Chapter 5 - 6

1193 Words
CHAPTER 5                 Brendon hanya diam, meski begitu badannya gemetaran karena pistol yang siap ditekan pelatuknya ada di keningnya. Ujung dingin benda itu menyentuh kulitnya sedemikian rupa membuat buku kudukya merinding.                 "Jawab!" bentak ayah Indira geram.                 Menenggak saliva, Brendon mau tak mau menjawab, "I-iya."                 "Bagus." Kepalanya bergerak ke samping, seakan mengintruksi anak buahnya membawa masuk Brendon ke dalam mobilnya sendiri.                 Hanya saja, Brendon kini ada di bangku belakang bersama dua pria berjas di samping kiri dan kanan, ia tepat ada di tengah-tengah mereka. Sementara dua lagi di depan, dengan salah satu dari mereka menjadi penyetir. Pemuda itu memperhatikan orang-orang yang masuk ke van lagi, dengan terakhir objek yang ia lihat adalah Indira yang kemudian menghilang kala pintu van tertutup.                 'Gara-gara cewek orgil itu.'                 Mobil van tersebut pun berjalan, begitupun mobil Brendon yang mesinnya menyala kembali.                 'Sial banget gue hari ini.'                 Mereka melakukan perjalanan dengan mengekori mobil itu. Brendon menatap sekitaran, sampai ia menangkap seorang pria berpakaian polisi di jendela samping kanannya. Ia tanpa pikir panjang menjulurkan tubuh ke sana.                 "Pak, tol—"                 Teriakannya terbungkam karena tangan besar bodyguard itu membungkam mulutnya. Disertai, sebuah suntikan yang bersarang di leher yang menginjeksikan cairan yang membuat Brendon mengantuk seketika.                 Semuanya menggelap. ***                 Brendon melenguh, ia mulai mendapatkan kesadarannya kembali. Diregangkannya otot-ototnya yang pegal.                 "Sudah bangun?"                 Sebuah suara mengagetkannya, ia menoleh dan menemukan seorang pria yang ia ingat adalah sosok yang lalu.                 Penodong pistol di keningnya.                 Ayah Indira.                 "Eh?" Ia menatap sekitaran, sebuah kamar tetapi bukan kamarnya. Ia pun terbaring di kasur queen size yang bukan miliknya. Lebih mencengangkan, gaya ala rockstar-nya tergantikan dengan gaya kasual karena tuksedo yang kini ia pakai.                 "Masih ingat hal semalam? Cepat, orang-orang nunggu!" tegasnya.                 Brendon memandang bingung sesaat sebelum akhirnya melingkarkan mata sempurna.                 "Pak Yudayana, Nona Indira sudah siap!" ujar seorang pembantu perempuan yang datang, ayah Indira memanggut ke arahnya dan beralih lagi ke Brendon.                 "Kamu jangan pura-pura bodoh, ya!" Matanya melirik tajam. "Tolong, panggil seseorang untuk bawa dia!"                 "Baik, Pak!"                 Ayah Indira keluar beberapa saat setelah pembantu itu meninggalkan mereka untuk menatap Brendon dengan intimidasi. Pemuda itu sama sekali tak ciut nyalinya hingga berani menatap balik dengan tajam.                 Satu-satunya ia takutkan waktu itu hanyalah senjata api yang bisa saja membunuhnya.                 Ia menatap sekitaran, sampai menemukan sepasang jendela. Buru-buru ia menghampiri ke arah sana sebelum orang-orang yang akan membawanya pergi. Dengan mudah, ia membuka jendela itu dengan tangan kosong.                 Sialnya, kala ia melihat keluar ketika kakinya sudah melewati jendela, nyatanya sangat jauh jarak ruangannya ini dan tanah. Begitu tinggi membuat Brendon pusing seketika.                 "Oh, iya, bener banget lewat situ. Cara cepat nuju ke altar!" Suara ayah Indira terdengar, bertepatan dorongan yang membuat Brendon berteriak dan terperanjat. "Altar Tuhan!" Ia tak jadi jatuh karena tangan pria dewasa itu meremas bajunya dan mempertahankan tubuh Brendon.                 Sebagian tubuh Brendon sudah keluar dari zona aman.                 "A-ampun …."                 Ayah Indira mendengkus, ia menarik Brendon dan mengempaskan badannya ke lantai.                 "Bangun!" Brendon buru-buru berdiri. Dua orang pria berjas muncul lagi dan memeganginya. "Bawa dia!"                 Mereka kembali menarik Brendon, membawanya ke sebuah lingkungan yang dihias sedemikian rupa dengan pernak-pernik bunga putih. Hanya ada beberapa bangku yang berjejer di sana, dihuni beberapa orang saja. Fokus Brendon ke arah pria tua yang ada di atas panggung, sang pengikat janji suci.                 Brendon diseret hingga ke atas panggung, di mana mereka semua undur diri menyisakan pria itu dan sang pengikat janji di sana. Alunan musik khas pernikahan yang mendayu pun terdengar memasuki telinga.                 Semua berdiri khidmat, dan Brendon menoleh ke ujung karpet merah. Di pintu berhias tanaman menjulur, Indira keluar dari sana.     CHAPTER 6                 Gadis berbadan mungil dengan gaun putih yang terlihat serasi dengan bentuk dan kulitnya itu tak sendiri. Seseorang mendapinginya dan itu adalah sang ayah yang mengaitkan tangan satu sama lain. Indira memegang buket bunga mawar putih dan sama sekali tak ada senyuman keluar.                 Bahkan, ia tak menatap apa pun selain langkah kakinya sendiri.                 Sementara sang ayah, menatap tajam Brendon, mengintimidasinya dengan netra biru gelapnya.                 Gandengan terlepas kala tepat berada di hadapan altar, Indira naik dengan wajah menekuk ke bawah. Ia kini berdiri di hadapan pria yang akan menjadi suami resminya dengan ketakutan. Ia kelihatan semakin mungil di hadapan pria itu karena menundukkan kepala.                 Janji suci pun dikumandangkan.                 Tak lupa, pertukaran cincin di jari manis masing-masing.                 Semuanya seakan enggan keduanya lakukan, termasuk Brendon mau tak mau mengecup puncak kepala Indira. Bahkan bibirnya seakan tak menyentuh sehelai pun rambut milik sang gadis, juga begitu cepat ia menarik kembali.                 Penonton bertepuk tangan, suaranya begitu tak meriah karena hanya ada beberapa insan yang ada di sana. Indira melempar bunga dari belakang dan tak ada yang memperebutkan, bahkan yang mengambilnya adalah salah seorang bodyguard dari ayahnya.                 Sepanjang acara, Indira hanya diam membisu, tak ada percakapan bersama Brendon ataupun orang sekitarnya. Begitupun Brendon.                 Keduanya duduk di sebuah sofa khusus bertuliskan Mr. dan Mrs. di sana, dengan jarak yang jauh karena masing-masing mengambil ujung ke ujung.                 Indira diam saja, sedang Brendon menikmati bir yang tersedia bersama beberapa potongan kue. Ia menatap sekitaran, memandangi para tamu yang berinteraksi satu sama lain. Ia pula menemukan ayah Indira, tetapi pria itu, meski sadar ditatap, tak berniat menatap balik dan mengganggu mereka.                 "Ni pesta apaan, kok kek kuburan?" Brendon bersandar di sofa sambil menenggak isi botol yang ia pegang.                 Tak ada reaksi.                 Ia menoleh ke samping. "Lo bisu, ya? Sautin, kek!"                 Indira melihat sekilas ke arah pria muda bermata cokelat yang menatapnya balik dengan tajam. Nyalinya kembali menciut hingga tak bisa mengeluarkan kata-kata.                 "Gegara elo nih, akhirnya jadi kek gini. Dasar tukang adu!" Brendon mendengkus, ia menenggak minumannya beberapa kali. "Yakin banget lu kalau tu anak yang lu kandung anak gue, k*****t!"                 "Aku gak hanya yakin, Kak. Aku tau." Indira akhirnya bersuara, nadanya begitu lemah seakan berbisik.                 Tetapi karena suara yang tidak bising, Brendon bisa mendengarnya.                 "Serah lu, dah. Dah menang banyak elu, mah." Kemudian, ia menatap ke ayah Indira. "Gue juga gak yakin gue bakal bisa bebas. Ancur dah masa depan gue! Gimana kalau ortu gue tau!"                 "Bukan masa depan Kakak yang hancur, tapi masa depan aku." Indira menatap ke arah Brendon yang menunduk sambil memijit kening, pemuda itu melirik. "Kakak bisa gak sih, sadar diri?"                 "Bodo amat." Wajah Brendon mulai memerah, reaksi alkohol mulai bekerja padanya. Diletakkannya bir itu ke atas meja dan mengambil kue yang ada di sana lalu memakannya. "Gue masih muda, harusnya bisa bebas, eh malah disuruh kawin sama bocah! Bocah yang belum tentu gue yang hamilin karena belom tes DNA! Baru kemarin gue lajang!"                 Indira tak bisa menahannya lagi, matanya berkaca-kaca, tak lama kemudian tangisnya pecah dan ia terisak.                 "Lah, lah, lah. Dari kemarin nangis mulu, gak capek, hah?" Dengan cueknya, Brendon berkata.                 Ayah Indira dan beberapa tamu menoleh ke arah mereka. Seorang bodyguard siap menghampiri sepasang suami istri itu tetapi sang pria tua menahannya.                 "Biarkan mereka!" perintahnya.                 Brendon menatap ke arah ayah Indira, pria itu menatapnya tajam dengan telunjuk menggesek lehernya sendiri, seakan memperagakan penggorokan leher. Pemuda menatap ke Indira.                 "Eh, lo diem, dong! Entar gue digorok bokap lo!" bisiknya dengan nada penekanan. Menatap sekitaran, tangan Brendon menggenggam erat tangan Indira. "Woi, gue bilang diem!" bisiknya lagi dengan geram.                 Indira mencicit, tangannya sakit karena digenggam erat Brendon. Mau tidak mau, tangisannya ia redakan. Brendon tersenyum, mengambil tisu dan menyerahkan ke Indira. "Gitu, dong!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD