Chapter Seven

1637 Words
Celine memandang langit dari balkon kamar hotel. Lagi-lagi dia berakhir di sini. Selalu seperti ini. Dia pun sebenarnya tidak mengerti dengan keadaan ini. Hanya saja memang beginilah kehidupannya. Dia harus menjalani kehidupan penuh sandiwara. Selalu begitu untuk menutupi kelemahannya. "Loe ngapain di situ? Ini masih pagi banget." Suara itu adalah suara Bram, temannya, bukan teman yang di bar tadi malam. Tapi ini adalah sejenis teman 'friend with benefit’, mungkin bisa diartikan seperti itu. "Meratapi nasib? Maybe. Gue juga ngga tahu apa namanya, tapi gue rasa pagi buta adalah waktu yang tepat buat merenung atau tepatnya meratapi nasib." "Untuk apa loe meratapi nasib? Lo itu cantik, kaya, dan punya karier bagus, Line. Harusnya lo bisa manfaatkan itu semua untuk kesenangan hidup lo. Hey, hidup ini sementara dan lo harus manfaatkan itu buat kesenangan dan kebahagiaan lo. Lo harus bisa gunain itu!" nasehatnya sambil mengerling. "Maksud lo menghabiskan malam dengan penuh gairah? Sama kaya lo gitu?" Bram mengedikkan bahunya tanda mungkin saja. "Ya, itu terserah lo mau gimana. Lo bisa keliling dunia tanpa seks or lo bisa sendirian ngapain aja tanpa ada cowok," katanya, " this is not bad. Kenapa harus sesedih itu?" Dia bangkit lalu mengambil sebatang rokok dan menyalakannya. Menghisapnya perlahan dengan penuh perasaan lalu menghembuskan dengan perlahan seolah menikmati setiap nikotin yang ada di dalam sebatang rokok itu. Menikmati setiap racun yang turun ke dalam tubuh dan siap menghancurkannya kapan saja. Sama seperti cinta. Cinta membuat orang pintar menjadi bodoh. Celine yang menyukai orang lain dan Bram yang menyukai Celine, rela menjadi kambing hitam dan cadangan setiap saat kapan pun Celin butuh dirinya. Teman. Sahabat. Rasa sukanya pada Celine menjadikannya bucin, 'b***k cinta', yang siap dijadikan kacung kapan pun dia mau. Akhirnya menjadi 'friends with benefit' antara mereka berdua. "Kapan lo mau bilang sama dia kalau lo suka?" Dia menggelengkan kepala tanda tak tahu. Celine pun mengambil sebatang rokok juga dan menyalakannya. Menghisap setiap ruasnya dan menghembuskan asapnya secara perlahan dan menatap jalanan yang masih sepi, menandakan bahwa belum ada aktifitas apa pun dari jam yang masih terbilang sangat pagi. "Gue gak tau" "Terus sampai kapan lo mau memanfaatkan orang lain? Kepolosan orang lain lo maanfatin tanpa dia tau bahwa lo ngga pernah peduli sama perasaannya?" "Sampai gue dapetin orang yang gue inginkan!" Kesannya Celine memaksakan kehendak tapi inilah dia. Orang-orang tidak pernah tahu bahwa dia selalu mendapatkan apa yang dia inginkan selama dia hidup dari kecil sampai sebesar ini. Jadi, keadaan saja yang salah, tapi keinginannya tidak akan pernah salah. "Kalau lo ngga mau bilang dan orang yang lo harapin juga ngga pernah tau. Mau gimana? Lo terus memaksa jadi parasit dikehidupan orang lain?" "Siapa yang lo bilang parasit? Yang jadi parasit itu adalah penghalang kebahagiaan gue. Dan itu satu orang, eh dua orang, tapi yang satu masih bisa gue atasi. Tapi B-e-n-i-n-g itu sangat mengganggu," ucapnya marah. Itu sangat kentara karena dalam setiap kata yang diucapkannya untuk menyebutkan nama Bening sangat tertahan geraman. "Lo ngga bisa terus-terusan nyalahin orang lain karena kesalahan lo, Lin." Bram menghembuskan asap rokoknya sampai tandas. Dia mengamati Celine lalu kembali menatap jalanan yang sudah mulai ramai. "Kesalahan gue? Apa kesalahan gue?" "Lo ngga bisa dapetin orang yang lo inginkan dengan cara baik-baik." "Maksud lo?" "Lo ngga tau apa maksud gue, Line?" "Gue udah ngelakuin segala cara tapi dia gak lihat gue. Dia bahkan tidak ngelirik sedikit pun," racau Celine. "Dan harusnya lo tau bahwa ada orang yang benar-benar sayang sama lo. Kenapa lo enggak memanfaatkan itu?" "Gue sekarang sedang memanfaatkannya. Moment yang tepat, ‘kan?" tanya Celine menantang. "Bukan itu maksud gue. Lo harusnya paham karena lo ngga b**o, Line. Lo harus tau kalo lo ngga mampu." "Apa yang gue ngga mampu? Apa yang seorang Celine ngga bisa lakukan?" Celine benar, tidak ada yang tidak bisa dia lakukan. Dia bisa semua dan hampir sempurna sebagai seorang wanita. Tapi, ada satu hal yang tidak bisa dia dapatkan. "Lo ... can't make someone that you liked but, he is not like you. No, you love him but, he is not" telak. Perkataan Bram tepat mengenainya. Tapi apa pun itu, cinta kadang membuat orang gila dan tanpa logika. Itulah yang dialami Celine. Dia sudah buta karena perasaan lama terpendam. Dia hanya orang yang jatuh cinta tapi kenapa harus dihakimi? "Gue ngga mau ngomong sama lo. Besok hari sabtu gue mau jalan sama Banyu," ujarnya, mengambil pakaian dan pergi ke kamar mandi. Bram hanya menatap jalanan yang sudah ramai. Jam menunjukkan hampir pukul tujuh pagi di mana semua aktifitas masih berjalan walau menjelang weekend.nDia melihat ada kopi di sana. Membuatnya dengan masih menghisap batang nikotin itu beberapa kali. Tidak lama Celine keluar dengan baju sudah rapi. "Gue mau pergi ke kampus. Siang gue ada acara pemotretan sama teman se-geng gue," ujarnya memberitahu tanpa Bram bertanya sekalipun. Celine tahu Bram tidak akan bertanya tapi ketika dia sudah pergi maka dia sering chat dan bagi Celine itu sangat mengganggu. Dia tidak suka, baginya saat mereka bersama bukan suka sama suka. Sekedar friend with benefit no more. Tapi Bram selalu posesif bahkan terlalu over dan itu menurut Celine melampui batas. "Gue mau balas loe deketin Bening dan buat dia suka sama lo." "Whats?" "Iya, gue mau dia menjauh dari Banyu." "Tapi kenapa, Line? Dia masih anak delapan belas tahun." "Tapi dia biang masalah buat gue!!!" Teriakan ini sudah sering Bram dengar ketika Celine harus diabaikan oleh ayahnya, ibunya yang menuntut dia tampil sempurna. Tapi baru kali ini dia melihat ada yang beda pada diri Celine. Dia takut wanita ini akan menyakiti diri sendiri dan orang lain. Tapi yang paling tersakiti adalah dirinya sendiri. "Dia masalah, Bram. Masalah yang harus disingkirkan," ujarnya tiba-tiba tenang. Sebenarnya Celine bukanlah orang yang mudah emosi. Dia hanya melampiaskan sesekali, tapi mengerikan jika dia sudah bertindak. Inilah yang selau dijaga oleh Bram. Bukan berarti dia posesif. Dia tidak segila itu untuk mengekang siapa pun. Tapi lain dengan Celine. "Gue gak mau!" Jawaban Bram langsung membuat Celine menoleh kepadanya. Cepat. "Lo pikir-pikir dulu. Karena gue akan kasih lo waktu." "Tapi, Line, ini gak adil bagi dia." "Gue gak peduli dia." "Line—" Celine menghentikan pembicaraan Bram dengan mengangkat sebelah tangannya. "Gue mau ke kampus dan ajak Banyu untuk dinner besok. Jadi hari ini sampai besok jangan ganggu gue atau pun hubungi gue. Gue males balesin chat lo. Dan gue gak mau Banyu tau hubungan kita!" Ini perintah dan lagi-lagi Bram hanya diam atas perlakuan ini. "Gue cuma ngaku sama dia kalo kita sekedar temenan aja dari sekolah tapi ngga deket banget karena yang Banyu tau lo ngga satu sekolah sama kita. Yang dia tahu hanya orang lain yang satu sekolah sama gue adalah sepupu gue. Bukan lo," tegasnya. "Gue pergi dulu. Bye!" Celine berlalu tanpa peduli bagaimana perasaan Bram di sana. Dia memang seperti itu, hanya memikirkan dirinya sendiri. Tapi Bram yang memang sudah terlanjur mencintainya hanya mengangguk dan menurut. Bucin? Itu tepat disematkan baginya. Tapi harusnya dia tak sebodoh itu. *** Sedangkan Banyu sudah sampai di kampus. Dia akan berjumpa dengan pembimbing skripsinya. Dia memang ingin segera selesai dan segera menjadi seorang pengacara. Dia sudah bekerja di sebuah firma hukum, tapi dia tetap bekerja di kantor ayahnya dengan yang menjadi atasannya adalah kakanya, Rraka "Tumben lo udah sampai?" Salah satu temennya menyapa. "Iya, gue mau cepat selesai," jawabnya singkat. "Ya lo enak, Nyu, bakalan cepet kok. Dosen lo juga baik sih. Nah kita? Parah deh," ujarnya sok dramatis. "Lo habis ini udah selesai, bakalan sidang dan wisuda tahun ini nih, udah kerja trus gimana hubungan lo?" "Ya gimana apanya?" "Lo ngga usah pura-pura b**o dong, Banyu. Lo kan udah selesai ini. Celine juga bentar lagi. Ya kalian ngga mau nikah gitu?” Menikah? Nikah. Pikiran itu kembali terbayang. Dia belum bicara apa pun pada Celine tentang rencananya. Bahkan sekarang Bening memberi pilihan dan dia harus memilih. Celine bahkan belum tahu tentang ini. Orang tuanya? Dia ngga berani untuk membicarakan pernikahan sekarang ini, sebab mamanya belom mau memberi izin dia dengan Celine. "Belum tahu gue. Emang kalau udah selesai semua langsung nikah ya? Kita juga masih muda kok." Perkataan Banyu terdengar ragu untuk dirinya sendiri. Ya, sebenarnya dia hanya meyakinkan dirinya agar tak terlalu buru-buru agar dia yakin dengan pilihannya. "Ya kita masih muda kok, Nyu. Ngga usah takut dan lo ngga usah dengerin omongan Jojon. Dia kan emang begitu." Andi memang lebih bijak tampaknya walau kadang dia juga b******k. Ya, Andi kadang lebih bisa mendamaikan suasana ketimbang Jojo—nama aslinya Jojo, tapi temannya lebih sering memanggilnya Jojon. Itu hal biasa dalam pertemanan. "Ya gue cuma nanya. Kali aja lo lupa kalau Celine juga nanti butuh kepastian. Mau dua atau tiga tahun lagi. Asal ngga jagain jodoh orang aja deh. Lo mau Celine akhirnya nikah sama orang lain karena lo ragu?" "Udah ngomongin ini nanti aja. Oke.!" Andi menengahi. "Jo, itu bisa diomongin besok. Oke! Nyu, lo ngga usah pikirin itu dulu. Sekarang lo fokus aja sama skripsi lo sebulanan ini biar bisa sidang dua bulan ke depan." Perkaaan teman-temannya tepat mengena padanya. Tapi Banyu lupa bahwa dia juga akan menyakiti orang lain. "Babe," sapa Celine. "Uh…. Bebeb datang makin semangat dong aku, Kaka." Jojo mulai menggoda temannya. "Berisik loe!" Andi langsung ngegas karena dia lagi jomblo. "Berisik lo pada," kata Banyu. "Ayo, duduk sini!” ajaknya, "mereka emang berisik." "Iya sih temen kamu tuh,” balasnya terkekeh. "Kenapa tadi kok kesini? "Emang harus ada apa ya, kalo aku ke sini?" tanyanya. "Ya ngga sih. Cuma aku mau bilang besok kan sabtu. Jalan yok!” "Boleh. Tapi tunggu aku pulang bantuin Raka dulu ya sampai siang." "Kan Sabtu, Sayang, masa kerja juga?" katanya merajuk. "Bukan kerja. Cuma bantuin Kak Raka aja" jelasnya. "Aku ngga boleh ikut gitu?" "Kan di kantor, walau ngga formal, takutnya kamu bosan, dan kamu tahu sendiri gimana Raka. Mending jangan dulu ya?" pintanya. Celine hanya mengangguk dan akhirnya dia setuju lalu berpamitan pada Banyu dan temannya. ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD