untuk dugaan terakhir, sepertinya sangat tidak masuk akal. Tanpa aku, sepertinya Paman bisa memasuki hutan larangan ini dan menyelidiki sesuatu yang dibutuhkan semaunya. Atau... dia ingin membuatku tetap tenang selagi melatih berpedang? Sembari menunggu, aku duduk bersila. Mendekati Paman Aziel. "Aku ingin menghilangkan kepercayaan para warga desa yang menganggap tempat ini terlarang. Mereka bilang ada penyihir, berpikir macam-macam tentang hutan ini lalu meninggalkannya. Alhasil, hutan yang luas ini tidak ada yang merawat. Bukankah lebih bagus jika hutan ini dimanfaatkan oleh para warga desa untuk bercocok tanam?" Paman Aziel mengeluarkan napas sedikit kasar. Tak kusadari ternyata sedari tadi Paman membawa sebuh keranjang berbentuk persegi panjang berukuran kisaran sebelas kali dua belas sentimeter. Keranjang yang dianyam dengan bambu, terlihat seperti baru saja dibuat. "Apa itu paman?" "Aku membuat keranjang untuk membawa makanan." Mataku berbinar-binar karena seperti ada secercah cahaya yang begitu silau di alam gelapku. Belum selesai menyengir, Paman Aziel gantian menyengir kuda meremehkan. "Tapi sekarang kau harus bersungguh-sungguh untuk berlatih agar kau bisa melampauiku." Aku mendengkus kesal. "Mengapa aku harus melampaui Paman?" Sebenarnya tidak ada salahnya untuk melampaui paman, tapi aku sangat tidak yakin akan hal itu. Apa aku nanti benar-benar akan bisa melampaui lelaki tua ini? "Sebentar lagi akan tiba saatnya darah bulan purnama. Sebelum itu, kau harus bertemu dengan Vivian." Mataku terbelalak karena terkejut. "Orang yang membunuh orang tua Paman?" Sekali lagi Paman Aziel mengangguk. Dia melepaskan alas kaki, kemudian meregangkan otot-otot kakinya. Sedangkan di salah satu tangannya masih membawa pedang perak bersimbol bunga matahari kepercayaannya. "Kau harus mengemban misi ini dengan baik, Nia. Kau harus menemuinya sebelum saat itu tiba. Ketika bulan purnama yang diwarnai dengan pertumpahan darah para makhluk antarklan. Sebelum itu terjadi, kau harus membunuhnya." Entah ke berapa kalinya ini, mataku terbelalak sempurna. "Membunuh? Vivian? Bahkan... Paman saja... bukankah ini akan mustahil?" Bagaimana tidak mustahil? Paman Aziel saja tidak mempunyai kesempatan menang melawan Vivian, orang yang mengerikan itu. Mengapa Paman begitu memercayai masalah sepenting itu kepadaku? Aku merasa pundakku sangat berat, bahkan kian detik kian berat. Sejak tadi Paman Aziel menatap sepenjuru hutan dengan senyuman. Setelah mendengar bahwa aku tidak sanggup, dia menatapku dengan tatapan serius. Aku tahu dari matanya yang bersungguh-sungguh. "Untuk itulah aku memintamu agar secepat mungkin melampauiku." Kedua tangan keriputnya meletakkan keranjang dan pedang perak bersimbol bunga matahari secara bergiliran ke tanah, kemudian memegang pundakku pelan. "Tidak ada gunanya untuk berpikir pesimis seperti itu, Nia. Aku sudah melatihmu beberapa tahun agar suatu saat kau akan siap dengan hal-hal seperti ini. Gunakan otakmu, berpikirlah. Kesampingkan egomu yang bisa membuatmu tak bisa berpikir jernih. "Sekarang ini, nasib beberapa klan berada di pundakmu, Nia. Aku tak ingin ada pertumpahan darah di sana-sini hanya karena satu manusia. Aku tahu jika kau saat ini sedang berpikir mengapa bukan aku saja, kan?" Aku memasang wajah terkejut, Paman Aziel tersenyum dan mengalihkan pandangan dari hadapanku. Dia menengadahkan wajahnya ke hamparan langit biru luas yang dipenuhi dengan awan-awan tipis seperti kapas. Senyum hambar yang telah lama tak kulihat. Dari matanya pun dapat kutemukan ketidakbisaan dan keputusasaan. "Aku tahu kau akan berkata seperti itu," katanya setelah melihat wajahku yang terkejut. "Seperti biasa, kau sangat mudah ditebak." Kini senyumannya berubah menjadi kekehan. Yang lagi-lagi hambar. "Paman juga," kataku melirih. Paman Aziel menatapku. "Paman juga sangat mudah ditebak." Aku menatap lurus ke depan, tidak melihat sedikit pun wajah lelaki tua yang sudah repot-repot mengurusku selama beberapa tahun ini, yang bahkan sudah kuanggap sebagai ayah sendiri. Paman kembali tersenyum. "Maaf, sepertinya aku tidak pandai dalam menyembunyikan sesuatu." "Kita sama." "Ya, seperti anak dan ayah saja." Entah setelah Paman Aziel mengatakan hal itu, dadaku sedikit berbunga-bunga. Sudah