10 - THE TALK

2146 Words
Ada sesuatu yang begitu berat menggelayuti Jason begitu dia membuka mata. Bahkan Jason memerlukan beberapa menit untuk menyadari bahwa dia sedang tidak berada di kamarnya di New York sekarang. Mengerjapkan mata, Jason tahu dia berada di sebuah hotel di Detroit dan ini adalah hari pertamanya di kota ini. Otaknya pun segera bekerja dan begitu ingat bahwa hari ini dia akan menghabiskan waktu bersama papanya, tanpa bisa ditahan, Jason mengerang pelan sembari menutupi wajahnya dengan bantal. Mengetahui tidak punya alasan untuk menghindar dari apa yang menunggunya hari ini, Jason  segera bangkit dari tidurnya. Memandang pemandangan Detroit yang tampak dari balik dinding kacanya, pikiran Jason dipenuhi percakapan apa saja yang akan terjadi nanti dengan papanya. Cuaca tampak cerah dan jika dirinya berada di New York, hal pertama yang melintas di pikirannya pastilah pergi ke Central Park untuk piknik. Namun dia sedang berada jauh dari kota yang begitu dicintainya tersebut. Dia meraih arlojinya untuk melihat waktu dan memastikan dia tidak terlambat. Menghabiskan bertahun-tahun di New York, satu hal yang paling dibenci Jason adalah terlambat. Dengan satu helaan napas, dia bangun dari posisi duduk dan segera berganti pakaian. Dia masih punya dua jam untuk dihabiskan di gym dan sarapan sebelum papanya datang untuk menjemputnya. Mungkin dengan berkeringat, dia bisa sedikit menyingkirkan berbagai kemungkinan yang memenuhi pikirannya. Berkali-kali, Jason meyakinkan diri bahwa dia hanya akan bertemu papanya, tetapi bertahun-tahun yang dia habiskan dengan membenci pria itu ternyata terlalu kuat untuk disisihkan begitu saja. Jason tidak pernah mengira bahwa usaha menjalin kembali hubungan dengan ayahnya tidak semudah yang dia bayangkan. Selama setengah jam, Jason menyumbat telinganya dengan earphone demi membantunya berkonsentrasi. Begitu menyadari bahwa dia sudah berlari sepuluh kilometer, Jason mematikan mesin treadmill-nya. Peluh membasahi seluruh tubuhnya dan napasnya sedikit terengah ketika dia berhenti. Untungnya gym di hotel tempatnya menginap tidak terlalu ramai hingga dia tidak perlu berbasa-basi dengan siapa pun. Kembali ke kamar, Jason segera menuju kamar mandi untuk membersihkan diri dan bersiap sarapan. Dia tidak ingin naik kembali ke kamarnya nanti, dan akan menunggu papanya di restoran. Karena papanya tidak memberitahunya tentang kegiatan yang akan mereka lakukan, Jason memutuskan untuk mengenakan kemeja polo dan celana chino-nya. Setidaknya dia tidak tampil terlalu formal atau pun terlampau santai. Begitu turun ke lantai bawah di mana letak restoran berada, Jason tidak membuang waktu untuk segera mengisi perutnya yang belum terisi apa pun sejak dia selesai berolahraga tadi. Mengambil satu mangkok yang diisinya dengan buah-buahan dan juga segelas jus jeruk, Jason duduk di dekat dinding kaca yang menampakkan kesibukan kota Detroit pagi ini. Pesan singkat yang diterimanya dari sang Mama semalam setelah dia mengatakan bahwa papanya mengajak untuk menghabiskan waktu seharian kembali menghampiri Jason. Mamanya hanya mengingatkan Jason untuk bisa mengontrol diri. Tanpa diingatkan pun, Jason tahu bahwa banyak yang dia pertaruhkan hari ini. Rasa benci yang berusaha dia hilangkan sepenuhnya mungkin saja akan kembali menghantuinya dan membuat sikapnya berubah. Lagipula, tidak ada alasan yang bisa dia gunakan untuk menghindari percakapan apa pun yang bisa terjadi. Sebuah pesan singkat masuk ke ponselnya. Papa jalan sekarang ke hotel. Kamu sudah siap-siap? Jason membaca pesan tersebut dan langsung membalasnya. Jason tunggu di lobi Setelah menandaskan jus jeruknya yang tinggal seperempat gelas, Jason bangkit dari kursi dan langsung menuju lobi. Sebelum duduk di salah satu sofa, Jason menyambar satu surat kabar. Sesungguhnya dia lebih suka membaca berita melalui tabletnya, tetapi karena tidak akan pergi ke kantor, Jason tidak memiliki pilihan lain. Belum selesai dirinya membaca tajuk utama berita tersebut, ponselnya berdering. Melihat nama papanya di layar, Jason langsung mengangkatnya. “Ya, Pa?” “Papa sudah di depan. Kamu bisa keluar?” “Oke, Pa.” Setelah meletakkan surat kabar itu pada tempatnya semula—Jason paling benci meletakkan barang sembarangan—Jason segera melangkah keluar meninggalkan lobi. Mengenakan kacamata hitamnya, Jason langsung mengenali mobil papanya. Dengan langkah mantap, dia langsung menghampiri mobil tersebut dan masuk ke dalam mobil. “Bagaimana kabar kamu pagi ini, Jason?” tanya papanya sembari mengulaskan sebuah senyum. “All is good, Pa,” balas Jason. Begitu sabuk pengamannya terpasang, dia menatap pria yang masih terlihat bugar di usia ketika kebanyakan pria sudah tampak tidak b*******h untuk hidup. “Kita mau ngapain hari ini?” “Kita ke Devil’s Lake. Papa punya properti dan kapal kecil di sana. Then we can sail later if you feel like it.” “Jauh?” Sekalipun bisa mengeceknya lewat aplikasi peta di ponsel, Jason lebih ingin mengajukan pertanyaan itu demi mengisi kekosongan yang mungkin ada di antara mereka. “Sekitar satu setengah jam, tapi Papa jamin kamu pasti akan suka.” Mereka saling bertukar senyum sebelum Jason mengalihkan pandangannya pada jalanan di hadapan mereka. Ada banyak yang mengisi pikiran Jason saat ini, tapi dia tidak ingin mengungkapkan semuanya. Apa yang akan tersisa jika dia menumpahkan segala yang ingin diketahuinya sekarang?   *** Kata pertama yang keluar dari mulut Jason begitu mereka sampai di rumah danau milik papanya adalah “Wow!” Tanpa menunggu papanya, Jason langsung berjalan menuju bagian belakang rumah yang memang langsung memberinya pemandangan tanpa cela Devil’s Lake. Sejak kecil, satu hal yang paling ditunggunya adalah pergi ke pantai. Meski usianya sudah tidak bisa dibilang muda, Jason selalu merasa seperti anak kecil setiap kali melihat danau atau laut. Berada di dekat alam seperti itu selalu membuatnya nyaman. Tidak terkecuali sekarang ketika dia dihadapkan pada ketidakpastian akan seperti apa harinya. “Reaksi Papa sama seperti kamu sekarang ketika melihatnya pertama kali. Dan Papa sering ke sini jika sedang ingin sendiri. Tanpa melakukan apa pun, hanya duduk di teras belakang sambil memegang satu botol bir.” Jason tidak tahu harus membalas seperti apa penjelasan seperti itu. “Do you ever miss me and wish things were different between you and Mom?” Entah apa yang merasuki Jason hingga mengajukan pertanyaan seperti itu. Dia tidak ingin lagi berpikir terlalu panjang saat ini. Jason memutuskan akan mengutarakan apa pun yang selama ini hanya bisa dipendamnya tanpa bisa menemukan jawaban yang pasti. Kepergiannya ke Detroit memang untuk menjalin kembali hubungan dengan papanya, dan jika untuk mendapatkannya dia harus menelan segala bentuk gengsi dan rasa tidak enak, maka Jason akan melakukannya. Jason menatap pria di sampingnya yang sama sekali tidak tampak terkejut dengan pertanyaannya tersebut. “Salah satu alasan Papa membeli properti ini karena Papa ingin dekat dengan kamu karena Papa ingat dengan jelas betapa bahagianya kamu tiap kali diajak ke pantai dulu. You always loved being near the water and by buying this place, I hoped that I could bring you closer even when you hated me.” Matthew lantas memandang Jason dan melempar sebuah senyum tipis. “Tidak ada yang Papa sesali dari perpisahan dengan Mama kamu karena jika kami terus bersama, yang ada hanyalah sakit hati dan benci yang semakin dalam. We separated on good terms, Jason, and no grudges between us, even then, moreover now when we’re growing older. We did that because it was the best decision for you.” Jason memang tidak pernah mendengar penjelasan dari papanya tentang alasan perceraian orang tuanya. Bukan karena Matthew tidak berusaha menjelaskannya, tetapi karena Jason enggan mendengarnya. Dengan usia yang jauh lebih matang dibanding saat dia memutuskan untuk tidak lagi menghubungi papanya, Jason bisa menerima alasan itu dengan lebih dewasa. Sekalipun ada harapan bahwa papanya menyesal telah menceraikan mamanya, tetapi apa yang baru didengarnya bisa diterima Jason dengan baik. “Aku merasa Papa menghianati Mama saat memutuskan untuk menikah lagi.” Jason menatap papanya sebelum melanjutkan, “Ada rasa tidak rela membagi Papa dengan perempuan lain yang bukan Mama.” Sekalipun telah mengetahui alasannya untuk tidak berhubungan dengan Matthew Anderson, Jason tetap merasa perlu mengungkapkannya. Walaupun papanya sudah memberikan maaf atas sikap kekanak-kanakannya selama ini, Jason merasa ada yang mengganjal jika tidak meminta maaf. Bahkan jika dia harus mengucapkannya berkali-kali. “I’m sorry. I really do.” Saat tatapan mereka bertemu, Jason bisa menangkap kelegaan dalam pandangan papanya dibanding kemarin. “We’re good, aren’t we? Can we start from the beginning?” Papanya mengangguk. “Like a blank page.” Jason pun tersenyum lebar sebelum merasakan tubuhnya ditarik ke dalam pelukan pria yang sudah begitu lama tidak dia rasakan. Memejamkan mata, merasakan lengan papanya yang memeluknya erat, dan menyadari tidak ada lagi rasa benci dalam dirinya, memberikan kelegaan luar biasa bagi Jason. Dia pun seperti kembali dibawa ke masa kecil ketika pelukan seperti ini dianggapnya sebagai tempat paling aman di dunia. Usia tidak membuat perasaan Jason berubah. Meski telah lebih dewasa dalam menjalani hidup, Jason tetap merasa bahwa inilah tempat paling aman baginya. “Shall we prepare the boat?” Jason hanya mengangguk dengan penuh semangat. “You have to teach me.”   ***   Mereka sedang duduk di teras belakang sembari menikmati angin sore yang berembus dari danau. Setelah menghabiskan berjam-jam di danau dan berbagi begitu banyak cerita tentang tahun-tahun yang telah terlewat, Jason merasa cukup. Maka mereka pun kembali ke rumah danau untuk sedikit bersantai sebelum Jason kembali ke hotel. Satu hal yang tidak diduga Jason adalah keingintahuannya tentang keluarga papanya yang lain. Sebelum datang ke sini, Jason bahkan tidak berani memikirkan kemungkinan bahwa dia harus bertemu dengan perempuan yang dulu dibencinya setengah mati karena telah merebut papanya. Namun jika dirinya harus memulai awal yang baru dengan papanya, maka mau tidak mau, dia harus bisa menyingkirkan apa pun perasaan yang masih tertinggal dan menerima keluarga papanya yang lain. Setelah mendengar cerita papanya, Jason menjadi tidak sabar untuk bertemu dengan saudara tirinya, yang menurut papanya akan masuk kuliah tahun depan. Papanya bahkan berujar, “Aaron pasti akan senang ketemu kamu. Dia mengingatkan Papa akan kamu ketika kamu seumurannya.” Maka ketika bir di tangannya sudah hampir tandas, Jason menatap papanya. “Can I meet Aaron tomorrow? And Celine as well, obviously.” Pertanyaan itu rupanya mengejutkan papanya karena pria setengah baya yang duduk di sebelahnya terdiam selama beberapa detik sebelum tesenyum. “Papa akan bicara ke Aaron nanti, memastikan dia tahu siapa kamu. Celine juga pasti akan senang akhirnya bisa bertemu kamu.” Matthew Anderson menyesap birnya sebelum kembali memandang Jason. “It means a lot to me that you would like to see them, Jason.” “Sama-sama, Pa.” Selama beberapa menit, mereka sibuk dengan pikiran masing-masing sebelum Jason memecah kesunyian itu dengan mengutarakan niat yang menjadi semakin kuat dalam beberapa minggu terakhir. Awalnya Jason tidak ingin membahas tentang niatnya tersebut karena mengungkapkannya berarti menceritakan tentang Sara. Namun, papanya adalah orang yang tepat untuk dia mintai pendapat karena Matthew Anderson akan memberinya alasan-alasan yang logis dan bisa dia terima. The way fathers do. “Aku ingin meninggalkan New York, Pa. I’m thinking of moving to Indonesia.” “Are you ready to leave everything you have in New York behind? It’s a big decision.” Jason jujur tidak bisa menjawab pertanyaan tersebut. Siapkah dia meninggalkan semuanya? Sebelum ke Detroit, dia yakin dengan keputusannya untuk pindah ke Bali, tetapi setelah hubungan dengan papanya kembali terjamin, ada ragu yang menyusup. Dia tidak ingin meninggalkan Amerika Serikat ketika dia punya kesempatan untuk memperbaiki apa yang telah dia abaikan selama bertahaun-tahun. “Apakah ini karena seorang perempuan?” Jason tidak perlu bertanya dari mana papanya bisa mengambil kesimpulan bahwa keinginannya pindah karena seorang perempuan yang telah mematahkan hatinya. Pengalaman Matthew jelas lebih banyak hingga bisa tahu alasan Jason ingin meninggalkan kota yang telah memberinya banyak hal. “Kami lima tahun bersama, dan tanpa ada alasan yang jelas—selain menggunakan kesibukan—dia meminta kami untuk berpisah. Sara bahkan menemukan pengganti dengan cepat.” Jason menelan ludah. Mengingat kembali tentang Sara membuat luka yang perlahan sembuh kembali terbuka. “Every corner of New York reminds me of her. Aku selalu berpikir bahwa meninggalkan New York terlalu … esktrem. Jika aku memiliki pasangan lagi, semua kenangan akan Sara akan hilang dengan sendirinya. Hanya saja aku ragu itu akan terjadi. I need to be in a new place to start anew.” Jason menghela napas dan mengembuskannya pelan. “Apakah aku terdengar seperti pria pengecut hanya karena nggak sanggup untuk tetap berada di New York?” Papanya menggeleng. “Jika memang kamu percaya bisa menemukan awal yang baru di Indonesia, kenapa harus peduli dengan apa yang dipikirkan orang lain? You have every right to do whatever it is that you want to do, Jason.” Jason terdiam. “Papa atau Mama jelas tidak akan menganggap kamu pengecut karena ingin menemukan kebahagiaan di tempat lain. We—your mother and I—will always have your back, Jason. We want the best for you, doesn’t matter where or with whom you end up with. Kalau kamu tinggal di Indonesia, ada alasan kuat untuk Papa pergi ke sana. I’ll take Celine and Aaron along. But if you’re still afraid or not ready taking that big of a step, maybe you only need to change city, not country. Do it slowly, but never based on emotion or impulsiveness.” Jason hanya mampu mengangguk. Dia lantas menatap papanya dan memberikan sebuah senyum simpul. “Makasih, Pa. That’s exactly what I wanted to hear.”  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD