Chapter Six

1131 Words
"Kamu kan yang masak tadi di rumah?" "Iya, kenapa Mas?" "Kamu sengaja ya, Ning?” Bening yang tidak paham pun hanya merengut. "Buat makanan yang ada terasinya? Bahkan kacang juga ada. Kamu bisa aja membuat Celine berada dalam bahaya. Kamu ya ….” Banyu menahan geramannya terhadap Bening. Dia pun menghela napas sejenak. "Kamu sebenarnya mau apa?" tanyanya pelan. Dia tahu menghadapi Bening tidak bisa dengan kekerasan, harus dengan kepala dingin. "Aku? Maunya apa?" tanyanya polos lebih ke arah dirinya sendiri. Sembari berpikir, Banyu melanjutkan, "Iya, kamu mau apa? Dan bagaimana agar kamu ngga terus-terusan mengganggu aku?” Bening yang sudah mulai senang pun akhirnya kembali dijatuhkan dari lantai dua, eh, kejauhan kayanya. Sedangkan jatuh dari kursi di sekolah aja sakit, apalagi lantai dua? Metong deh, batinnya. Bening meggelengkan kepala layaknya benar-benar terjadi, membuat Banyu bingung. "Ada apa? Kamu jangan akting atau membodohi saya lagi!" katanya ketus. Bening pun mengerucut. "Mas Banyu beneran mau ngga aku ganggu lagi?" Banyu hanya mengangguk pasti. "Kalo aku ngga ganggu Mas Banyu, hidupku hampa toh, Mas." "Kamu itu masih anak-anak, Ning. Tau apa sih kamu?" Bening tidak senang kala Banyu mengatakannya masih anak-anak. "Mas Banyu kenapa sih?" "Kamu yang kenapa? Kamu seolah-olah tersakiti. Padahal saya tuh ngga berharap apa-apa sama kamu.” Ucapan Banyu benar adanya, tapi tidakkah dia merasa harus kasihan. Oh, mengapa bersimpati dengan anak delapan belas tahun rasanya susah sekali? Apa iya tidak ada sedikit pun rasa yang dimiliki Banyu kepadanya? "Kalau aku yang berharap gimana?" tanya Bening dengan polosnya. "Itu resiko kamu. Aku ngga maksa. Dan kamu juga enggak boleh memaksa!" tegasnya "Oke. Mas Banyu ngga mau aku ganggu terus kan ya? Kasih aku satu kesempatan untuk buktikan kalo pantas buat Mas Banyu!" pintanya. "Apa yang kamu mau?" "To the point banget sih, Mas," katanya sambil memainkan sebelah mata. "Cepat! Saya ngga punya banyak waktu meladeni kamu." "Biarkan aku tiap hari ke rumah Mas Banyu buatin makana. Dan juga, tiap malam Minggu jalan berdua. Gimana?" "Kamu.... Ngga ada yang lain apa?" "Ada sih. Justru semakin membuat Mas Banapangga nyaman nanti." "Apa?" "Jadi pacarku, toh,” godanya. "Atau Mas Banyu mau terus aku gangguin?" "Kamu!!!" "Iya atau tidak?" tanya Bening. Semula Banyu mundur lalu membalikkan tubuhnya, berjalan menjauh, membuat Bening menatap sendu. Tetapi akhirnya dia membalikkan tubuhnya lagi. “Oke. Hanya sebulan ini, tidak lebih!” ucapnya lalu pergi. Bening sudah melonjak kegirangan sebab dia bisa berdekatan terus dengan Banyu. Walau hanya sebulan, dia akan memanfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya. "Yeayyyyy, gue seneng banget. Telpon Naya ah," serunya. *** Banyu hanya bisa menghela nafasnya kala sudah sampai di depan pagar rumahnya, menoleh kembali ke belakang. Dia masih mendengar dari tempatnya berdiri suara Bening yang berseru senang. Tanpa sadar dia tersenyum samar. Sangat samar atau memang sengaja dia samarkan agar tak terlihat banyak orang. Banyu tahu bahwa sebenarnya dia tidak bisa menolak permintaan seorang Bening begitu saja. Hanya saja jika menerima dia takut hatinya akan bimbang. Akhirnya dia menerima. Dia akan membuat Bening akan menjauh darinya bagaimana pun caranya. Biarkan dia bersikap jahat tapi dia punya alasan untuk itu. “Hahhh.” Banyu menghembuskan napas kasar, kembali melanjutkan langkah menuju rumah. "Mas Banyu!" Laras adiknya memanggil. "Dari mana?" "Dari antar Celine," jawabnya datar. Laras bukan tidak tahu bahwa Banyu dari rumah Bening, walau dia tahu bahwa sebelumnya Banyu juga habis mengantar Celine. "Masa sih?" Karena tak yakin, Laras mencoba menyelidiki kakak lelakinya itu. "Iya. Kamu mau ke mana?" tanyakan berusaha mengalihkan perhatian. "Oh, ini mau buang sampah ke depan sekalian Mama nyuruh ke minimarket beli mentega," jawabnya. Banyu hanya mengangguk, kembali berjalan, tapi Laras menahannya. "Mas!" panggilnya lagi. "Ylagi "Jujur deh sama Laras! Mas Banyu punya rasa ndak sih sama Kak Bening?" "Maksud kamu?" Pertanyaan polos itu seketika membuat Laras ingin menggetok kepala Banyu dengan centong nasi mamanya. "Mas Banyu ngga usah pura-pura bodoh. Aku tau kok sebenarnya Mas Banyu dari mana," katanya tajam. "Kamu ngomong apa sih, Ras? Kamu—” Belum sempat dia berucap, Laras langsung memotong. "Aku tuh tau, Mas Banyu dari rumah Kak Bening.” "Kamu salah paham!" Jujur dia terkejut adiknya bisa tahu sedetail itu. "Kamu masih belum paham, Ras.” "Apa sih yang ngga aku paham tapi Mas Banyu paham? Aku emang masih belasan tahun, Mas, tapi aku paham masalah ginian. Aku—" Banyu menghentikannya. "Kamu belum paham, Dek. Nanti kamu pasti akan paham," jawabnya pelan lalu menyuruh Laras kembali melanjutkan kegiatan yang ingin dia kerjakan. Laras hanya mentapnya sinis dan berlalu. Banyu tahu semua orang pasti akan membencinya setelah apa yang dia lakukan untuk Bening nantinya. Tapi apa daya. Dia tidak menyukai Bening, hatinya untuk Celine. *** Send Messages : Nay, gue mau ngomong deh! Ting! Naya yang sedang asik men-scrool sosial medianya melihat satu pesat w******p dari Bening pun langsung membalas. Replay Messages : Apaan sih, Ning? Lu ganggu waktu gue deh! Bening yang melihat pun hanya mengerucut kesal. "Ihh, kok Naya jahat sih," katanya ngedumel. Send Messages : Nay, Naya, Nayaaaaa! Akhirnya Bening meneror Naya terus-terusan. Tutt...Tut...Tut... Naya Calling... Bening pun melirik ponselnya dan berseru senang,"Yeeay, akhirnya!" "Halo!" sapa Bening. "Kenapa lo?" "Gue seneng banget, Nay" "Ya, tapi kenapa, Jaenab?" "Ish, ngga asik ah, Nay. Masa nama Bening cantik gini dibilang Jaenab?" rajuknya. "Udah kagak usah merajuk. Gue kagak ada permen." "Iyuhh. Sadis kamu tuh. Ih, emang Bening anak-anak apa?" "E-M-A-N-G!" jawab Naya ketus. "Napa? Gue ada kerjaan ini" "Nay, seneng deh soalnya Mas Banyu mau dimasakin sama gue trus tiap hari." Naya hanya mengangguk dan bergumam "hem" di seberang sana. "Cuma hem doang?" tanya Bening. "Iya. Eh, apa tadi?" "Mas-Banyu-mau-gue-masakin-terus-tiap-hari." Dia menekankan setiap katanya dalam percakapan. "HAH?" Naya terkejut bukan main. "Serius lo?" tanyanya tak yakin. "Iya beneran tau!" "Lu paksa ya?" Naya mulai curiga. "Ehehe, ada deh. Besok deh gue ceritain," jawab Bening jujur. "Tapi sebulan doang sih," lanjutnya sedih. Perkataan itu berhasil membuat Naya terbahak. Bening pun hanya bisa mengerucut kesal bukan main. "Oke, besok aja ya!" ujar Naya. "Ih, Nay, cepet banget." "Gue sibuk." Tuttt.... Dering panjang berhasil mengakhiri pembicaraan mereka berdua yang membuat Bening kesal sampai ke ubun-ubun sama Naya. Tapi, dia masih bisa senyam-senyum apalagi dengan memikirkan seorang Banyu Biru. *** Sedang itu di sebuah Club malam, seorang wanita menikmati minumannya. Padahal hari belumlah malam. Ini masih sore dan dia sudah berada di sini. "Nambah berapa botol lagi?" tanya sang bartender. "Satu aja dulu." "Yakin lo bisa ngabisin?" "Yakin, kok. Udah biasa," jawabnya. "Sampai kapan sih lo ngga berenti? Ngga capek cari perhatian tuh orang dengan cara begini? Dia ngga hargain lo juga kali." Iya, si bartender adalah temannya si wanita ini yang termasuk tahu seluk-beluk kehidupannya. "Diam lo! Lo ngga tau apa-apa!" ketusnya. Si wanita akhinya menuju sebuah meja kosong dan kursi tanpa penghuni. Si bartender hanya mengamati dari tempatnya. “Gue takut lo kelepasan dan lo nyesal seumur hidup, Lin," ucapnya pelan, menatap sendu temannya. ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD