9 - MATTHEW

1631 Words
Jason menolak semua tawaran yang diberikan papanya, termasuk tinggal bersama di rumah pria tersebut. Dia hanya mengatakan bahwa keengganannya didasari alasan yang sudah jelas. Yang tidak Jason ungkapkan adalah dia tidak siap jika harus menghabiskan waktu di rumah keluarga baru papanya. Baginya itu terasa seperti masuk terlalu dalan ke dunia yang tidak ingin dimasukinya. Dia pun dengan jelas mengungkapkan bahwa dia perlu waktu untuk membiasakan diri dengan kehadiran lagi pria di pertengahan 60 tersebut dalam hidupnya. Papanya pun akhirnya membiarkan Jason untuk tinggal di hotel. Jason punya alasan melakukannya. Dia tidak ingin jika reuni ini hanya akan berumur singkat jika salah satu dari mereka—terutama Jason—memaksakan diri dan menyetujui semua usul papanya. Dia tidak ingin merasa terpaksa harus menghabiskan waktu dengan papanya. Yang dilakukan Jason saat ini adalah sebuah adaptasi. Dia perlu menyesuaikan diri lagi dengan kehadiran pria itu dalam hidupnya. Dan itu semua membutuhkan waktu. Harus diakui Jason bahwa obrolan dengan papanya seminggu lalu memang terasa canggung. Ada bertahun-tahun jarak di antara mereka hingga rasanya lebih mudah untuk mengakhiri panggilan itu dengan segera. Namun Jason tahu bahwa dia harus melakukannya. Maka dia pun mengungkapkan keinginannya tanpa ragu. Dia sedikit terkejut saat menyadari tidak ada banyak pertanyaan yang diajukan papanya. Pria tersebut hanya mengaku senang mendengar kabar dari Jason lagi. Awalnya Jason berniat untuk datang ke rumah papanya tanpa pemberitahuan lebih dulu. Namun ide itu ditentang mamanya dengan keras. Mamanya bahkan mengancam akan memberitahu papanya jika Jason nekat dengan niat tersebut. Maka Jason pun mengurungkan niat tersebut. Keesokan harinya, Jason mengirim pesan singkat kepada papanya, dan mengatakan bahwa dia ingin mengunjungi papanya di Michigan. Ide itu sebenarnya tidak ada dalam rencana Jason. Dia sebelumnya hanya ingin menjalin komunikasi lagi dengan papanya tanpa ada niatan untuk terbang ke Detroit. Namun Jason berpikir, tidak ada salahnya pergi menemui pria yang sudah puluhan tahun tidak dijumpainya. Dia hanya ingin tahu sebatas mana dia bisa memperbaiki hubungan mereka. Mereka pun kemudian menyusun rencana dan Jason akan datang minggu depan. Sejak itu, tidak ada hal penting lainnya yang mengisi pikiran Jason kecuali tentang kunjungannya ke Detroit. Pekerjaannya tentu saja tidak terbengkalai, hanya saja Jason berusaha keras mengumpulkan kenangan tentang papanya yang telah dia singkirkan. Melakukannya ternyata bukan hal yang sulit. Bahkan ada dorongan untuk mengirimi papany pesan singkat saat dia teringat satu peristiwa ketika dia berusia enam tahun. Namun Jason mengurungkannya. Dia yakin ada banyak topik tentang menyangkut masa lalu yang bisa dia gunakan untuk menjalin kembali percakapan di antara mereka, karena hanya hal itu yang menghubungkan Jason papanya, selain darah yang mengalir dalam tubuh Jason. Jason pun tidak memberitahu siapa pun bahwa dia akan menemui papanya. Selama hari kerja, dia hanya menyinggung kunjungan ke Rhode Island, termasuk menceritakan hal-hal tidak penting yang dilakukannya. Dia menyimpan rapat-rapat tentang Detroit. Saat Andre memintanya datang ke ruangan, Jason mengungkapkan lagi rasa terima kasihnya. Sekalipun tidak menceritakannya secara detail, Jason menyebutkan bahwa dia menemukan apa yang dicarinya. Jawaban itu sepertinya memuaskan Andre karena pimpinannya itu tidak lagi mengajukan pertanyaan lain. Bahkan dia pun tidak bisa menceritakan kepada Liam dan ketiga sahabatnya yang lain. Jason hanya mengatkan bahwa dia harus ke Detroit untuk satu urusan dan berjanji akan mengabari Liam saat dia kembali ke New York. Jason berusaha menghindari sebanyak mungkin pertanyaan karena dia tidak yakin memiliki jawabannya. Meski yakin akan mendapat dukungan moral dari sahabat-sahabatnya, Jason berpendapat hal dengan papanya perlu dia selesaikan seorang diri, tanpa intervensi atau dukungan dari siapa pun. This is his own battle. Demi bisa meninggalkan New York pada hari Jumat, Jason rela lembur untuk menyelesaikan semua pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Dia bahkan langsung menuju ke bandara begitu jam kantor selesai dan meninggalkan mobilnya di kantor. Akan lebih menghemat waktu dibandingkan jika dia harus pulang ke Rego Park terlebih dulu. Sepanjang penerbangan yang hanya memakan waktu dua jam, Jason berusaha untuk tidak gugup, tetapi membayangkan dia akan bertemu kembali dengan papanya adalah sesuatu hal yang besar. Dia bahkan tidak pernah membayangkan bahwa dia akan melakukan ini. Dia selalu percaya bahwa dia tidak akan lagi melihat papanya, untuk alasan apa pun. Satu yang disetujui Jason adalah permintaan papanya untuk menjemputnya di bandara. Jason yakin, perjalanan dari bandara ke hotel akan cukup mampu meruntuhkan canggung yang terbangun di antara mereka selama bertahun-tahun. Dia bahkan sudah menyusun daftar pertanyaan serta kalimat yang akan diucapkannya. Perkara dia akan mampu mengungkapkan semuanya atau tidak, akan dipikirkan Jason kemudian. Dia punya dua hari untuk menumpahkan segala yang mengganjal hatinya selama ini. Begitu keluar dari pesawat, dua keinginan Jason yang saling bertentangan mengerubunginya. Di satu sisi, dia ingin dengan segera menyelesaikan kunjungannya dan kembali ke New York untuk melanjutkan hidupnya. Bahkan ada ide gila untuk membeli kembali tiket pesawat pulang.  Di sisi lain, Jason ingin memperlambat waktu untuk menyiapkan mental lebih lama sebelum berjumpa kembali dengan papanya. Namun Jason jelas tidak bisa melakukan keduanya. Dia sudah mendarat di Detroit, papanya baru saja mengirimkan pesan, dan mau tidak mau, Jason tidak bisa memutar haluan. It’s now or never. Dengan langkah yang seperti dibebani batu seberat sepuluh kilogram, Jason melangkah ke pick-up area. Dia berharap area tersebut akan dipenuhi orang hingga dia bisa mengulur waktu sedikit lebih banyak, tetapi harapannya pupus.  Meskipun tidak bisa dibilang sepi, Jason dengan cepat mengenali papanya. Waktu tidak membuat Jason lupa wajah pria yang dulu begitu dikaguminya. Yang membuat tampilan papanya berbeda tentu saja rambut putih yang sekarang menutupi kepalanya. Tidak banyak yang berubah dari seorang Matthew Anderson. Jason berusaha memberikan sebuah senyum, tetapi yang tampak jelaslah sebuah senyum yang sedikit dipaksa. Sementara dia bisa melihat tidak ada ekspresi kekecewaan atau kemarahan dari wajah papanya. Justru yang ditunjukkan papanya sekarang mengingatkan Jason saat dia pulang setiap kali pembagian rapor dilakukan. Ada kebanggaan yang belum juga pudar. Menyadari itu, rasa bersalah dengan leluasa mengikat Jason semakin erat. Hatinya serasa diremas karena dia telah membuang kehangatan itu dna menggantinya dengan kebencian. Saat jarak di antara mereka tinggal selangkah, Jason berhenti untuk mengamati pria yang telah diabaikannya bertahun-tahun. Jika masih tinggal di Indonesia, Jason pastilah sudah dianggap sebagai anak durhaka. Sekalipun sebutan itu tidak dikenal di Amerika, Jason tetap merasa sebagai anak yang telah menelantarkan papanya sendiri, sebuah perasaan yang sebelumnya tidak mengganggunya sama sekali. “Jason Patrick Hartanto, anak Papa satu-satunya yang paling Papa banggain,” ucap Matthew sembari memeluk tubuh Jason. Jason hanya mampu memejamkan mata ketika telinganya mendengar kalimat tersebut. Kedua tangannya masih berada di samping tubuhnya sebelum perlahan dia membalas pelukan papanya. Rasanya sungguh sulit dipercayai bahwa hanya dalam satu minggu, semua dinding yang dibangun Jason perlahan mulai runtuh. Dia tidak tahu akan seperti apa hubungan yang dia miliki ke depannya dengan papanya, tetapi satu yang dia tahu, kebencian itu dengan pelan mulai menjauhi hatinya. “Papa apa kabar?” balas Jason sebelum dia menelan ludah. Sudah terlalu lama dia tidak menggunakan panggilan itu. “Kabar baik,” jawab papanya singkat. Jason tahu papanya bisa berbahasa Indonesia dengan cukup fasih, tetapi dia tidak menyangka, setelah bercerai dengan mamanya dan menikah dengan perempuan yang berbeda kewarganegaraan, papanya masih mampu berbicara dalam bahasa Indonesia.  Jason melepaskan pelukan sebelum dia mengamati papanya dengan lebih saksama. “Jason minta maaf karena sudah lama nggak menghubungi Papa.” Matthew Anderson hanya mengangguk. “Kita pergi sekarang?” Jason hanya membalasnya dengan sebuah senyuman tipis sebelum mengikuti papanya menuju parkiran mobil. Mengeluarkan ponselnya, Jason dengan cepat mengetik sebuah pesan singkat kepada mamanya.   Sudah sampai di Detroit  Papa jemput di bandara   Jason tidak ingin menunggu pesan balasan mamanya karena tahu, mamanya pasti tersenyum ketika membaca pesan tersebut.   ***   Tidak banyak yang mereka bicarakan setelah sampai di mobil. Papa Jason hanya bertanya mengenai barang bawaan putra semata wayangnya. Jason pun mengatakan bahwa dia cuma membawa tas ransel berisi beberapa potong pakaian karena kunjungannya yang singkat kali ini. Begitu mobil yang dibawa papanya keluar dari bandara, Jason menatap pria yang ada di sebelah kirinya.  “Papa tidak pernah menyangka akan mendengar kabar dari kamu. Sudah terlalu lama, Jason. Papa mulai kehilangan harapan karena setelah sekian lama, kamu masih belum bisa memaafkan Papa karena menikah lagi.” Pria yang punya postur tinggi tersebut memandang Jason sesaat sebelum kembali mengalihkan fokusnya pada jalanan di depan. “Tidak ada maksud Papa untuk menyakiti perasaan kamu saat itu. Papa kira kamu akan paham karena Papa dan Mama kamu sudah becerai cukup lama. Tapi Papa jelas keliru.” Jason hanya diam. Tidak seharusnya papanya yang mengucapkan kalimat seperti itu karena semua yang terjadi di antara mereka adalah murni sikap kekanak-kanakan Jason. “Papa sudah memaafkan kamu, jika itu yang kamu minta. Jauh sebelum kamu datang ke sini,” ucap papanya sembari tersenyum. “You’re stil my son, no matter what, Jason. There’s no way I could hate you because that will hurt me deeply.” Matthew Anderson lantas menatap Jason ketika lampu lalu lintas menyala merah, memberikan mereka kesempatan untuk saling bertatapan. “Kita bisa memulai semuanya dari awal, Jason. Papa ingin kamu menjadi bagian dari hidup Papa lagi, mengenal keluarga Papa yang sekarang.” “Sikap Jason sungguh nggak bisa ditolerir, Pa. I was being childish when I should celebrated with you because you found your happiness. Jason harap sekarang belum terlambat untuk memperbaiki hubungan kita, karena Jason juga mau Papa jadi bagian dari hidup Jason lagi.” Jason merasa kembali menjadi anak sepuluh tahun yang mengakui kesalahan kepada papanya. Ini adalah sisi Jason yang tidak diketahui siapa pun, termasuk Sara. Hanya mama dan papanya yang tahu. Jason pun tidak menyangka bahwa dia masih memiliki sisi seperti ini. “Tidak ada kata terlambat, Jason. Papa sangat bahagia kamu mau datang ke Detroit. It will change everything.” Mereka saling bertukar pandang dan senyum. Jason pun tahu, bahwa ketakutan yang sempat menghantui dan membayanginya, semua luruh dengan begitu cepat. Sekalipun terlalu dini untuk bicara tentang masa depan, Jason percaya bahwa datang ke Detroit adalah salah satu keputusan terbaik yang pernah diambilnya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD