Chapter 7 - 8

1206 Words
CHAPTER 7                 Indira mengambil tisu dari tangan Brendon, kemudian sang pemuda mengambil kue di atas meja lagi lalu memakannya. Pemudi itu melirik, wajah suaminya yang memerah karena mabuk tampak tidak ada rasa kepedulian di sana. Ia mengambil bir lagi, siap menenggaknya namun sebuah tangan menghalangi niatnya. Tangan ayah Indira. "Kamu keliatan capek, mending ke kamar!" perintah pria tua itu, menatap anak perempuannya dan menantunya bergantian.                 Brendon menatap dengan kening mengkerut. "Satu kali lagi, lah!"                 Ayah Indira menarik botol minum itu dari tangan Brendon secara paksa, kemudian tanpa pikir panjang menyiramkan isinya ke tubuh pria muda itu dan meletakkan botol ke meja. Semua tamu menatap dengan ekspresi yang beragam. Brendon sendiri, terdiam dengan mata tertutup. Isi bir membasahi kepala serta sebagian bajunya. "Kamu juga perlu mandi. Besok, orang tua kamu akan datang kemari."                 Mata Brendon terbuka tiba-tiba. "Orang tua saya tau?!" pekiknya.                 Ayah Indira hanya menatap datar. Ditariknya kerah Brendon membuat tubuhnya terpaksa berdiri. Lalu menatap Indira. "Sayang, kamu juga ikut!"                 Indira menghela napas, dengan wajah menunduk mengekori sang ayah yang menjinjing menantunya bak kucing liar masuk ke rumah. "Om, Om, please, Om, jangan kasih tau—"                 "Udah telat!" Dilemparnya Brendon masuk ke sebuah kamar, sedang Indira masuk kemudian. Wajah pemuda itu menggelisah. "CCTV ada di sana, jangan macam-macam!"                 "Om, Om!"                 Brak!                 Pintu terempas sebelum Brendon mengutarakan kepanikannya. Suara geretakan pertanda pintu ini dikunci dari luar sana. Ia mendengkus, berkecak pinggang dan menatap ke Indira yang masih menunduk. "Semua gegara lo!" maki Brendon. "Kalau ampe bonyok gue tau, abis semua aset gue, bgst!" teriaknya frustrasi. Indira mundur beberapa langkah, ia terisak. Brendon menggeram dan mengacak-acak rambut cokelatnya. "Lo!" Brendon melangkah mendekati Indira yang mundur, begitu seterusnya sementara pemuda itu maju Indira terus menghindar mundur sampai tembok menghalangi pergerakannya. Dua tangan Brendon menjadi kurungan di antara sisi kiri dan kanan badan mungilnya.                 Wajah mereka begitu dekat. Bahkan embusan napas Brendon bisa Indira rasakan hangatnya di kepalanya karena ia menunduk tak berani menatap, dan bau alkohol itu. "Mungkin … kalau lo gak set*l*l itu, sok-sokan jadi pahlawan bawain gue kue pas reuni, lo ataupun gue gak bakal kejebak di-trap b*ngs*t ini! Gak bakal pernah!" teriak Brendon, tangisan Indira semakin nyaring karenanya. "Gue antara percaya enggak percaya, ya. Karena bisa aja lo manfaatin keenggaksadaran gue waktu itu. Lo tertarik sama gue, sama kek yang lain. Maunya cuman wajah, harta, populer!"                 "Enggak …." Indira berkata lirih di sela tangisannya, ia mengumpulkan segenap keberaniannya mengatakan satu kata yang bahkan membuat kerongkongannya sakit karena tercekat.                 "Ini akal-akalan busuk bokap lo buat jalin kerja sama dengan perusahaan bokap gue?" tanya Brendon, matanya memicing dan ia manggut-manggut. "Oh, berengsek licik!"                 "Enggak …." Lagi, kata yang sama.                 "Enggak, enggak, enggak, enggak. Terus apa, hah?!" Brendon kembali berteriak.                 "Ini murni …." Indira mengambil napas. "Ini murni kesalahan Kakak." Ia memegang perutnya.                 "Sumpah, bacot!" Brendon berjalan menjauh, ia menuju kasur yang terhiasi kelopak-kelopak bunga di sana. Diambilnya bantal dan diletakkannya di bagian lantai. Ia lalu melompat tiarap dengan wajah di bantal sana. "Bacot!" ujarnya dengan suara teredam.                 Indira merintih, tangisannya tak lagi bersuara tetapi air mata tetap berjatuhan dari pelupuk matanya. Tubuhnya merongsot turun, membentuk ringkukan di mana setelahnya ia menyembunyikan wajah di balik lipatan tangannya. "Mamah …," panggil Indira merintih pelan.                 Di balik CCTV, sang ayah memperhatikan dengan wajah prihatin. "Sayang, apa ini semacam kutukan keluarga kita?" Mata birunya menoleh ke sebuah pigura yang tertempel di dinding. Berisi foto seorang wanita cantik bersama ia dan Indira kecil di sana. Pria dewasa yang terkenal tegas itu menggeleng dengan mata berkaca-kaca. Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. "Maaf aku enggak bisa jaga dia, maaf."                                 CHAPTER 8                 Brendon bangkit lagi, gagal tidur lebih lama karena menyadari keadaan dirinya saat ini. Ia menatap jam, tadi pukul satu dan sekarang sudah pukul lima. Bau alkohol di tubuhnya yang mengering benar-benar menyengat dan melekat.                 Ia berdiri dari tidurannya, meregangkan badan sesaat. Sampai, menemukan Indira yang masih meringkuk di tepi ruangan di tempat yang sama di lokasi terakhir yang ia ingat.                 "Lah bocah, udah dikasih kesempatan tidur sendiri di atas." Brendon mendengkus kesal, ia menghampiri gadis itu dan siap mengguncang bahunya, tetapi menarik tangannya kembali.                 Tanpa babibu, pemuda itu menggendong Indira dengan gaya bridal, ia pun kemudian melangkah ke arah kasur dan membaringkannya ke sana. Wajah gadis muda itu terlihat tenang dalam tidurnya seakan tak pernah terjadi apa-apa walau kelopak mata itu agak bengkak dan sembap.                 Brendon meletakkan punggung tangan ke kening Indira, ia menghela napas lega.                 Menggeleng pelan, ia menuju lemari yang ada di sana. Diambilnya handuk kemudian masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.                 Saat itulah, Indira mulai mengerjap dan pelahan-lahan membuka matanya. Ia sedikit terheran menyadari ia ada di atas kasur, karena seingatnya ia ada di ujung ruangan.                 Bunyi telepon berdering terdengar, mengalihkan aktivitas Indira yang kemudian menoleh ke samping badannya. Ada sebuah telepon rumah yang berdering tanda panggilan masuk. Diangkatnya badannya, bangkit bangun hingga berhasil duduk di tepian kasur. Ia mengambil telepon itu dan menerima panggilan.                 "Indira, kamu lapar, Sayang?" tanya suara di seberang sana, suara ayahnya.                 Indira menatap ke arah kamera CCTV dan menggeleng.                 Ia kembali menghadap ke depan. "Enggak, Pah."                 "Indira, kamu belum makan dari tadi pagi, Sayang. Papah anter makanan ke sana, ya?" bujuk sang ayah.                 Indira menatap ke CCTV lagi, lantas menyunggingkan senyum hangatnya. "Enggak usah," ujarnya lirih.                 "Indira … Papah mohon, Sayang! Jangan siksa diri kamu, jangan bikin Papah kehilangan orang yang Papah cintai lagi."                 Kali ini, Indira menyerah, ia menghela napas panjang. "Ya udah, Pah. Jangan lupa bawa dua porsi, ya! Maaf bikin Papah khawatir dan mempermalukan Papah."                 Wajah Indira merengut, air matanya mulai menumpuk di matanya.                 "Papah yang harusnya minta maaf, gak bisa jagain kamu. Ini sepenuhnya … salah Papah!" Indira menggigit bibir bawah, air mata berjatuhan tetapi ia tahan agar tak mengeluarkan rintihan. Ia juga membelakangi CCTV. "Papah akan antar makanan ke sana lewat nani, ya? Makan ya, Sayang!"                 "Iya." Ia bersuara dengan nada yang dibuat senatural mungkin.                 Sambungan diputus sepihak, meletakkan kembali telepon ke tempatnya sebuah suara di belakang Indira terdengar.                 "Siapa?"                 Indira berbalik dan menunduk, tak sempat melihat Brendon. "Mm … Papah," jawabnya pelan, agak ragu-ragu.                 "Eh, kasih tau ke bokap lo buat buka pintu. Gue laper, pengen makan!"                 "Papah bakal bawain makanan ke sini."                 "Oh, jadi kita tahanan gitu?" Brendon mengangkat sebelah alisnya dan menatap Indira dari atas ke bawah. "Mandi sana lu, bau!"                 Indira mendongak melihatnya lalu berdiri dan seketika kedua pipinya memerah. Tubuh Brendon terekspos bebas di depan matanya. Dadanya persegi naik turun, roti sobek, warna kulitnya eksotis dan wajah berahang tegas serta rambut cokelat messy dan tatapan bernetra cokelat yang tajam. Ia hanya ditutupi handuk dari pinggul hingga paha.                 Brendon serupa patung dewa Yunani yang terpahat sempurna oleh seniman profesional.                 Langsung ia membuang wajahnya ke arah lain, buru-buru mengambil handuk di dalam lemari dan masuk ke kamar mandi.                 "Eh, baju gue ada kagak, eh?" teriaknya, tak ada jawaban dari Indira. Brendon mendengkus dan membuka lemari.                 Awalnya ia kaget isinya hanya ada pakaian perempuan milik Indira, walau syukurlah di lemari yang kecil ada banyak pasang pakaian laki-laki di sana. Ia mengambil salah satu, kaos oblong putih serta celana jeans biasa. Gaya modis sekalipun sederhana.                 Bunyi gratak-grutuk tanda ada yang mempermainkan kunci luar pintu terdengar, Brendon tersenyum dan berlari kecil ke sana. Tak lama pintu terbuka dan wajah bahagianya seketika kandas dari ekspresinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD