Chapter 3 - 4

1192 Words
CHAPTER 3                 "Eh!"                 Brendon menarik tangannya yang memegang tangan mungil putih itu, begitu pula sang pemilik. Ia menatap ke samping dengan pandangan tak senang, ditemukannya gadis mungil bergaun biru muda dengan rambut hitam yang terurai panjang. Mata birunya mengalihkan pandangan tak membalas tatapan cokelat tajam pemuda itu.                 "Ma-maaf, Kak!" katanya dengan nada menyesal.                 Brendon menghela napas, ia ingin mengambil lagi namun tangan gadis itu kembali terulur untuk mengambil kue yang juga ingin ia ambil.                 "Eh, ma-maaf lagi, Kak!" Sekali lagi ia meminta maaf.                 Brendon mendengkus, ia berdecih lalu berbalik pergi.                 "Eh, mm …, Kak!" panggil gadis itu, tetapi ia tak menahan Brendon yang kini hilang di antara lautan tubuh lain.                 Ia menyadari dirinya ditatap tidak mengenakan oleh orang-orang di sekitarnya, membuat ia merasa bersalah meski sebenarnya disalahartikan oleh sang gadis. Diambilnya sebuah piring kertas, kemudian diisinya dengan beberapa kue di sana.                 "Kak!" panggilnya, melewati kerumunan yang ia ingat tadi sang pemuda ke arah sana.                 Ia menemukannya, hanya saja kini Brendon tengah berbincang dengan seorang pemuda lain yang terlihat bersama seorang gadis. Disaksikannya dengan seksama percakapan yang tidak terdengar itu, ia perhatikan hingga si pemuda melangkah bersama lawan bicaranya menuju keluar bangunan.                 "Eh?"                 Sadar dari lamunannya memperhatikan, gadis itu sedikit berlari menyusul. Ia mengikuti mereka tanpa pikir panjang yang nyatanya menuju ke parkiran. Keduanya mengeluarkan pria yang kelihatan lemas dari mobil. Ia masih belum bertindak dan memilih mengikuti lagi karena mereka bertiga kembali berjalan ke bagian belakang bangunan sekolah menengah atas yang diubah menjadi tempat pesta itu.                 Mereka masuk ke salah satu bangunan yang terang karena lampu, meski kelihatan agak usang.                 "Gudang?" Gadis itu bertanya pada diri sendiri.                 "Gila, ketemu tu cewek orgil, mood gue jadi buruk!" Brendon duduk di sofa yang telah rusak sebagian setelah ia dan Dallon melemparkan Mike yang masih sempoyongan di atas sofa lain, ia mengambil salah satu botol di meja, membukanya tanpa kesulitan lalu menenggak dengan tegukan beberapa kali.                 "Ya elah, Bos! Baperan amat, sih, jadi orang! Liat-liat dulu, geh! Kalo cantik jangan cepet marah!" Dallon mengambil botol di atas meja dan meniru yang dilakukan Brendon. "Lo ganggu gue ngelepas gelar jones gue tau, gak?!" kesalnya berkata setelah minum.                 "Jones jones aja seumur idup lu!" Tawa Brendon kemudian.                 "Tega lu nyumpahin gue! Balik lagi ke elu tau rasa, lu!"                 Brendon hanya tertawa, wajahnya sedikit memerah akibat pengaruh alkohol.                 "Permisi, Kak—"                 Pemilik suara menggantung pernyataan, kedua pemuda itu menoleh ke sumber suara di mana seorang gadis tengah berdiri di ambang pintu sambil memegang piring berisi kue di sana. Ia menatap kaget para pria yang ada di sana.                 "Keciduk!"                 Si gadis siap berbalik dan melangkah pergi, tetapi Brendon bangkit dan dengan gesitnya tangan kanannya menangkap tangan gadis itu. Kue yang ia bawa terjatuh di lantai sementara ia terpaksa berbalik menghadap si pemuda.                 "Le-lepasin, Kak!" pintanya sambil meronta, tetapi kekuatan Brendon tak sebanding dengan badan mungilnya.                 "Sans, gue cuman mau ngajak kenalan." Brendon menyengir, tangan kirinya yang masih memegang botol kembali menenggak beberapa tegukan, menghabiskannya secepat kilat dan membuangnya asal. "Nama lo siapa, huh?"                 "In-Indira," jawabnya dengan gemetar.                 "Meski orgil, ternyata si Dally bener juga. Harusnya gue gak cepet marah, lo cantik banget ternyata." Tangan kanan Brendon menyikapkan poni panjang Indira ke belakang telinga.                 "Lepasin, Kak! Lepas—"                 Teriakan Indira teredam karena tangan Brendon kini membekapnya.                 "Gak semudah itu, lo pasti mau laporin kami ke Pak BP 'kan?" Indira menggeleng. "Bo'ong banget, sih … cantik-cantik sukanya bo'ong! Gemes, deh!"                 Melepas dekapannya, Indira menangis tersedu dengan pelan. Seluruh badannya gemetar menghadapi pemuda yang ada di bawah pengaruh alkohol itu. Suaranya seakan tercekat kala tangan itu memeluknya teramat erat.                 "Jangan nangis, Indiraku … mending, kamu ikut aku, oke?"               CHAPTER 4 Indira menggeleng, ia terus menangis, membuat rontaannya semakin lemah. Brendon tersenyum kecil, mulutnya mendekati telinga gadis itu. "Nama gue Brendon, dan gue mau lo neriakin nama gue di sela desahan lo nanti."                 Brendon memukul setir, membuat klakson tertekan dan menimbulkan suara yang mengagetkan. Ingatannya sampai di sana, dikarenakan setelah itu alkohol dan nafsulah yang mengambil alih dirinya.                 Mengeluarkan ponsel dari sakunya, pria itu pun menelepon seseorang tanpa khawatir ia tengah melanggar aturan lalu lintas. Berkendara sambil memainkan ponsel.                 "Saya pesen tiket, destinasi indah, liburan, ya terserah saja di mana tapi yang jauh dari Indonesia, oke?" Brendon mengerutkan kening. "Apa maksud kamu gak bisa, hah? Saya—"                 Brendon menginjak rem mendadak karena mobil lain yang tiba-tiba muncul dari arah samping. Nyaris ia tertabrak jika saja ia tak mengerem mendadak.                 Anehnya, mobil hitam berjenis van yang nyaris ia tabrak, malah ikut berhenti dan menghalangi jalannya.                 Wajah keheranan dan marah Brendon kini bercampur dengan kekagetan melihat beberapa pria berjas keluar dari mobil van itu. Ia ingin menelepon polisi, sayangnya sial ponselnya mati.                 Panik. Terlebih, orang-orang itu menghampiri mobilnya.                 Brendon melepas ponselnya, mencoba menyalakan mesin.                 Tidak bisa.                 "Keluar kamu!" teriak tegas seorang pria, Brendon terperanjat karena pistol yang ditodong di balik kaca depan di hadapannya. "Keluar!" ulangnya dengan berteriak.                 Brendon menenggak saliva. Ia membuka pintu mobil dan belum sepenuhnya keluar ia sudah dipegangi serta ditarik dua pria berbadan besar yang berjas ke hadapan si pria penodongnya.                 "Brendon Aryaputra …," ucapnya, Brendon ternganga mengetahui pria di hadapannya tahu namanya.                 "A-Anda siapa? Mau apa sama saya?"                 Tak ada jawaban, pria itu berjalan ke arah van dan membuka pintu. Seorang gadis berseragam SMA yang meringkuk dibalut jaket tipis muncul dari sana. Ia memandang mereka sekilas dengan mata biru berkelopak sembap, kemudian menunduk dan asyik kembali dengan dunianya sendiri. ***                 "Sus, tolong dia!" Brendon berkata dengan agak kewalahan karena Indira ada di gendongan gaya bridalnya. "Cepetan! Berat ini!" pekiknya.                 Beberapa perawat pun menghampirinya sambil membawa brankar, Brendon membaringkan gadis itu di atasnya dan mereka pun membawa Indira ke ruang rawat.                 Brendon menatap selama beberapa saat sebelum akhirnya berbalik.                 "Mas!" Seorang resepsionis memanggil, Brendon mendengkus kesal dan mau tak mau menoleh ke arahnya. "Mas gak ngedampingin—"                 "Bukan siapa-siapa saya! Hubungi aja keluarganya!" putus pemuda itu, sebelum akhirnya berbalik lagi dan kini benar-benar pergi.                 Di ruang rawat, Indira mulai diberlalukan layaknya pasien lain. Pihak rumah sakit pun menghubungi keluarga gadis yang bersangkutan. Tak butuh waktu lama, seorang pria bersama di kiri kanan bodyguard-nya datang ke sana.                 Mereka menghampiri dokter yang baru keluar dari ruangan yang memeriksa Indira.                 "Bagaimana keadaan putri saya?"                 Jawaban yang ia dapat dari sang dokter, membuat pria itu terkejut. Ia melingkarkan matanya sempurna.                 Menggeleng, ia masuk ke ruangan dan melewati sang dokter, ia menahan dua bodyguard-nya agar tidak ikut masuk ke dalam. Diambilnya kursi, duduk di sana tepat di samping insan yang ia panggil putrinya tersebut dengan emosi campur aduk.                 Indira, mendengar kegaduhan itu, sontak membuka matanya pelan-pelan. Ia melihat ke samping, di mana ia temukan sosok pria yang masih samar-samar di penglihatannya di sana.                 "Kak Brendon …."                 "Brendon? Apa dia orang yang menghamili kamu?"                 Terkejut, Indira mengerjap-ngerjap lagi. Sosok itu semakin jelas dan jelas hingga kaget ada di rautnya.                 "Papah?" Mata Indira berkaca-kaca. "Maafin Dira, Pah …." Tangisannya pecah, ia terisak kembali.                 "Dira, Sayang …." Ia menggenggam tangan putrinya yang diinfus. Menutup mata sesaat dan mengambil napas, ia pun menatap lekat-lekat putri semata wayangnya itu. "Ceritakan dengan jelas sama Papah, kenapa kamu bisa jadi begini?" ***                 "Pertanggungjawabkan perbuatan kamu, atau peluru bersarang di kepala kamu?" Ayah Indira menodong pistol ke kepala Brendon.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD