“Selamat pagi, Dok!”
“Pagi,” jawab dokter berparas cantik itu dengan ramah menjawab setiap sapaan yang datang ketika melewati koridor panjang rumah sakit, meskipun tubuhnya kadung lelah. Bagaimana tidak, semalaman ia bertugas melakukan operasi darurat dan berjaga. Kini, gilirannya untuk beristirahat. Namun, bagi Arundhati. Selelah apapun tubuhnya—Arundhati tak pernah mengeluh. Apalagi menyangkut nyawa orang banyak.
Itulah mengapa, senyuman di pagi hari, bisa secerah mentari yang tengah bersinar. Sapaan para perawat, petugas kebersihan, bahkan penjaga keamanan tetap ia jawab dengan senyuman khas.
Sampai di satu koridor ketika ia hendak menunggu lift, Arundhati bertatap muka dengan seorang pasien yang sempat ia tangani beberapa hari lalu. Seorang anak gadis kecil pengidap tumor otak. Tatkala menangani kasus itu, Arundhati sempat khawatir. Entah mengapa ada keraguan sekaligus tekad. Akan tetapi, ia terus berusaha untuk menyelamatkan nyawa anak kecil tersebut. Walaupun dokter spesialis saraf menyatakan bahwa persentase keberhasilannya sangatlah rendah. Dan pada akhirnya, semua terbayar dengan kelegaan saat melihat senyum anak itu.
Arundhati langsung menghampiri anak kecil yang tengah duduk di kursi roda dengan mata berbinar-binar.
“Dokter Peri!” seru anak gadis itu dengan mata yang masih sayu. Dimana, bagian atas kepala masih terperban sepenuhnya.
Dengan senyum khas dan lembut, Arundhati pun berjongkok.
“Hai, Sayang. Bagaimana keadaan kamu?”
“Sudah lebih baik, Dokter Peri.”
Lidah cadel itu membuat Arundhati menjadi gemas sendiri. Apalagi dengan panggilan ‘peri’ yang tersemat untuknya. Ia tersenyum seraya mengusap puncak kepala anak itu.
“Syukurlah. Dokter senang mendengarnya,” ucap Arundhati. Matanya langsung tertuju pada seorang ibu yang ada di belakang kursi roda.
“Dokter, saya ingin berterima kasih. Berkat dokter, Lula sudah bisa tersenyum lagi.”
Arundhati membalas dengan senyuman. Lantas, ia beranjak sambil mengusap pipi anak bernama Lula tersebut.
“Sudah jadi kewajiban saya untuk menyelamatkan nyawa pasien, Bu.”
“Kalau begitu kami pamit dulu, ya, Dok.”
Arundhati hanya mengangguk sebagai jawaban. Setelahnya, ia kembali melanjutkan langkah menuju lobi. Namun, belum sempat pintu lift tertutup, seseorang menyerukan namanya.
“Arun!” seru seseorang. Arundhati buru-buru menahan pintu lift.
Tak lama kemudian, wanita muncul di hadapannya dengan napas terengah. Tubuhnya mungkin sangat mungil, tapi entah mengapa suaranya sangat melengking.
“Kak Maya?”
“Lo kok pergi gitu aja? Nggak pamit dulu.”
“Hehe. Maaf, Kak. Aku lelah banget. Rasanya mau langsung ketemu kasur.”
Bibir Maya mengerucut. Meski tubuhnya lebih kecil, tapi—usianya setahun diatas Arundhati. Selain dianggap sebagai kakak, wanita bernama lengkap Maya Pratista itu merupakan satu-satu senior yang menjadi sahabat setia Arundhati.
“Gue cuma mau kasih ini.”
Maya menyodorkan selembar amplop putih hingga membuat Arundhati mengerutkan keningnya.
“Apa ini, Kak?”
“Nggak tahu. Gue dapet ini dari asisten Pak Bagaspati. Tadi, Pak Bima cari lo, tapi lo udah nggak ada di ruangan.”
Kening Arundhati semakin berlipat.
“Kak Maya tahu apa isinya?”
Maya bersedekap sambil menggedikkan bahu. Namun, matanya memicing seolah mencurigai sesuatu.
“Memang lo ada buat salah apa?”
Bukan surat cinta. Wanita mungil itu justru curiga Arundhati mendapat surat peringatan atas kesalahan yang diperbuat.
“Nggak ada, Kak.”
“Yakin?”
Wajah Maya semakin mendekat, menelaah wajah Arundhati dari jarak dekat.
“Kalau bukan surat peringatan, apa mungkin surat cinta?”
Gaya Maya memang selalu didominasi rasa ingin tahu yang besar. Bisa dibilang, Maya bisa jadi ratu ghibah seantero rumah sakit Wiratama.
Arundhati pun berdecak.
“Kak, udah ah, aku mau pulang. Lelah banget ini!”
“Okelah. Kabarin gue, ya.”
“Kabarin apa?”
“Itu … isi suratnya.”
Maya tersenyum jahil sebelum meninggalkan juniornya. Sementara Arundhati hanya mengangguk sebagai jawaban.
Ia kembali melanjutkan langkahnya. Sepanjang jalan menuju lobi, sapaan ramah tak berhenti dilayangkan padanya. Sepertinya benar, Arundhati adalah primadona rumah sakit ini. Lihat saja, bagaimana orang-orang menghormati dan menyukainya.
Ketika pintu lift terbuka dan ia tiba di lobi, Arundhati mendapati seseorang menatapnya penuh arti. Tepatnya, di halaman parkir. Seorang pria melambaikan salah satu tangan. Sementara tangan lain terselip dalam saku celana. Senyumnya begitu mempesona dan menenangkan jiwa yang terlanjur lelah pagi itu.
Arundhati buru-buru menghampiri. Layaknya anak remaja yang tengah jatuh hati, pipinya merona tatkala mendapati sang pujaan hati.
“Mas Radheya?”
“Hai, cantik.”
Pria bertubuh tinggi itu hendak memeluk dan mencium pipinya, namun—Arundhati sadar bahwa mereka masih ada di lingkungan rumah sakit. Alhasil, wanita itu menahan d**a bidang sang kekasih hati sambil berbisik pelan.
“Mas, malu. Ini di rumah sakit.”
Radheya menghela napas dengan wajah memelas. Pria berambut hitam legam senada dengan sorot matanya itu hanya mengulum senyum, meski ada sedikit rasa kecewa. Bagaimana tidak, selama mengenal Arundhati sejak mereka tumbuh bersama di panti. Radheya tak pernah sekalipun diizinkan menyentuh diluar batas. Padahal, status mereka pun sudah bertunangan dan akan melanjutkan ke jenjang pernikahan. Apalah daya, Arundhati punya prinsip yang tidak bisa Radheya runtuhkan. Wanita itu selalu berpegang teguh untuk menjaga kehormatannya.
“Oke, oke. Mau langsung pulang atau cari makan dulu?”
“Pulang aja, ya, Mas. Aku lelah. Rasanya mau langsung ketemu kasur.”
Radheya tersenyum seraya mengusap puncak kepala sang wanita.
“Oke. Kita sarapan di apartemen aja. Nanti saya buatkan sarapan.”
Mata Arundhati langsung berbinar. Inilah sisi Radheya yang begitu memikat hatinya. Selain dewasa, pria itu juga bisa diandalkan. Padahal, kalau dibilang pekerjaannya sangat sibuk. Sebagai CEO perusahaan farmasi, Radheya pasti memiliki segudang agenda. Tapi, ia justru menyempatkan diri menjemput dirinya di rumah sakit.
“Let’s go!” seru wanita itu penuh keceriaan.
Radheya langsung membukakan pintu kopilot dan mempersilakan Arundhati masuk.
“Silakan tuan putri,” ucapnya, manis.
“Terima kasih, Mas.”
Di atas gedung rumah sakit, tepatnya di ruang pimpinan. Dari balik kaca hitam, Bagaspati Wiratama memperhatikan dua anak manusia yang tengah bercengkrama mesra.
Direktur rumah sakit itu masih mengenakan setelan jas hitam, dasinya longgar, dan tangan kirinya memegang gelas kopi yang sudah dingin. Matanya tidak lepas dari pemandangan tersebut, Arundhati yang tersenyum di samping seorang pria. Bahkan, tercetak jelas rona pipi dari sang wanita. Membuat kerutan tipis langsung terlihat di keningnya.
“Bapak, rapatnya sudah selesai. Perlu saya siapkan kendaraan?” tanya Ivy, sang sekretaris dengan nada hati-hati.
Bagaspati tidak menjawab langsung. Pandangannya tetap tertuju pada sosok wanita berambut panjang itu—dokter muda yang semalam berhasil memikat perhatiannya ketika menyelamatkan jiwa seorang anak kecil. Dan kini, wanita itu tersenyum dengan pria lain.
Bahkan, bukan sekadar bersama. Mereka terlihat memiliki ikatan yang lebih dari seorang sahabat saja.
Tatapan pria itu terlalu akrab dan dalam. Cara dia menunduk ketika mendengar Arundhati bicara, terlalu penuh perhatian. Bagaspati mengamati detail kecil itu dan merasa ada yang mengganggu pikirannya.
“Tidak perlu. Bima ada di luar?” tanya Bagaspati kemudian.
Sekretarisnya mengangguk. “Ada, Pak.”
“Panggil dia masuk.”
Beberapa menit kemudian, seorang pria berbadan tegap dengan jas hitam masuk ke ruangannya. Wajahnya datar dan penuh kewaspadaan. Bima adalah tangan kanan Bagaspati, orang yang biasa mengurus urusan di luar lingkaran resmi rumah sakit.
“Tuan memanggil saya?”
Bagaspati menaruh gelas kopi di meja. Ia berdiri lalu melangkah ke arah jendela. Dari sana, ia bisa melihat jelas Arundhati yang baru saja masuk ke dalam mobil Radheya.
“Saya mau kamu cari tahu tentang hubungan mereka,” titah Bagaspati tanpa menoleh.
“Siapa, Pak?”
Bagaspati menunjuk dengan dagu. “Dokter itu. Arundhati Darshwana. Cari tahu mengapa dia bisa bersama pria itu.”
Gemeretak rahang terdengar jelas, seolah Bagaspati tak ingin kehilangan apa yang ia inginkan.
Bima mengangguk tanpa banyak tanya. “Baik, Tuan.”
Setelah kepergian sang tangan kanan, Bagaspati terus menatap keluar jendela. Melihat mobil itu menjauh dari lobi.
“Kamu tidak seharusnya bersama pria itu, Dokter.”
***