lama aku mendambakan seorang ayah. Sedari dulu pun aku sudah menganggap Paman Aziel adalah ayah. Dia yang baik, dewasa, tahu keinginanku, selalu tersenyum, bisa diandalkan, dan tentu saja berwibawa. Dia satu juta lebih dewasa dibanding dengan laki-laki tua lain di desa jika harus dibandingkan. Namun ketika mendengar itu langsung, dadaku seperti kembali berbunga-bunga setelah sekian lamanya tak meerasakan hal itu. Sepoi angin menerpa wajah kami berdua. Paman Aziel adalah benar-benar ayah yang terbaik bagiku. "Kita harus menghentikannya sebelum peristiwa itu benar-benar terjadi. Tepat dua bulan dari sekarang di bulan purnama, kita harus menghentikannya." "Tapi bagaimana caranya? Bukankah Vivian adalah lelaki yang licik dan menyeramkan?" "Aku akan mulai memikirkannya," jawab Paman Aziel dengan nada parau. "Dan ini sesuatu yang harus kau waspadai, Gadis Kecil." Paman Aziel menghela napas sejenak sebelum melanjutkan perkataannya. Aku menatap Paman Aziel dengan tatapan serius. Apa lanjutan dari perkataan yang menggantung itu? tanyaku dalam hati. "Hal yang harus kau waspadai adalah rasa takut. Jangan biarkan rasa takut menguasai jiwa hingga pedangmu. Sepahit dan segetir apa pun keadaannya nanti, kau harus tetap berdiri dan menghunuskan pedang demi melindungi orang-orang serta idealismemu sendiri." Idealisku sendiri? Apa? "Karena jika kau telah masuk ke dalam rasa ketakutan dan mencekam, maka kau tidak akan pernah menang sekalipun lawan lemah seperti makhluk buatan penyihir kemarin." Lemah? Makhluk buatan penyihir kemarin? "Jadi, makhluk buatan penyihir kemarin adalah makhluk terlemah yang suatu saat akan kutemui, Paman?" tanyaku dengan wajah ngeri. Membayangkan malam itu saja membuat bulu kudukku kembali merinding. "Dengan kata lain, akan ada banyak makhluk yang hebat melebihinya? Paman mengangguk. "Apa aku benar-benar tidak boleh takut?" Aku bergidik ngeri. Sekarang untuk membayangkan saja sudah takut. Seberapa mengerikan para makhluk di luaran sana? Apa aku bisa menyeimbangi mereka? Rasa takut itu kembali menyelimuti seluruh hatiku. Tidak, tidak seperti ini. "Nia, dengarkan aku." Aku melihat wajah Paman Aziel yang terkena pantulan sinar matahari. Mataku sedikit menyipit. "Rasa takut itu harus kaulawan, memang aku mengatakan hal seperti itu. Tapi jangan lupa jika ada saatnya kau membutuhkan rasa takutmu untuk mengerti posisi di mana kelemahanmu." Kelemahan? Takut? Dilawan? Mengapa perkataannya begitu terbelit-belit? "Bisakah Paman menjelaskan secara padat dan jelas saja?" "Sudah kuduga kau akan seperti ini. Akan lebih mengejutkan jika seorang Kirania, memakai otaknya untuk hal-hal seperti ini." Paman Aziel tertawa, aku mendengkus kesal. Walaupun di lubuk hatiku mengatakan jika aku turut bahagia melihat wajah lelaki tua itu kembali menyinggung senyum. "Lupakan saja tadi. Tidak-tidak, tidak untuk dilupakan, melainkan simpan saja. Suatu saat kau akan merasakannya sendiri." Paman Aziel menggeleng. "Sekarang, aku akan mengajarimu cara menyusun strategi." Keheningan tercipta sejenak, hanya terdengar suara dedaunan dan para bambu bernyanyi karena tersapu angin. "Dan tentu saja, aku akan mengasah teknik dasar dan kuda-kuda payahmu itu." Paman Aziel yang menyebalkan telah kembali. Aku tersenyum lembut, melihat wajah lelaki tua yang tadi baru saja mendeklarasikan diri sebagai ayahku. Ah, rasanya tidak sabar merasakan pelatihan dari seorang ayah. Paman Aziel menjauh, mendekat ke tanah yang sedikit lapang dan tak ada tumbuhan. "Lihatlah aku dan perbaiki kuda-kuda payahmu!" "Sudah kukatakan berkali-kali, kan? Tumpukan semua kekuatan ke jemari!" "Ayunkan pedangmu dengan benar, Gadis Kecil!" Tentu saja, selain dewasa, Paman Aziel juga guru terbaik untukku. Ya, tidak terlalu buruk belajar tekhnik pedang kepada ayah sendiri. Tanpa sadar aku tersenyum-senyum sendiri sembari mengayunkan pedang. Mulai menikmati saat jemari kakiku menari-nari di atas tanah lapang dengan indahnya. Badan meliuk-liuk untuk menangkis beberapa pedang yang hendak membunuhku. Aku mulai menikmatinya. Menikmati rasa cinta saat bertarung bersama pedang perak bersimbol bunga matahari ini. Sepertinya pedang perak ini telah menjawab panggilanku untuk menjadi separuh jiwanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD