Chapter Five

1211 Words
Banyu sampai setelah berhasil memacu mobilnya dengan kecepatan penuh kurang lebih selama 20 menit hingga sampai ke rumahnya. Dia memandang rumah kedua orang tuanya dan memandang rumah sebelahnya. Dan dia tahu bahwa Bening sudah berada di rumahnya. Tapi melihat ada mobil kedua orang tua Bening, Banyu mengurungkan niatnya. Ah, nanti saja batinnya. Setelah agak lama, dia akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam rumah. "Kok cepet, Mas?" tanya Laras yang tiba-tiba muncul dari arah tangga. "Iya.” "Oh." Laras hanya mengangguk. Dia sebenarnya malas menanggapi makanya hanya anggukan dan jawaban "Oh" saja yang dia ucapkan. "Tumben." Tiba-tiba Raka menanggapi yang muncul dari arah dapur. Banyu yang paham hanya diam dengan tampang datarnya. "Mama mana?" tanyanya Banyu. "Di kamar." "Papa?" "Di ruang kerja." "Dan lo ngga ke kantor lagi?" tanya Banyu. "Kenapa?" Raka mengedikkan bahu lalu berlalu pergi. Sedangkan Laras yang melihat kedua kakak lelakinya hanya bertanya jawab seadanya sebenarnya sudah biasa, Raka dan Banyu tidak pernah akur. Dan tidak sedekat itu menjadi kakak-adik. Hanya saja Raka tetap memilih kata-kata yang bagus dan sebisa mungkin tidak menyinggung Banyu dan memulai percakapan lebih dulu. Laras mengakui bahwa Banyu lebih banyak diam dan tenang dari pada Raka yang jahil, selengean, dan semrawut. Hanya saja beberap poin Raka lebih unggul. "Kak!" panggilnya. "Ya?" Raka menoleh ke arah Laras. “Kenapa, Dek?" tanya Raka. "Mas Banyu kenapa ya? Kok aneh?” tanya Laras. Raka mengedikkan kedua bahunya tanda tidak tahu. "Mending kamu belajar aja, gih, dari pada kepo ih," ujar Raka mengacak rambut Laras membuatnya kesal bukan main. "Mas main, ih!" Laras menepiskan tangan besar Raka dari kepalanya. "Nggak usah kepo!" "Siapa yang kepo? Orang tanya aja kok." "Itu namanya kepo. Lagian kamu masih kecil. Belajar sana!" suruhnya. "Udah bsuruhnya, Mas, aku. Kan udah 16 tahun bentar lagi.” Laras menjawab sambil nyengir. Setelah puas mengacak rambut adiknya, Raka pun berlalu. "MAMA, MAS- RAKA JAHAT!!" teriak Laras. Tiba-tiba Rere turun dari tangga dan melihat Laras berteriak serta Raka yang pergi ke ruang kerjanya. "Ada apa sih ini? Kok teriak-teriak?" "Itu, Mah. Mas Raka acak-acak rambut aku.” "Ya ampun, Ras, gitu doang kok teriak sih. Kaya kamu diapai maling aja," kata Rere ngedumel. "Ihh, Mama nggak asik! Masa anaknya dijahilin diem aja. Didoain diapai sama maling lagi," sungutnya. Rere yang mendengar pun hanya tertawa pelan. "Bukan gitu. Mama hanya heran aja, kok kamu selalu aja berantem sama Mas Raka sih? Ada-ada aja. Kayanya kepribadian kam sama Raka ketuker deh," ucap Rere santai membuat Laras melotot kaget. "Mama ih, enak aja!" katanya lalu menaiki tangga dan membanting pintu. "Ampun deh, punya dua anak cowok dan satu cewek semua tingkahnya melebihi punya anak selusin. Walaupun yang cowok ada yang ngga waras, ya sama aja, muka kok datar terus sih." Dia berbicara sendiri sampai Raka menganggetkan. “Raka denger lho, Mah.” "Astaga! Kamu ngapain? Mama sampe kaget. Kamu bikin mama jantungan aja. Bukannya kamu udah di ruang kerja tadi ya? Ngga balik ke kantor kamu? Udah jam empat juga, Nak, nanggung," cerocos Rere tanpa henti sampai membuat Raka melongo enggak percaya bahwa mamanya bisa berbicara panjang lebar dalam satu tarikan nafas tanpa berhenti. "Ma, bicara satu-satu. Tanya satu-satu. Jangan kaya dikejar anjing gila gitu!" ucapnya santai. "A-pa? Kamu bilang mama dikejar anjing gila? Kamu doain mama?" "Ya Tuhan. Tolong Baim, ya Allah." Raka membuat tangannya seperti orang berdoa. "Emang di rumah ini cuma Banyu sama Papa sih yang waras. Bener sih emang,” kata Raka sambil berpikir dan meletkakkan jari telunjuk di bawah dagu seolah berpikir. "Apa kamu bilang?" Mama mengejar Raka sampai menyerah ke ruang tamu dan dia ambruk di sofa. "Udah, Ma. Raka capek. Beneran deh,” ucapnya sambil mengangkat jari telunjuk dan tengah membentuk huruf V. "Mama sama Raka ngapain?” Papa dan Banyu turun dan melihat anak serta istrinya berlarian sambil istrinya membawa centong nasi. "Mama nih, Pa." Raka mengadu pada papanya. "Masa mau penyiksaan terhadap anak.” "Enak aja kamu!" Rere menendang kaki Raka. "Minta ampun gak sama mama?" tanyanya. "Iya, Ma, ampun,” kata Raka. "Kok bisa sih, Papa nikahin perempuan kaya mama? Geragas," bisik Raka yang membuat papa mereka tersenyum namun masih didengar oleh Rere. "Apa?" kata mama menjewer telinga Raka. "Udah dong, Ma! Masa sama anak sendiri nggak mau ngalah sih?" "Papa bisa bilang gitu ya karena bukan papa yang dijahilin Raka dari tadi." "Mama sih. Anak sendiri kok dilawan-lawan. Raka ya mana berani sama papa," katanya membuat mama dan Raka mendengus. "Papa mau ke mana?" "Oh, ada kerjaan bentar," jawabnya. "Kamu Banyu?" "Ke rumah Bening," jawabnya. Dia tahu jika menjawab ada kerjaan pasti seisi rumah pada kepo. Tapi apabila tidak menjawab malah dibilang sok misterius. Sudah dikatakan ke rumah Bening pada diam aja melongo terkejut gitu. "Ngapain?" Serentak Mama dan Raka bertanya yang membuat papa hanya geleng kepala. "Ada urusan.” "Urusan apa?" "Iya, mama ngerasa kamu ngga pernah berurusan sama dia. Bukan ngga pernah, emang ngga pernah mau kan deket sama Bening juga?" kata mama bingung bertanya pada diri sendiri. Pasalnya dia tahu anak lelaki keduanya itu bukan orang yang suka berteman dan bergaul sana-sini. Dengan Bening pun begitu. Hanya saja dulu memang dia lumayan dekat dengan Bening sebelum Celine datang ketika mereka mulai Sekolah Menengah Pertama sampai Menengah Atas. Apalagi kuliah sudah menjauhkan dia dari Bening. Tidak hanya Bening, bahkan dari mama juga. Biasanya Banyu adalah anak yang perhatian dengannya. Jika Laras dengan papanya, maka Banyu dengannya. Beda dengan Raka yang jahil. Dia lebih terbuka dengan neneknya karena kelamaan tinggal di sana. Heran saja melihat Banyu tiba-tiba mau ke rumah Bening walau tidak jauh. Meski sebetulnya bisa sebulan sekali pun, dia tidak akan ke rumah Bening, padahal jaraknya hanya beberapa meter. Berdempetan lagi rumah mereka. Emang dasarnya aja Banyu pendiam alias si muka datar. "Ya buat apa?" "Ihh, Mama kepo," sahut Raka membuat mama mendelik. "Awas kamu ya ngapa-ngapain Bening!" ucap Rere memperingati. Banyu yang mendengar hanya mendengus saja lalu membuang muka. "Aku pergi." Membuat kedua pasang mata saling pandang dan mengedikkan bahu tanda tak tahu ada apa di antara mereka berdua. *** Tok…Tok…Tokk… "Bening, saya tahu kamu di dalam. Keluar!" teriak Banyu. Banyu bukan seorang pengecut hanya saja dia merasa tidak baik ribut di depan rumah orang ketika orang tuanya ada. "Siapa sih? Ganggu tidur siang aja," gerutu Bening yang tidak tahu bahwa Banyulah yang ada di depan, menunggu dengan wajah tegang. Tok...Tok…Tokk "Bening, cepat buka pintunya! Saya tahu kamu di dalam.” "Iya, sebentar." Suara sahutan dari dalam membuat Banyu sejenak melunak namun kembali tersadar bahwa wanita yang di dalam sanalah yang sudah membuat kekasihnya, Celine, kesakitan tadi. "Kaya suara Mas Banyu deh. Apa aku yang salah ya? Masa dari mimpi ke bawa dunia nyata sih." Bening mengucek matanya tanda tak yakin. Dia melakukannya sekali lagi sampai akhirnya Bening membuka pintu. Ceklek. "Mas Banyu?" ucapnya terkejut. "Iya saya, kenapa?" Banyu meneliti penampilan Bening dari atas sampai bawah. Bening yang sadar diperhatikan pun akhirnya menutup tubuhnya dengan kedua tangannya sebab dia hanya memakai tangtop dan hotspant karena biasa di rumah beginilah penampilannya. "Aaahhh, Mas Banyu, Bening malu. Mas-Banyu-m***m, ih..." tekannya sambil setengah teriak mengucapakan setiap katanya. Banyu yang sadar memperhatikan Bening langsung kembali tersentak ke dunia nyatanya. Banyu, bilang aja kamu suka sama Bening. Sok gengsi mengatakan dia ngga sebanding dengan Celine lagi, kata hatinya berbisik. "Kamu—" tunjuk Banyu. "Ya?" jawab Bening dengan polosnya. ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD