Bab 4 - Maksud Tersembunyi

1825 Words
Malam itu, Arundhati memutuskan menerima undangan Bagaspati. Tidak ada maksud lain, selain menghargai sang pimpinan. Lagipula, Bagaspati hanya ingin mengajaknya makan malam bukan? Arundhati menuruni lift, namun langkah kakinya berhenti ketika mobil hitam berada tepat di hadapannya. Kaca yang gelap memantulkan bayangan dirinya yang berdiri di depan lobi, menenteng tas kecil. Ia sempat ragu, karena seingatnya ia belum memesan taksi. Tak lama kemudian, seorang pria bersetelan rapi keluar dari kursi depan, lalu menghampiri. “Selamat malam, Dokter Arundhati. Saya Bima, asisten Tuan Bagaspati. Beliau meminta saya menjemput Anda.” Kening Arundhati mengkerut. “Menjemput?” “Iya. Tuan sudah menunggu di The Westin.” Arundhati menatap jam di pergelangan tangan. Pukul enam lewat empat puluh. Masih ada waktu dua puluh menit sebelum pukul tujuh, sesuai janji temu. “Nggak perlu, Pak. Saya naik taksi saja.” Namun, pintu belakang sudah dibuka dan Bima berdiri dengan sopan di sampingnya. “Tuan tidak suka menunggu, Dokter. Mohon maaf.” Arundhati menghela napas. Ia bisa saja menolak, tapi sepertinya akan terasa tidak sopan. Lagipula, ini urusan pekerjaan, bukan pribadi. Alhasil, ia masuk ke dalam mobil, menatap pemandangan yang mulai menunjukkan gemerlap ibu kota. Perjalanan berlangsung dalam hening. Hanya terdengar dengung mesin dan detak jam tangan di pergelangan tangannya. Dalam pikirannya, Arundhati mencoba merancang kalimat pembuka yang sopan—bagaimana menolak dengan halus jika pertemuan ini ternyata bukan sebatas urusan profesional. Setelah melewati waktu, akhirnya mereka tiba di hotel bintang lima, restoran tempat Bagaspati menjanjikan pertemuan tersebut. Restoran di lantai atas hotel itu memancarkan citylight yang begitu romantis. Musik lembut dari piano menggema di ruangan ketika mereka tiba di lantai tersebut. Para pelayan berdiri berbaris dengan senyum terlatih, menyambut kedatangan mereka. Dari kejauhan, Bagaspati sudah lebih dulu duduk di dekat jendela besar, tepatnya di private dining room. Di sisinya, hamparan kota Jakarta berkelip di antara cahaya lampu gedung. Ia tampak berbeda malam itu—tanpa jas formal, hanya mengenakan kemeja hitam dengan satu kancing atas terbuka. Lengannya dilipat sampai siku, menampilkan kesan santai dalam pertemuan itu. “Selamat malam, Dokter,” sapa Bagaspati seraya berdiri ketika Arundhati tiba di hadapannya. Suaranya begitu dalam dan sedikit serak. “Silakan duduk.” Arundhati menunduk sopan, duduk di kursi ketika Bima membantu menggesernya. “Selamat malam, Pak.” Senyum tulus timbul, membuat debar jantung Bagaspati semakin berdenyut. Entah mengapa, kecantikan alami yang dimiliki Arundhati semakin membuatnya terobsesi. Disaat berikutnya, pelayan datang menuangkan air putih ke dalam gelas kristal. “Terima kasih sudah datang,” ucap Bagaspati. Tatapannya teduh, tapi mengandung sesuatu yang sulit dibaca. “Saya yang berterima kasih, Pak. Sejujurnya, saya sedikit kaget menerima undangan ini.” Bagaspati memalingkan wajah seraya tersenyum tipis. “Karena saya jarang muncul di hadapan pegawai?” Arundhati membalas senyuman itu, sedikit kikuk. “Mungkin begitu.” “Tidak perlu canggung, Dokter. Saya hanya ingin mengenal lebih dekat seseorang yang begitu berdedikasi. Dua tahun kamu di rumah sakit, tidak pernah luput dari perhatian saya.” Arundhati menatap wajahnya sejenak. Ucapan itu terdengar tulus, tapi entah mengapa ada getaran yang membuat dadanya tak nyaman. “Terima kasih, Pak. Tapi, saya melakukan semua ini karena memang sudah kewajiban.” “Ya, tapi tidak semua orang akan berpikir seperti itu,” balas Bagaspati. Ia menyandarkan punggung, jemarinya mengetuk pelan tepi gelas. “Sebagian datang ke tempat kerja hanya untuk menerima gaji. Sedangkan kamu—terlihat seperti benar-benar mencintai pekerjaan ini.” Ucapan itu seketika terjeda, saat pelayan datang membawa makanan pembuka. Hidangan salmon dingin di piring putih yang disajikan dengan elegan. “Saya dengar kamu sering membantu biaya pasien,” lanjutnya. “Saya hanya ingin memastikan pasien selamat dan ditangani dengan baik, Pak.” “Jujur saja, sikap itu membuat saya kagum, Dokter,” ujar Bagaspati pelan. Kata itu meluncur seperti pujian, tapi cara Bagaspati mengucapkannya terlalu dalam—seolah mengandung sesuatu yang lebih personal. Arundhati menggeser posisi duduknya, lebih tegak dan berusaha menjaga jarak dengan sopan. “Terima kasih,” ucap Arundhati seraya berdehem. “Bagaimana pekerjaanmu akhir-akhir ini?” tanya Bagaspati, mengalihkan topik. “Cukup baik. Beberapa pasien pasca operasi sudah menunjukkan kemajuan.” “Dan bagaimana dengan kehidupan pribadi?” Pertanyaan itu membuat sendok di tangan Arundhati berhenti seketika. “Maaf?” “Saya hanya bertanya,” seloroh Bagaspati, “karena dokter yang sibuk biasanya tidak punya waktu untuk diri sendiri.” Arundhati meletakkan sendok perlahan, sebab tak ingin menyinggung perasaan pria di hadapannya. “Saya masih berusaha menyeimbangkannya, Pak.” “Dengan tunangan, maksudnya?” Arundhati menegakkan bahu. “Bapak tahu saya sudah punya tunangan?” “Tentu saja.” Bibir Bagaspati membentuk garis samar. “Saya tahu semua tentang pegawai saya. Apalagi, tunangan kamu bukan orang sembarangan.” Sejenak hening. Arundhati menatap keluar jendela, berusaha mengatur nada bicaranya. “Ya, kami sedang menyiapkan pernikahan. Tapi belum ditentukan tanggal pastinya.” Bagaspati mengangguk pelan, menatap wajahnya tanpa berkedip. “Radheya Atmadja, bukan?” Arundhati menoleh dengan cepat. Pupilnya membesar. Jantungnya berdebar. Entah bagaimana bisa Bagaspati tahu semua tentang kehidupan pribadinya? Termasuk nama calon suaminya? “Bagaimana Bapak tahu?” “Kami pernah bertemu di beberapa pertemuan bisnis.” Nada suara Bagaspati berubah. Seolah ada sesuatu yang berat di sana, meskipun samar. “Apa Bapak mengenal dekat calon suami saya?” tanya Arundhati. Bagaspati tidak langsung menjawab. Ia memutar gelas, menatap cairan bening di dalamnya. “Saya tahu reputasinya. Tapi saya juga tahu sesuatu yang lebih dalam tentang keluarga itu.” Arundhati mengernyit. “Maksud Bapak?” “Tidak semua yang terlihat bersih, benar-benar bersih, Dokter.” Nada kalimatnya tidak hanya terdengar seperti peringatan, melainkan provokasi. “Kalau Bapak bermaksud menyinggung Mas Radheya, lebih baik saya pergi.” Arundhati buru-buru berdiri, meraih tas kecil. Namun, Bagaspati menahan lengan wanita itu dengan cepat. Titik pandang mereka pun beradu cukup lama di udara sebelum sebuah pertanyaan mengalir begitu saja dari bibir pria disana. “Kamu mencintainya?” “Tentu saja,” jawab Arundhati, tegas. Tak lama, senyum tipis tampak jelas—seolah Bagaspati tengah mengejeknya. “Ternyata benar, cinta bisa membuat seseorang buta.” Arundhati menarik napas dalam. Ia tampak kesal, karena pembicaraan Bagaspati terlalu jauh. Tidak seperti yang ia duga. Makan malam yang diharapkan sebagai jembatan profesionalisme, justru membuatnya Arundhati kecewa. Terlebih, sikap Bagaspati yang terlalu mencampuri urusan pribadi. “Maaf, Pak. Saya datang ke sini untuk makan malam dan membicarakan pekerjaan, bukan soal pribadi.” Arundhati berusaha melepaskan genggaman itu. Namun, Bagaspati tetap bersikeras menahannya. “Baiklah, tenang. Maafkan saya. Mari kita bicarakan pekerjaan.” Arundhati pun menghela nafas sebelum duduk kembali ke tempatnya. Namun, tentu saja. Sejak kesalahpahaman itu terjadi, suasana di meja menjadi canggung. Arundhati hanya sesekali menimpali basa-basi. Di tengah kesunyian itu, Bagaspati memperhatikan setiap gerak kecil wanita di hadapannya—cara ia menyeka mulut, menunduk, atau menata sendok. Ia sadar, wanita di hadapannya bukan hanya cerdas, tapi juga memiliki aura tenang yang membuat ruang terasa berbeda. Dan kesadaran itu justru menyiksa batinnya. Setelah hidangan utama selesai, pelayan menyingkirkan piring-piring di meja. “Dokter,” ucap Bagaspati tiba-tiba, “boleh saya menunjukkan sesuatu.” Arundhati menatapnya heran. “Menunjukkan apa?” Tanpa menjawab, ia mengeluarkan ponsel dari saku celana, lalu menyodorkannya. Di layar, tampak sebuah foto. Radheya tengah duduk di sebuah lounge hotel, bersama dua pria lain. Salah satunya terlihat seperti pengusaha asing. Di depannya, terdapat berkas dokumen terbuka. “Apa maksudnya ini, Pak?” “Radheya pebisnis, bukan?” “Ya.” “Tapi, apa kamu tahu kalau bisnis yang dia jalani bukanlah bisnis bersih,” ucap Bagaspati datar. “Radheya terlibat dalam beberapa proyek keluarga Atmadja yang ilegal. Salah satunya penyalahgunaan obat-obatan.” Arundhati menatapnya tak percaya. “Itu nggak mungkin.” “Sayangnya, foto ini bukan rekayasa.” “Kenapa Bapak memperlihatkan ini pada saya?” suara Arundhati pelan namun bergetar. “Karena saya tidak ingin kamu masuk ke dalam lingkarannya.” Arundhati memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan diri. Ia tahu dunia bisnis bisa kotor, tapi menuduh Radheya seperti itu—rasanya terlalu berlebihan. “Saya menghargai niat Bapak. Tapi saya percaya pada orang yang saya cintai.” Bagaspati menghela napas pelan. “Percaya boleh, Dokter. Tapi, jangan sampai menutup mata.” Bagaspati kembali menyimpan ponselnya. “Saya hanya ingin kamu tahu. Saya, tidak ingin kamu terluka terlalu dalam.” Kalimat itu menggantung cukup lama. Seketika, Arundhati merasa dadanya sesak. Antara marah dan bingung. Ia pun beranjak, mencoba menjaga sopan santun. “Terima kasih atas makan malamnya, Pak. Sepertinya saya nggak bisa berlama-lama disini.” “Kalau begitu, saya antar.” “Nggak perlu. Saya bisa sendiri.” Namun, sebelum ia melangkah, Bagaspati kembali menahannya. “Kalau nanti kamu tahu kebenarannya, saya siap membantu, Dokter.” Arundhati tidak menjawab. Ia hanya menunduk singkat lalu pergi. *** Arundhati tiba di lobi yang langsung disambut udara dingin malam. Tangannya menggenggam tas erat-erat. Di kepala, percakapan tadi terus berulang. “Tidak mungkin Mas Radheya seperti itu,” gumamnya, pelan tapi tegas. Namun, titik pandangnya langsung menangkap sosok yang sangat familiar di sisi kanan area drop-off. Radheya. Ia mengenali postur tegap dan cara pria itu berjalan. Tapi yang membuat dadanya mengencang adalah sosok di sampingnya—seorang wanita bergaun pastel dengan rambut tergerai, tampak menunduk malu sambil tersenyum. Mereka berjalan berdekatan, terlalu dekat untuk disebut sekadar rekan kerja. Arundhati tidak bisa bergerak. Senyum itu … senyum yang biasa Radheya tunjukkan padanya. Arundhati langsung bersembunyi di balik pilar besar dekat pintu keluar. Ia mengintip dari kejauhan, memastikan matanya tidak salah lihat. Tapi, ya, itu memang Radheya. Jas navy yang dikenakannya, jam tangan perak di pergelangan kiri—semua terlalu familiar untuk diabaikan. Tangannya refleks merogoh tas, meraih ponsel dengan jari gemetar. Ia menekan kontak sang kekasih di layar. Satu dering, dua dering ... hingga akhirnya tersambung. “Sayang?” suara di seberang terdengar datar namun lembut. “Mas lagi di mana?” tanya Arundhati cepat, berusaha menahan getar suara. “Masih di kantor, kenapa?” “Di kantor?” ulang Arundhati, lirih. Manik matanya, tak lepas dari sosok pria yang kini menekan tombol lift bersama wanita itu. “Iya, ada beberapa hal yang belum selesai. Kamu kenapa? Sudah makan malam?” Arundhati menarik napas dalam, mencoba meredam rasa asing dalam dadanya. Ini pertama kali, ia mendapati Radheya berbohong padanya. “Sudah … Mas,” jawabnya pelan. “Good girl. Jangan tidur larut malam, ya.” “Mas ….” suaranya melemah, “di kantor sendiri?” “Tidak juga. Ada Kavi yang temani saya. Kenapa memangnya?” ‘Kavi?’ Arundhati tahu pria itu tangan kanannya, tapi—ia tidak melihat Kavi ada disekitar tunangannya. Dan disaat yang sama, lift pun terbuka. Arundhati melihat wanita disana melangkah lebih dulu ke dalam, disusul Radheya yang menatap sambil tersenyum kecil sebelum pintu lift kembali tertutup. “Eung … nggak, Mas. Nggak apa-apa,” ujarnya cepat, lalu menutup panggilan sebelum suaranya pecah. Arundhati membeku. Ponsel di tangan tiba-tiba terasa berat. Ada keinginan untuk berlari, namun, kakinya justru seperti agar-agar yang tak bisa berpijak dengan benar. Seketika itu pula, kepalanya terus berargumentasi, tentang apa yang diucapkan Bagaspati .... “Tidak semua yang terlihat bersih, benar-benar bersih, Dokter.” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD