11 - THE SECOND FAMILY

2012 Words
Jika kemarin diliputi keengganan untuk bangun dari tempat tidur karena tidak tahu apa yang akan terjadi ketika bertemu dengan papanya, maka suasana hati Jason pagi ini sungguh berbeda. Sesampainya di hotel semalam, dia langsung menelepon mamanya dan menceritakan harinya, persis seperti ketika dirinya masih kecil. Mamanya tidak banyak berkomentar selain menanggapi setiap ceritanya dengan senyum atau kalimat-kalimat pendek. Begitu Jason selesai berbincang dengan mamanya, ada senyum lebar yang menghiasi wajahnya begitu dia merebahkan diri. Jason tidak mengira bahwa semua kekhawatiran yang memenuhi benaknya bukan hanya buah dari ketakutannya sendiri, tetapi juga tidak terjadi. Segalanya berjalan jauh lebih lancar dari yang dibayangkannya. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Jason bisa tidur dengan nyenyak. Jason terbangun dengan senyum di wajahnya. Hari ini dia sengaja tidak ke gym melainkan langsung ke restoran untuk sarapan. Dia tidak akan dijemput papanya karena Jason tidak mau papanya bolak-balik. Sekalipun dekat dan papanya jelas tidak keberatan, Jason tidak kalah keras kepalanya. Mereka berdua lantas tergelak atas kekonyolan masing-masing sebelum papanya mengalah. Begitu menghabiskan sarapannya, Jason langsung memesan Uber untuk ke tempat papanya yang letaknya hanya sekitar dua puluh menit. Papanya berpesan bahwa Jason bisa datang kapan saja. Satu hal yang memenuhi benak Jason adalah Aaron. Sebagai anak tunggal, dia selalu ingin punya saudara. Dibesarkan seorang diri membuat Jason tidak pernah tahu rasanya memiliki kakak atau adik. Di usianya sekarang, jelas pola pikirnya sudah berubah. Namun tetap saja, mengetahui bahwa dia punya saudara tiri yang usianya jauh di bawahnya membuat Jason sedikit gugup. Pikirannya pun dipenuhi oleh begitu banyak pertanyaan. Bagaimana jika Aaron tidak menyukainya? Apa yang akan dia lakukan jika Celine ternyata jauh dari perempuan yang dibayangkannya selama ini? Bisakah dia mengambil hati mereka berdua, mengetahui bahwa dengan sengaja Jason telah bersikap tidak adil kepada papanya selama bertahun-tahun? Sayangnya, Jason tidak bisa menjawab semua pertanyaan tersebut. Dia akan menemukannya nanti. Meski berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya, Jason tetap saja gugup. Sebelum berangkat ke Detroit, dia bahkan tidak berencana untuk bertemu dengan keluarga papanya yang lain. Dia hanya akan bertemu papanya, bicara, minta maaf, dan berharap mereka bisa memulai lagi dari awal. Namun semua yang direncanakannya justru berubah haluan. Menarik napas dalam, Jason mengalihkan perhatiannya ke arah jalanan di luar. Mobil yang membawanya dari hotel sudah memasuki area permukiman. Menyadari inilah lingkungan tempat papanya menghabiskan delapan tahun, Jason hanya bisa menelan ludah karena lingkungan seperti inilah yang diimpikannya dulu saat kecil, persis yang dia lihat di televisi. Perceraian kedua orang tuanya memang tidak mengubahnya menjadi anak yang bandel, seperti umumnya anak-anak korban perceraian lainnya. Jason bersyukur untuk itu karena mamanya benar-benar menjaga dan membesarkannya dengan baik. Menengok kembali ke masa-masa ketika papanya kembali ke Amerika Serikat, Jason sempat bersumpah bahwa jika dia punya kesempatan untuk  pergi ke negeri Paman Sa tersebut, dia tidak akan menghubungi papanya. Kemarahan itu memang berlangsung sebentar. Bahkan ketika dia akhirnya berkuliah di New York, papanya punya peran yang sangat besar. Namun begitu tahu bahwa papanya berniat menikah lagi, semua kemarahan dan kecewa yang selama itu dipendam Jason, menemui puncaknya. Nilai-nilainya sempat turun sebelum Jason berkenalan dengan Liam dan sahabatnya tersebut mampu menariknya keluar dari kubangan kegagalan. Luka itu terus dipelihara oleh Jason dan tidak membiarkan siapa pun menyembuhkannya. Dia hanya tidak menduga bahwa perlu puluhan tahun sebelum bisa mengobati luka itu. Bukan atas bantuan siapa pun melainkan kesadarannya sendiri. “We’re here.” Ucapan driver Uber itu menyadarkan lamunan Jason. Mengerjap sesaat, dia memandang bagian depan rumah yang tertata rapi. Membasahi tenggorokan, Jason lantas membuka pintu mobil setelah membayar tumpangannya. Dia menarik napas dalam sebelum mengayunkan kakinya mendekati pintu masuk. Jason mengira tidak ada sesuatu di dunia ini yang membuatnya gugup. Namun saat ini, detak jantungnya berdegup tidak beraturan. Begitu sampai di depan pintu, Jason menekan bel dan menunggu. Dia tidak tahu siapa yang akan ditemuinya di balik pintu. Saat pintu terbuka, Jason hanya bisa memberikan senyum tipis kepada pria yang tampak begitu muda, tapi terasa familier baginya. Mereka berdua sama-sama diam sebelum pria di hadapannya ini mengulurkan lengan. “Aaron.” Jadi ini adik tiriku, batin Jason sebelum dia membalas uluran tangan tersebut. Dia menggenggamnya erat. “Jason.” Sedetik kemudian, Aaron berujar, “Please come in. We’ve been waiting for you.” Jason hanya bisa mengangguk sebelum masuk dan mengekor Aaron yang berjalan menuju dapur. Tinggi badannya dan Aaron tidak jauh berbeda dengannya. Jason berani bertaruh, siapa pun yang melihat mereka berdua akan langsung bisa mengatakan bahwa keduanya punya hubungan darah. Sekalipun tidak ada darah Indonesia yang mengalir dalam tubuh Aaron, dan dia tampak seperti remaja Amerika pada umumnya, namun mereka berdua berbagi sorot mata dan hidung yang sama. Yang membedakan adalah warna mata mereka. Jika Jason memiliki mata cokelat seperti anak campuran pada umumnya, Aaron mewarisi mata biru papanya. Di dapur, langkah Jason terhenti ketika melihat perempuan yang usianya mungkin hanya berjarak lima hingga delapan tahun dari papanya sedang berdiri dengan satu loyang pie di hadapannya. Menarik napas panjang—dan pelan—Jason hanya berdiri terpaku sementara Aaron hanya berjarak beberapa senti dari tempatnya berada. “Mom, Jason is here. Where is Dad?” Saat Celine mengangkat wajah, Jason bersumpah kakinya seperti terpancang di atas lantai. Celine jauh dari gambaran perempuan yang dibayangkannya selama ini. Meski belum mengenalnya langsung, Jason tahu bahwa penilaiannya bukan hanya salah, tapi keliru. Aaron membalikkan badan untuk menatapnya. “Aku cari Papa dulu,” ujarnya sambail tersenyum sebelum meninggalkan Jason berdua dengan Celine. Begitu Aaron tidak lagi berada dalam satu ruangan, Celine beranjak dari posisinya untuk mendekati Jason. Jantung Jason semakin berdegup kencang menyadari bahwa kata maaf saja tidak cukup untuk diucapkan kepada perempuan yang sedang berjalan mendekatinya saat ini. “I’m so glad that I finally meet you, Jason.” Kalimat itu diucapkan Celine sembari meremas kedua lengan Jason dengan lembut. Bahkan dari suaranya pun, Jason bisa memahami alasan papanya jatuh cinta dan menikahi Celine. Tidak ada cela yang bisa ditemukan Jason untuk membuatnya ikut membenci perempuan yang berhasil membahagiakan papanya ini. Jason pun tanpa berpikir panjang mengucapkan satu kalimat yang harusnya sudah dia lontarkan sejak dulu. “I’m sorry, Celine. For everything.” Ucapan maaf itu mungkin tidak akan mampu menghapus apa yang sudah dia lakukan, tetapi Jason mengutarakannya dengan tulus. Dia berharap dengan meminta maaf kepada Celine, dirinya pun bisa menerima Celine dan Aaron sebagai bagian dari hidup dan keluarganya. Bagaimana pun juga, mereka adalah keluarga papanya, yang berarti mereka punya hak yang sama atas papanya. Celine hanya tersenyum dan mengangguk. “I can forgive you if you eat this pie that I specially made for you.” Keduanya pun sontak tergelak. Dan Jason pun tahu bahwa dia bisa memulai segalanya dari awal. Bahwa tidak ada lagi yang perlu dia takutkan atau khawatirkan tentang apa pun. “I’d love to. It looks delicious.”   ***   Jason lupa kapan terakhir kali dia menikmati makan siang yang penuh dengan canda dan tawa. Kehangatan keluarga kedua papanya jelas terpampang jelas dari lelucon yang dilontarkan Aaron dan papanya. Celine pun kadang menimpali. Satu hal yang mengisi pikiran Jason adalah dia berharap mamanya juga ada di sini. Semuanya akan sempurna. Namun ini pun sudah lebih dari yang dibayangkannya. Celine bahkan melarangnya membantunya membereskan sisa makan siang mereka. Papanya justru meminta Aaron untuk menunjukkan rumah mereka. Di luar dugaannya, Aaron mengiyakan permintaan papanya tersebut tanpa sedikit pun penolakan. Jason dan Aaron pun meninggalkan ruang makan untuk menuju ke lantai dua. Sekalipun baru pertama kali bertemu, Jason merasa telah mengenal Aaron bertahun-tahun, seolah dia menyaksikan perkembangan Aaron sejak bayi hingga menjadi pria yang sebentar lagi akan kuliah. Tidak ada kecanggungan layaknya dua orang yang sebelumnya sama sekali asing. Jason berpikiran bahwa darah Matthew Anderson yang mengalir dalam tubuh merekalah alasannya. “Kamu ingin kuliah ambil jurusan apa?” “English literature, for sure,” jawab Aaron mantap tanpa sedikit pun keraguan dalam suaranya. “Aku suka membaca sejak kecil dan selalu kagum dengan mereka yang bisa menciptakan dunia fiksi dan membuat banyak orang membaca karya mereka.” “Kamu ingin jadi penulis?” Pertanyaan itu membuat langkah Aaron terhenti. Dia kemudian memandang Jason dan wajahnya tampak sumringah.  “YES! That’s the goal!” Jason pun tidak mampu menahan senyumnya. “Wanna show me what you got?” Alih-alih menunjukkan setiap bagian rumah seperti yang diminta papanya, Aaron justru mengajak Jason ke sebuah ruangan yang dipenuhi dengan buku. Sebuah perpustakaan, tentu saja. “Kamu sudah membaca semua buku yang ada di sini?” “What do you think I am? I’m not that nerdy,” balas Aaron sebelum mengikutinya dengan sebuah tawa kecil. “Sebagian besar sudah, tapi banyak yang belum. Beruntung Papa tidak pernah membatasi bacaanku sejak kecil. Dia membiarkanku membaca apa saja.” “Tipikal Papa,” balas Jason. “Tunggu di sini sebentar. Aku ambil laptop di kamar.” Sedetik kemudian, Jason seorang diri di sana. Sembari membaca setiap judul yang mampu dijangkau pandangannya, ada rasa iri yang menyusupinya. Jason tidak pernah besar dengan buku karena dia membenci harus duduk berjam-jam untuk membaca sementara dia bisa menggunakan waktunya untuk bermain dengan teman-temannya. Sebuah kenangan melintas dalam benak Jason. Betapa papanya dulu sering membacakannya cerita sebelum tidur dan tiap kali dirinya jatuh sakit. Namun ternyata hal itu tidak mampu membuat Jason menjadi gemar membaca. Mengetahui Aaron ingin menjadi penulis dan sudah membaca sebagian besar buku yang ada di ruangan ini, membuat Jason berharap dirinya punya kesukaan yang sama. Tidak lama kemudian, pintu perpustakaan kembali terbuka. Kali ini, Aaron muncul dengan sebuah laptop di tangannya. Jason pun segera duduk di sebuah sofa kulit sebelum Aaron melakukan hal yang sama. “Ini cerita yang aku tulis beberapa bulan lalu,” ujarnya sembari menyerahkan laptop yang terbuka itu kepada Jason. “Aku Cuma tidak tahu bagaimana harus mengakhirinya. Semua ending yang aku tulis, tidak ada yang cocok. I feel like the story is missing something. If you have any idea, shot away.” Jason pun menerima laptop dari tangan Aaron dan perhatiannya langsung terpusat pada judul yang menurutnya sangat catchy. “I love the title,” puji Jason. “Thanks. It took me a while to give the right title.” Tanpa menunggu lama, Jason pun mulai membaca cerita yang diberi judul, Two Sun in One Day. Bahkan hanya lewat beberapa kalimat, Jason sudah masuk ke dalam ceritanya dan lupa bahwa Aaron masih duduk di sampingnya, menunggu dengan cemas reaksi Jason. “Aku rasa, apa pun ending yang kamu pilih, akan membuat pembaca bertanya-tanya. Which I think, that’s the perfect ending for this kind of story. Aku bukan penulis atau pembaca, tapi berdasar pengalamanku di ads agency, orang suka dengan ending yang terbuka. It gives them suspense knowing that they can decide the ending by themselves.” “Do you think so?” Jason mengangguk. “Aku suka ceritanya. Sangat nggak biasa.” Aaron tersenyum. “Thanks!”  Dia lantas mengambil laptop dari pangkuan Jason dan menutupnya. “Papa tidak pernah menentang keinginanku untuk jadi penulis. Aku merasa beruntung bisa mengambil jurusan yang memang aku sukai.” “Kamu tertarik kuliah di mana?” “NYU, no doubt.” “Papa cerita kan aku tinggal di New York?” Aaron mengangguk. “Rasanya aneh mengetahui aku punya kakak laki-laki. Selama ini aku berpikiran bahwa jadi anak tunggal itu sama sekali tidak enak.” Jason tergelak mendengarnya. Bahkan pola pikir mereka pun mirip. “I’m glad that now we know we’re siblings.”  Dia kemudian meluruskan kakinya. “Kalau ada yang ingin kamu tahu tentang New York, tanyakan saja. Aku mungkin akan pindah dari sana, tapi aku kenal banyak orang yang pasti mau membantu kamu. If you get into NYU, that is.” “Kamu mau pindah ke mana?” “Indonesia. Tapi aku masih belum yakin.” “What’s Indonesia like? Papa tidak pernah mengajakku ke sana lagi sejak kecil. Aku tidak ingat sama sekali tentang Indonesia.” Mendengar pertanyaan itu, Jason hanya bisa tersenyum. “It’ll take a while to explain it to you. Do you have enough time?” canda Jason. “Try me.” Mereka berdua kemudian saling berpandangan dan Jason pun tahu bahwa hatinya sungguh bahagia mengetahui adik tirinya ingin mengetahui banyak tentang negara kelahirannya. Dari mana aku harus mulai? Tanya Jason dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD