TJOL 1
Darren Delfano Pramudya, remaja berusia 18 tahun menggeliatkan badannya yang terasa pegal setelah tidur cukup lama. Dia masih menikmati masa-masa menganggur setelah menyelesaikan pendidikannya di bangku sekolah menengah kejuruan jurusan tehnik beberapa hari lalu, masih menikmati masa-masa bebas tanpa harus bangun pagi dan menggendong tas yang terasa berat membawa buku pelajaran.
"Jam berapa ya." Gumamnya, matanya mengerjap-ngerjap menyesuaikan pandangannya yang silau akibat bertubrukan langsung dengan lampu yang berada dilangit-langit kamar tepat di atasnya.
"Jam setengah sembilan, tidur lagi deh." Kata Darren setelah melihat jam di ponselnya.
"Darren Delfano Pramudya!" teriak sebuah suara dari interkom di kamar Darren.
Darren kenal sekali dengan suara itu, suara yang tampak begitu kesal menyebut namanya. Pemuda tersebut terjingkat berdiri, segera berlari ke arah pemilik suara yang paling ia segani di rumah ini. Suara sang kepala keluarga. Darren pikir beliau sudah pergi ke kantor, membuat Darren bisa santai bangun sesiang ini.
Dengan cepat Darren menuruni anak tangga, dua sekaligus. Tanpa takut terpelanting dan bisa saja mematahkan tulang-tulangnya, ia lebih takut dengan sang ayah.
"Iya Ayah, Darren di sini." Ucapnya sesaat setelah sampai di hadapan ayahnya yang duduk di sofa ruang tamu.
"Mandi, dan pergilah ke Semarang." Titah sang ayah dengan tegas dan jelas.
Darren terkesiap dibuatnya, kenal kota Semarang saja tidak dan hari ini dia diperintahkan pergi ke kota itu. Memang itu tempat kelahirannya, tetapi ia sama sekali tidak punya kenangan di kota itu meskipun waktu kecil sering diajak ke sana.
Tanpa diperintah dua kali, Darren menuruti perintah itu. Perintah yang sama sekali tidak pernah bisa dibantah, begitulah tabiat si kepala keluarga yang memiliki nama Pratama El Denis Pramudya tersebut.
"Tidak ada angin dan hujan, kenapa Ayah menyuruhku kesana." Gerutu Darren. Ia hanya punya waktu satu jam sebelum kereta berangkat.
Darren telah selesai mandi, ia mematut tubuhnya di depan kaca sembari merapikan rambutnya lalu memakai minyak rambut agar terlihat rapi. Disemprotkan minyak wangi ke kaos dan celananya, terakhir ia pakai jam tangan favoritnya kado ulah tahun dari Bunda Syla.
Tangannya menarik hoodie kesayangan meskipun warnanya mulai memudar, lapuk dimakan usia.
"Sudah siap Ayah." Kata Darren menghadap Denis.
"Duduk." Perintah Denis, Darren menurut saja.
Darren menunggu Denis bicara, ia tidak banyak bicara biar ayahnya saja yang menjelaskan.
"Ayah mengirimmu ke Semarang, awasi pabrik kita yang ada di sana."
Meski di hati menolak, Darren hanya bisa menuruti keinginan Denis. Sekali lagi, ia tidak ada daya untuk menolak.
"Baik Ayah."
"Bekerjalah di sana, ini berkas lamaranmu."
Denis meletakkan berkas yang dibungkus amplop coklat, khas orang melamar kerja. Darren membukanya, terbelalak melihat nama yang tersemat di berkas itu bukanlah nama aslinya.
"Ayah sengaja menggantinya." Ucap Denis seakan mengerti isi pikiran Darren.
Darren hanya bisa menggelengkan kepalanya, sangat pelan agar tidak terlihat Denis. Darren tak mengerti jalan pikiran ayahnya, dengan berat hati Darren mengiyakan titah Denis. Sementara Syla tampak tak rela putera sematawayangnya akan tinggal jauh darinya, selama ini Darren selalu ada di rumah.
"Berangkatlah." Ucap Denis, lelaki itu sangat sedikit bicara. Hanya bicara yang penting-penting saja.
"Ayah, Bunda. Aku pamit." Kata Darren, ditatap sendu wajah Syla.
Denis menepuk bahu Darren, memberi semangat untuk puteranya. Syla memeluk Darren dengan berlinang air mata, cemas akan keadaan Darren jika berada jauh darinya.
"Assalamualaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Koper berisi perlengkapan Darren sudah dimasukkan oleh Pak Ahmad ke dalam bagasi, tiket kereta juga sudah ada dalam waist bag milik Darren. Darren sudah siap meninggalkan rumah ini, dia menatap sekeliling. Suatu hari nanti ia pasti sangat merindukan rumahnya, terutama Syla.
Syla masih berdiri di depan teras rumah untuk melepas kepergian Darren, melambaikan tangannya saat mobil mulai menjauh. Denis berdiri di samping Syla, mengantar kepergian Darren dengan tatapannya. Darren melihat dari balik jendela, dalam hatinya berdoa agar kedua orangtuanya selalu baik-baik saja.
*****
Kereta Argo Bromo Anggrek kelas Eksekutif sudah menunggu, bersiap untuk berangkat. Semua penumpang masuk ke dalam gerbong sesuai yang tertera pada tiket, tak terkecuali Darren.
Di dalam kereta, terasa sekali perut Darren yang meronta ingin diberi asupan. Menuruti perintah sang ayah yang tiba-tiba, membuatnya lupa sarapan terlebih dahulu. Dia segera memesan sekotak nasi kepada petugas kereta yang menawarkan makanan untuk penumpang dengan troli, tak lupa juga memesan sebotol air mineral untuk melengkapi sarapan pagi yang sudah sangat terlambat itu.
"Sudah kenyang." Ucap Darren lega.
Dilihatnya jam yang melingkar di pergelangan tangan pemuda itu, masih sekitar 5 jam lagi perjalanan menuju ke Semarang. Memejamkan mata sejenak mungkin menjadi pilihan terbaik, untuk membunuh rasa bosan yang bisa melanda kapan saja. Apalagi Darren hanya pergi seorang diri. Dipikir-pikir ini adalah perjalanan perdana bagi Darren pergi sendirian, nyalinya seakan tertantang dengan apa yang bisa saja terjadi di Semarang.
"Tidur dulu deh, mikirnya lanjutkan nanti saja." Kata Darren.
Tubuh Darren menggeliat ketika merasa laju kereta memelan, menandakan kereta akan berhenti. Dilihat sekeliling, kereta telah berhenti di stasiun Poncol. Sesuai tujuan Darren.
"Untung tidak kebablasan." Kata Darren.
Ditariknya koper yang ia bawa, beserta satu ransel besar tambahan yang sengaja Syla siapkan.
Darren mengedarkan pandangannya, merasa sangat asing. Namun ia suka mendatangi tempat-tempat baru, mendapatkan suasana baru dari hiruk-pikuknya ibu kota. Diambil ponsel dari waist bag yang setia bertengger di depan dadanya, mencari aplikasi ojek mobil online untuk mengantarkannya ke alamat yang dituju.
Cukup menunggu beberapa menit saja, ojek mobil pesanan Darren sudah sampai. Sungguh kemajuan jaman yang sangat pesat, benar-benar mempermudah kapanpun dan di mana 'pun.
Dibantu oleh supir, Darren memasukkan barang-barangnya. Dia memilih duduk di belakang, memilih jok yang lebih longgar untuk mengistirahatkan tubuhnya yang terasa kaku setelah melakukan perjalanan jauh. Entah kenapa Denis memilihkan Darren naik kereta, padahal jika naik pesawat waktu tempuh bisa lebih singkat.
"Datang dari mana, Mas?" tanya sopir ojek online, mencoba mengakrabkan diri kepada penumpangnya.
"Jakarta." Jawab Darren singkat, matanya terfokus pada ponselnya. Memberi kabar kepada Syla, bahwa dia telah sampai dengan selamat.
"Baru pertama kali ke Semarang?"
"Sudah beberapa kali waktu kecil sih, tapi mungkin ini akan menjadi waktu terlama aku di kota ini." Ucap Darren, ada curhatan terselubung di dalamnya.
"Oh, semoga betah yo, Mas."
"Iya."
"Sesuai Map 'kan?"
"Iya."
Tangan Darren sibuk mengetik, bertukar pesan dengan Syla. Sesekali ia menimpali obrolan sang supir.
"Wes tekan, Mas." (Sudah sampai, Mas.)
Darren nampak kebingungan dengan kata yang diucapkan si supir, ia sama sekali tidak mengerti bahasa Jawa. Kecuali Iyo(iya) dan Ora (tidak).
"Apanya yang ditekan?" mata Darren mencari-cari apa yang dimaksud supir tadi, mungkin ada tombol khusus?
"Wes tekan artinya sudah sampai, Mas. Maaf, saya lupa kalau Masnya bukan orang asli sini." Supir tersebut tersenyum geli melihat wajah Darren yang kebingungan tadi.
"Oh, terimakasih."
Barang-barang Darren sudah diturunkan ke teras "rumah barunya", tak lupa Darren memberi sedikit tips untuk jasa ojek mobil online yang mengantarnya.
Mata Darren memicing saat melihat rumah yang akan ia tinggali, nampak seperti rumah yang sudah lama tidak ditempati. Memang masih berada di komplek perumahan, tetapi rumah ini lebih terlihat lusuh daripada rumah disamping kanan-kirinya yang lebih terawat. Mungkin saja orang yang mengontraknya dulu sangat pemalas, hingga cat rumah dibiarkan mengelupas dan pudar.
"Semoga betah." Batin Darren menyemangati.
Darren tersentak ketika ada yang menepuk pundaknya, seorang lelaki paruh baya sudah berdiri di sampingnya.
"Astaghfirullah, Paman." Darren mengusap d**a, jantungnya berdetak kencang.
"Maaf, Mas. Ini kunci rumah, dan ini ada sedikit makanan dari istri saya." Kata lelaki itu.
"Terimakasih Paman ....."
"Sanusi, nama saya Sanusi."
"Oh ya, terima kasih Paman Sanusi." Ucap Darren.
Pak Sanusi pamit undur diri, menaiki sepeda onthel yang sudah usang. Darren masih menatapnya, sampai sepeda itu membawa Pak Sanusi menghilang di pertigaan jalan.
Darren memutar kunci, cukup alot karena anak kunci mulai berkarat.
"Ini berapa tahun sih tidak di tempati." Gumam Darren.
Pintu akhirnya terbuka, bau karbol menguar sangat menyengat hidung. Pertanda lantai baru saja dibersihkan. Benar-benar semua terkesan mendadak.
Darren melangkah masuk ke dalam rumah bertipe 21 itu, diletakkan koper di dekat pintu masuk. Hanya ada dua kamar tidur, satu kamar mandi, dapur dan ruang tamu. Semua akan terlihat saat membuka pintu utama.
Ruangan pertama yang Darren tuju adalah kamar tidur utama, dia ingin tahu apakah malam ini bisa tidur nyenyak atau tidak.
Dipan dengan kasur baru berada di ruangan berukuran 3x3 meter tersebut, ada satu lemari berukuran sedang di sebelahnya. Sangat sempit, tidak ada separuh dari kamar Darren yang ada di rumah orangtuanya.
"Sempit, dan pengap."
Dibuka jendela yang berhadapan langsung dengan teras rumah, membiarkan udara baru masuk ke dalam kamar menurut Darren berukuran mini itu. Darren kembali menelisik bagian-bagian rumah minimalis peninggalan Oma Felicia, penasaran apa saja yang ada di rumah sekecil ini.
Kamar lain hanya ruangan kosong tanpa perabot apapun, dibiarkan begitu saja hingga nampak luas. Darren akan memikirkan digunakan untuk apa ruangan itu nanti, hal terpenting yang harus ia lakukan adalah membersihkan diri setelah perjalanan jauh.
Darren membuka kopernya, mencari handuk dan baju ganti. Setelah didapat, ia masuk ke dalam kamar mandi. Cukup bersih, meski tanpa shower seperti di rumahnya. Hanya ada gayung dan ember kecil. Ukuran kamar mandi juga sangat kecil, 1x2 meter saja.
"Untung airnya masih nyala, tidak bisa ku bayangkan jika sedang mandi lalu airnya mati." Gumam Darren.
"Eh, maaf!" teriak Darren.
Baik, mulai detik ini tidak akan berpikiran macam-macam tentang rumah ini. Baru saja ia selesai bicara, kran air mendadak tersendat lalu air berhenti. Dia baru selesai mandi setengah, setengahnya belum ia basuh. Busa sabun masih tercecer dibagian tubuhnya.
"Maafkan hamba." Rintih Darren, diketuk-ketuk kran di depannya agar kembali mengalirkan air. Darren merapatkan doa, berharap ia bisa menyelesaikan ritual mandi sorenya.
"Alhamdulillah, penurut juga ya kamu kran." Ucap Darren lega, ia cepat-cepat membersihkan tubuhnya sebelum air mati lagi.
"Segar sekali." Kata Darren,ia keluar kamar mandi sembari mengeringkan rambutnya dengan handuk.
Hal selanjutnya yang Darren lakukan membereskan pakaian, menatanya ke dalam lemari. Dia pisahkan pakaian formal dan pakaian santai, cukup lihai meski baru pertama kali melakukannya. Biasanya tinggal terima beres, semua sudah ada yang menatanya.
Setelah selesai, ia baru ingat makanan yang diberikan Paman Sanusi tadi. Darren mengambil piring dan sendok di dapur, kedua benda itu masih baru. Semua seperti sudah disiapkan untuknya. Dibuka kotak makan itu, lalu ia buka plastik pembungkus lagi di dalamnya.
"Waah, lontong opor. Ini enak sekali, Bunda tidak pernah memasakkan ku seperti ini." Ucap Darren riang.
Mata Darren berkaca-kaca, menikmati lontong bercampur sayur lodeh dalam mulutnya. Campuran makanan yang begitu enak, ditambah potongan ayam menambah kenikmatan acara makan Darren.
"Kenyang." Darren merasa perutnya terasa penuh, ia mengelus perut yang kekenyangan.
Di rumah ini Darren melakukan semua yang tak pernah dilakukan selama di Jakarta, ia membersihkan bekas makannya sendiri. Namun pemuda itu tidak ingin mengeluh, karena itu sudah kewajibannya setelah memutuskan mau "dipaksa" hidup di Semarang.
Darren menghabiskan senja pertamanya di kota Semarang dengan duduk-duduk di teras, menikmati hujan yang tidak begitu deras. Hujan menyambutnya sesaat setelah Darren masuk ke dalam rumah tadi, bau tanah basah khas terkena air hujan tercium dihidung Darren. Ia hirup sedalam-dalamnya. Sebagai pengingat awal hidup mandiri.