bc

Tertawan Obsesi Sang Mafia

book_age18+
14
FOLLOW
1K
READ
dark
love-triangle
age gap
forced
friends to lovers
badboy
mafia
gangster
heir/heiress
drama
tragedy
bxg
serious
bold
office/work place
cruel
love at the first sight
like
intro-logo
Blurb

Arundhati Darshwana (30 Tahun), seorang dokter bedah saraf yang sudah kehilangan orang tuanya sejak belia. Ia hidup hanya dengan satu tujuan, yaitu menyelamatkan nyawa orang lain. Pertunangannya dengan Radheya Atmadja (37 Tahun), CEO perusahaan farmasi, memberinya kebahagiaan tak terkira. Namun, kebahagiaan itu runtuh ketika Bagaspati Wiratama (37 Tahun), direktur rumah sakit tempatnya bekerja, datang membawa kebenaran kelam—bahwa Radheya bukan pria yang ia kira, melainkan bagian dari dunia mafia yang berbahaya.

Dengan senyum tenang serta tersembunyi luka dan darah, Bagaspati memaksa Arundhati menikah dengannya. Sesuatu yang tampak seperti perlindungan, kini berubah menjadi jerat penuh obsesi. Arundhati terjebak di antara kebencian dan rasa aman, di antara pria yang mengkhianatinya dan pria yang rela menghancurkan dunia demi memilikinya.

Saat cinta, bahaya, dan pengkhianatan saling berdekapan, Arundhati dihadapkan pada dua pilihan—melawan takdir kelam atau menerima Bagaspati yang bisa membinasakan sekaligus melindunginya.

Sanggupkah Arundhati menerima sisi hitam dan putih dalam diri Bagaspati? Ataukah cinta mereka hanya akan berakhir sebagai luka yang abadi?

chap-preview
Free preview
Bab 1 - Memikat Hati
“Pasien darurat! Berikan jalan!” seru petugas ketika menuruni stretcher dari dalam mobil ambulans tersebut. Ada wajah yang tampak begitu tegang dan dipenuhi dengan harapan. Seorang ibu yang menatap anaknya dalam kondisi antara hidup dan mati. Ia berharap, anak itu melewati kritisnya malam ini. Suara sirine masih menggelegar, seolah memecah ketakutan yang tampak samar di wajah ibu tersebut. Langkah kaki beberapa perawat pun menghampiri. Saat berikutnya, para perawat langsung mendorong stretcher dengan kecepatan tinggi. Mereka berteriak, meminta jalan untuk pasien darurat tersebut. Di atasnya, ada seorang anak laki-laki berusia sekitar tujuh tahun terbaring dengan nafas pendek-pendek. Wajahnya pucat dan mata terpejam. Ketika stretcher sudah masuk ke dalam instalasi gawat darurat untuk ditangani pertama kali, seorang perawat lain menghampiri ibu paruh baya itu untuk mengurus administrasi terlebih dahulu. Karena, tindakan tidak akan dilakukan jika seluruh administrasi belum terselesaikan. “Ta-tapi, sa-saya tidak mampu membayar biaya operasi. Tolong selamatkan anak saya …,” lirihnya dengan suara bergetar. “Maaf, Bu. Sudah prosedur rumah sakit, tanpa pembayaran … maka prosedur tidak bisa dijalankan,” ujar petugas sambil menatap dokumen di tangannya, nada suaranya formal, seolah tidak ada negosiasi. “Bagaimana mungkin? Anak saya hampir kehilangan nyawa dan sekarang kalian masih bicara soal uang? Apa tidak ada sedikitpun hati nurani kalian?” Tubuh ringkih seorang ibu bergetar, ia tak sanggup menahan tangis ketika waktu terus terulur sementara putranya membutuhkan pertolongan. “Maaf, Bu. Aturannya jelas. Kami tidak bisa melanggar s.o.p,” tegas petugas itu, tidak sekalipun menaruh iba. Seorang wanita yang tengah melintasi koridor mendengar percakapan tersebut. Sepasang alisnya menegang, langkahnya berhenti sejenak ketika tatapannya melihat seorang ibu memohon dengan linangan air mata. Insting seorang dokter bedahnya pun langsung menyala. Ialah, Arundhati Darshwana. Langkahnya mantap, mendekati keduanya. “Ada apa ini?” tanya Arundhati pada mereka yang berdebat disana. “Mbak ini dokter, ‘kan?” tanya ibu paruh baya itu ketika melihat seorang wanita berseragam putih menghampiri. Kemudian, ia langsung menyambar, menggenggam tangan Arundhati dengan gemetar. “Tolong saya, Dok. Anak saya butuh pertolongan secepatnya. Tapi, saya tidak punya biaya untuk operasi. Saat ini dia ada di antara hidup dan mati.” Mata Arundhati tertuju pada perawat di hadapannya. Ada sorot tajam dibersamai rasa iba yang mendalam. Sifatnya paling tidak suka melihat orang lain kesulitan, terlebih soal nyawa seseorang. “Iya, Bu. Saya dokter bedah yang bertanggung jawab di rumah sakit ini.” Kemudian Arundhati menatap tajam petugas tadi. “Kenapa kalian harus mempersulit ketika ada pasien yang membutuhkan operasi dengan segera?” “Tapi, Dok. Ini protokol ….” “Saya yang akan menanggung biaya operasinya. Segera siapkan ruang operasi dan alat.” Seketika koridor itu diselimuti keheningan. Perawat dengan gugup menatap Arundhati, dokter bedah berusia 30 tahun, berparas anggun dan terkenal penyayang. Ia memiliki reputasi baik serta dedikasi yang tinggi selama mengabdi. Tidak sedikit penghargaan yang diterimanya hingga membuat citra rumah sakit itu kian melejit. Arundhati sangat dikenal seantero rumah sakit karena kemurahan hatinya. Ia tidak pernah menolak untuk menanggung biaya pasien yang kesulitan. Kepahitan hidup yang ia jalani selama ini—kehilangan orang tua dan menjadi seorang yatim piatu, membuatnya bertekad untuk bisa menyelamatkan nyawa orang lain. “Dok, maaf, tapi prosedurnya—” “Tidak ada kata tapi. Setiap detik yang tertunda berisiko merenggut nyawa pasien. Apa kamu mengerti?” Suara Arundhati tetap tenang, bahkan cenderung lembut seperti namanya. Namun, ada ketegasan yang memancar membuat lawan bicaranya langsung bungkam. Petugas itu akhirnya mengangguk pelan, kemudian menjauh. “Baik, Dokter. Kami akan segera siapkan ruang operasi.” Ibu anak itu menunduk, menahan air mata. Wajahnya bercampur aduk antara lega dan panik. “Terima kasih, Dokter … terima kasih banyak,” ucap wanita paruh baya itu. “Tidak masalah, Bu. Tetap tenang dan berdoa, ya.” Arundhati gegas bersiap. Pikirannya kini melayang. Kembali pada mimpi samar yang sempat ia alami beberapa hari lalu. Dalam mimpi, sang ayah muncul. Wajahnya serius tapi lembut. Kata-katanya terngiang, seolah mengingatkannya untuk selalu menjadi manusia yang bermanfaat bagi sesama. “Jagalah setiap nyawa yang bisa kamu selamatkan, Nak. Jadilah pelindung bagi mereka yang tidak mampu.” Seketika, jantung Arundhati berdegup lebih cepat. Bukan karena takut, tapi karena tekad yang membara. Mimpi itu tidak hanya muncul sekali. Tapi, selama bertahun-tahun, ia sering merasa ada desakan dalam diri, yakni menyelamatkan nyawa yang terancam tanpa mempedulikan untung dan rugi. Tanpa sadar, ada sepasang mata yang menatap tindakan Arundhati. Seorang pria dengan jas serba hitam, salah satu tangan kanannya diselipkan ke saku celana. Sorot matanya tajam, meneliti setiap gerak-gerik wanita tersebut. Entah mengapa ada kekaguman yang terselip di balik ketegasan itu, meski ekspresinya tetap tenang dan sulit ditebak. Bagaspati Wiratama, direktur rumah sakit yang usianya sudah menginjak 37 tahun. Namun, tetap memilih untuk melajang. Bukan karena ia tidak menyukai seorang wanita. Akan tetapi, ia tidak siap jika harus kehilangan seseorang yang ia cinta. Sosok itu jarang muncul di hadapan publik. Tapi, saat ini ia baru saja melihat Arundhati dengan segala sikap beraninya. Bagaspati dikenal sebagai sosok dingin dan misterius, jarang menampakkan diri kecuali untuk urusan penting rumah sakit. Namun, hari ini, tanpa sengaja, ia melihat tindakan yang membuatnya berhenti sejenak. Dimana, seorang dokter muda telah berani menantang prosedur demi nyawa seorang anak. *** Di ruang operasi, Arundhati menoleh pada tim medis yang sudah menyiapkan peralatan. “Pasien harus dipersiapkan untuk operasi. Pastikan anestesi siap. Periksa semua tanda vitalnya.” “Siap, Dokter. Semua peralatan dan ruang operasi siap,” salah seorang perawat memberi laporan. Arundhati menunduk, memeriksa monitor yang menampilkan tanda vital anak itu. Detak jantungnya stabil tapi lemah, tekanan darah pun sedikit menurun. “Baik, mari kita mulai.” Setelah persiapan selesai, Arundhati melangkah ke meja operasi. Tangannya cekatan, menyesuaikan posisi alat, memastikan instrumen bedah steril. Semua anggota tim medis mengikuti instruksi dengan teliti, menanggapi arahan Arundhati dengan cekatan. “Anestesi siap?” tanyanya. “Siap, Dokter,” jawab perawat anestesi. Arundhati menarik napas panjang, menatap anak itu sebentar. Matanya berbinar, menahan rasa haru sekaligus tegang. “Kita akan berusaha menyelamatkanmu, Nak. Tetaplah kuat.” Operasi berlangsung selama hampir tiga jam. Setiap tindakan Arundhati dibersamai fokus. Ia selalu bergerak presisi ketika memotong dan menutup luka. Lalu, mengawasi perdarahan dan memastikan tidak ada komplikasi yang muncul. Timnya sudah bekerja maksimal, mengikuti arahan tanpa banyak bertanya. Sementara di luar ruang operasi, ibu anak itu menunggu dengan napas tertahan. Wajahnya tegang, jemarinya saling bertautan, sesekali berdoa dalam keheningan. Dan Bagaspati tetap mengamati dari kejauhan, berdiri tanpa berminat untuk pergi. Ia tidak ingin mengganggu, tapi matanya tak lepas dari wanita itu. Ada sesuatu dari cara Arundhati menangani krisis yang membuatnya penasaran dan … terkesan. Setelah tiga jam konsentrasi, operasi akhirnya selesai. Arundhati menatap pasien yang kini stabil di ranjang pemulihan. Napasnya terengah, keringat menetes di pelipis, tapi ada senyum kecil yang tak bisa disembunyikan. “Terima kasih semuanya. Kerja yang bagus, tim,” ujar Arundhati membuat semua anggota tim tersenyum. *** Ketika Arundhati berjalan keluar dari ruang operasi, langkahnya tiba-tiba berhenti. Ia tidak sengaja berpapasan dengan sosok pria yang dikenali namun sangat sulit ditemui. Seseorang yang ia tahu sebagai pimpinan tertinggi di rumah sakitnya bekerja—Bagaspati Wiratama. Tatapan mereka bertemu. Dalam sepersekian detik, ada keheningan yang menyelimuti. Setelahnya, Bagaspati sedikit menunduk seraya memberi salam. “Kerja yang bagus, Dokter ….” Bagaspati melihat name tag yang menggantung di leher wanita itu sebelum melanjutkan kalimatnya. “... Arundhati.” “...” “Anak itu beruntung bertemu denganmu hari ini.” Arundhati menatapnya sekilas, lalu menunduk sopan. “Terima kasih, Pak. Itu sudah jadi tugas saya.” Bagaspati tersenyum tipis, bahkan hampir tak terlihat. “Saya harap kita bisa mengobrol lebih banyak suatu hari nanti.” “…” Pria itu gegas menunduk pelan sebelum melangkah pergi, meninggalkan Arundhati dengan perasaan yang tidak mampu dijelaskan. Arundhati menatap koridor dimana Bagaspati menjauh, sebelum melanjutkan langkahnya. Hatinya masih terasa panas karena adrenalin dan rasa lega. Ia kembali ke ruang perawatan anak itu untuk memastikan semuanya aman terkendali. Ibu anak itu langsung menatapnya dengan mata sembab. “Dokter … saya tidak tahu harus berkata apa. Saya hanya bisa berterima kasih, karena Dokter sudah menyelamatkan anak saya.” Arundhati tersenyum lembut, mengusap bahu wanita itu. “Terpenting sekarang anak Ibu sudah melewati masa kritisnya. Sekarang fokus pada pemulihannya, ya?” Ibu anak itu mengangguk, menahan haru yang tak terbendung. “Dok, Anda benar-benar seperti malaikat.” Arundhati tersenyum ramah. Titik pandangnya langsung tertuju pada anak itu yang kini tidur dengan tenang di ranjang rumah sakit. Bayangan samar tentang ayahnya muncul kembali, kali ini lebih jelas. Sosok itu seolah tersenyum bangga. Arundhati kembali ke ruangan ketika hari sudah menjelang subuh. Beruntungnya ia sedang piket hari itu, sehingga ia bisa menyelamatkan seorang anak yang malang. Arundhati menatap jendela, memikirkan kejadian yang baru saja ia lalui. Ada tanggung jawab yang besar serta rasa lega yang mendalam. “Saya harap kita bisa mengobrol lebih banyak suatu hari nanti.” Di sisi lain, sorot tajam seorang Bagaspati memecah konsentrasi. Ingatannya masih membekas ketika pria itu berkata demikian. Sementara di ruangannya, Bagaspati mulai terusik oleh kehadiran wanita tadi. Selama ini, ia memang sering mendengar nama Arundhati, seolah ialah primadona rumah sakit miliknya saat ini. Ia tidak pernah tahu bahwa seorang Arundhati bisa sangat memikat hati. Tatapannya tertuju pada layar cctv, menatap jelas ke ruang seorang dokter bedah yang mulai membuatnya terobsesi. Pria itu menyesap kopi, matanya masih menatap sang wanita yang kini sibuk menyiapkan laporan pasca operasi. Ada rasa penasaran yang tidak bisa disangkal. Sosok itu bukan sekadar dokter dengan paras cantik. Jelas, Arundhati memiliki keberanian dan kepedulian yang luar biasa. Sehingga mampu memikat hati seorang Bagaspati. “Sungguh menarik,” gumam Bagaspati. ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

30 Days to Freedom: Abandoned Luna is Secret Shadow King

read
309.1K
bc

Too Late for Regret

read
280.8K
bc

Just One Kiss, before divorcing me

read
1.6M
bc

Alpha's Regret: the Luna is Secret Heiress!

read
1.2M
bc

The Warrior's Broken Mate

read
137.0K
bc

The Lost Pack

read
387.3K
bc

Revenge, served in a black dress

read
146.0K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook