8 - THE LAST DAY

1539 Words
Jason tidak ingat terakhir kalinya dia bisa menjalani hari dengan tenang tanpa harus memikirkan pekerjaan. Sudah tiga hari dia berada di Quonochontaug dan yang dilakukannya hanyalah bermalas-malasan sembari tentu saja memikirkan langkah apa yang harus diambilnya. Dia pun sengaja tidak memasang alarm dan membiarkan deburan ombak membangunkannya. Jika Liam tahu bahwa dia bisa bangun tanpa alarm, sahabatnya itu pasti akan sangat bangga. Kulkas di dapur penuh dengan bahan makanan hingga terkadang Jason bingung memutuskan makan apa. Karena itu, dia juga belum sekali pun makan di restoran yang ada di area ini dan memilih untuk mengolah bahan yang ada. Setelah memasak, dia bisanya akan duduk di teras belakang, menikmati makanannya sembari menyaksikan gulungan ombak menjadi musik pengiring. Jika matahari sudah merendah, dia akan mulai berjalan di pantai dan membiarkan pikirannya mengembara. Menghabiskan waktu dengan menyusuri pantai menyadarkan Jason bahwa kegiatan itu sangat menenangkannya. Satu beban yang menggelayuti Jason adalah waktunya di sini tinggal satu hari dan New York City sudah tidak sabar menunggunya kembali. Berada di Quonochontaug menyadarkan Jason bahwa sudah terlalu lama dia tinggal di kota metropolitan sesemarak dan sesibuk New York hingga melupakan ada banyak hal dalam hidup yang telah dia lewatkan. Bukan hal-hal besar, tetapi hal sesederhana berjalan menyusuri pantai. Tinggal dan bekerja di New York memang impiannya, dan ketika keinginan itu sudah terwujud, Jason merasa tidak ada hal lain yang bisa dia kejar. Dia berada di satu titik di mana tidak ada lagi tangga yang harus dinaiki. Sekalipun karirnya memberi kestabilan hidup, Jason merasa itu pun tidak cukup. Berada di sini juga mengingatkan Jason bahwa marah yang dia simpan terhadap papanya sudah terlalu lama. Ada kebencian yang telah usang dan saatnya untuk mengevaluasinya. Meski sudah lama bercerai, Jason belum bisa memaafkan papanya karena keputusan pria itu untuk menikah lagi. Sedangkan pria berusia 66 tahun tersebut adalah satu-satunya kerabat yang dimilikinya di Amerika Serikat dan Jason seperti kehilangan sosok yang dulu begitu dikaguminya. Maka Jason pun perlahan mulai menjauhkan diri dari kehidupan papanya hingga dia kemudian kehilangan kontak dan tidak berusaha mencarinya. Mamanya berkali-kali meminta Jason untuk menghubungi papanya, tetapi Jason selalu menggunakan bermacam alasan hingga perempuan yang melahirkannya tersebut tidak lagi menyinggungnya. Mendengar mamanya menyebut nama pria itu selalu sukses membuat Jason geram. Namun ketika dia bangun tadi pagi, keinginan untuk bertemu kembali dengan papanya begitu kuat. Jason berusaha menemukan alasan atas munculnya keinginan tiba-tiba tersebut, tetapi sia-sia. Hingga dia lantas memutuskan untuk berjalan di pantai meski matahari sudah meninggi. Dia ingin memastikan apakah keinginan itu muncul karena rasa bersalah atau memang sudah saatnya dia memaafkan pria tersebut. Dia pun memikirkan cara untuk menghubungi pria tersebut. Setelah berpuluh-puluh tahun tidak bertemu, bagaimana dia harus memulai sebuah percakapan? Hanya mamanya yang tahu bagaimana menghubungi papanya, tetapi Jason pun masih memikirkan alasan kenapa dirinya tiba-tiba ingin tahu tentang kabar papanya. Namun tidak ada pilihan lain selain berkata jujur kepada mamanya. Setelah makan siang dan menyiapkan mental, Jason pun menghubungi mamanya. Dia yakin perempuan di awal 60-an itu masih terjaga mengingat di Jakarta masih belum larut. Dia bahkan sudah menyiapkan diri agar terlihat acuh, seolah menanyakan alamat pria yang selama ini dibencinya bukanlah hal besar. Kalimat pertama yang ditangkap telinga Jason adalah, “Tumben kamu telepon Mama jam segini?” Jawaban yang diberikan Jason adalah sebuah tawa kecil. Dia lantas mengarahkan kamera ponselnya ke pantai agar mamanya tahu. “Lagi ambil break beberapa hari dari New York, Ma.” Dia menyaksikan mamanya mengerutkan kening. “Semuanya baik-baik saja?” Jason hanya mengedikkan bahu. “It’s over, with Sara.” Selama ini, Jason memang sengaja menyembunyikan fakta itu dari mamanya karena dia merasa tidak perlu menceritakannya. Namun Jason tahu bahwa dia tidak bisa terlalu lama menyembunyikannya. Lebih baik mamanya tahu hingga dia tidak perlu lagi berbohong. Menyebutkan Sara pun akan memberinya lebih banyak waktu sebelum dia sampai pada tujuan utamanya. “Sejak kapan?” Jason pun mengungkapkan semuanya. Alasan Sara, dan kenapa dia tidak mengungkitnya selama ini serta salah satu alasan utamanya berada di Rhode Island. “Jason, kamu ini lupa kalau seorang ibu pasti bisa tahu kalau ada sesuatu yang salah dengan anaknya. Mama ngerasain memang ada yang kamu sembunyikan, tapi Mama nggak mau nanya lebih lanjut karena nggak mau terdengar seperti ingin tahu. Kamu sudah lama tinggal di Amerika, dan kamu pasti kesel kalau Mama nanya-nanya urusan pribadi kamu.” Senyum menghiasi wajah Jason. “Makasih,Ma.” Jauh dari Indonesia memang mengajarkan Jason banyak hal, terutama soal kemandirian. Dia pun merasa beruntung karena besar di keluarga yang menghargai privasinya sejak remaja. Dia tidak pernah punya kewajiban menceritakan semuanya kepada mama atau papanya. Ucapan yang baru dia dengar pun tidak mengejutkannya. Ada sedikit sesal dalam diri Jason karena baru sekarang becerita tentang berakhirnya hubungannya dengan Sara. Dia seharusnya yakin bahwa mamanya pasti akan memberikan moral support kepadanya. “Mama juga tahu, kamu telepon Mama bukan cuma buat pamer lagi nginep di beach house.” Kali ini, Jason tidak mampu menahan tawanya. “Kenapa Mama nggak jadi cenayang aja?” “Tell me.” “Jason pengen minta kontak Papa. Alamat rumahnya kalau perlu.” Jason sama sekali tidak ragu, bahwa ekspresi yang sedang ditunjukkan mamanya sekarang adalah kekagetan. Wajar mengingat Jason selalu tak acuh tiap kali mamanya ingin membahas tentang papanya. Menyaksikan mamanya masih diam, Jason kembali berujar, “Aku tahu Mama pasti kaget dengar permintaanku barusan.” “Nanti Mama kirim,” balas mamanya singkat. “Mama nggak mau nanya kenapa aku minta kontaknya Papa?” “Kamu mau cerita?” Jason memandang lautan di hadapannya sembari berpikir. Dia sebenarnya sudah menyiapkan kalimat untuk diucapkan ketika mamanya bertanya. Meskipun secara teknis perempuan itu tidak mengajukan pertanyaan seperti yang diduganya, mengucapkannya masih terasa berat. Namun ini adalah kesempatannya untuk membahas sesuatu yang selama ini selalu dihindarinya. “Aku sadar bahwa merasa selama ini telah bersikap nggak adil ke Papa. Sikap aku terasa kekanak-kanakan padahal aku harusnya ikut bahagia jika Papa bahagia. Aku rasa … alasan kuat yang bisa aku cerna dari alasan kebencianku ke Papa adalah karena aku merasa Papa mengkhianati Mama. Aku nggak bisa terima itu. Apalagi Papa adalah satu-satunya yang aku punya di US, jadi buatku itu terasa juga seperti sebuah pengkhianatan.” Reaksi yang diberikan mama Jason adalah sebuah tawa kecil. “Jason, Papa dan Mama aja nggak kepikiran sejauh itu. Kami berpisah baik-baik, dan Mama justru bahagia Papa menikah lagi. Meski jarang komunikasi, Papa selalu tanya kabar kamu. Mama sih udah bisa nebak kenapa kamu bersikap seperti itu sama Papa.” Jason menunduk. Perasaan bersalahnya kali ini menjaid berlipat karena tidak menduga papanya masih peduli dengannya. Terlebih setelah apa yang dia lakukan dengan menjauhkan diri dan menyimpan marah selama bertahun-tahun. Dia tersadar bahwa dia telah membuang begitu banyak waktu dengan menyimpan marah, yang seharusnya bisa dia gunakan untuk memaafkan papanya. “Papa nggak mau hubungi kamu karena Papa tahu, usahanya akan percuma kalau kamu masih belum bisa memberikan maaf.” Jason mendapati mamanya tersenyum. “Mama seneng denger kamu minta kontak Papa. Sudah waktunya, Jason.” Jason hanya mengangguk, mengamini kebenaran ucapan mamanya. “Nanti aku kabari kalau sudah ketemu dengan Papa. Tapi aku minta Mama jangan kasih tahu Papa, ya?” Mama Jason mengangguk. “Mama tunggu.” Setelah itu, mereka berbasa-basi sebentar sebelum Jason mengakhiri panggilan. Begitu meletakkan telepon di atas meja, dia menyelonjorkan kaki dan menikmati pemandangan yang harus dia tinggalkan nanti sore. Ada rasa lega yang menyelimuti Jason karena ada keputusan lain—yang sungguh tidak terduga—yang bisa diambilnya selama di sini. Semalam dia bahkan tidur larut karena sibuk menimbang semua konsekuensi yang ditulisnya di atas kertas. Namun saat akhirnya merebahkan diri di atas tempat tidur, Jason merasa dadanya begitu lapang karena semua pertanyaan yang dimilikinya bisa dia urai satu per satu dan dia temukan jawabannya. Masih banyak memang yang harus dia lakukan, tetapi Jason telah bulat dengan keputusannya.   ***   Setelah menempuh perjalanan lebih dari tiga jam, Jason akhirnya sampai di rumahnya di Rego Park. Sepanjang perjalanan, Jasontidak henti-hentinya mensyukuri perjalanannya kali ini. Rasa berat meninggalkan Rhode Island membuat waktu yang dilewatinya terasa jauh lebih lambat. Dia pun dengan segera mengirimkan pesan kepada Andre untuk mengucapkan terima kasih. Dia tahu apa yang harus dia berikan kepada pria itu sebagai tanda terima kasih. Andre pasti akan menolak, tapi Jason tahu satu hal pasti yang akan diterima Andre. Begitu memasuki rumah, hal pertama yang dilakukan Jason adalah meletakkan weekender bag-nya, dan duduk di sofa. Ada satu hal lagi yang harus dia lakukan sebelum mandi dan tidur karena dia tidak ingin keputusannya berubah. Dia memang memikirkan ini dalam perjalanannya pulang tadi. Jason mendapatkan pesan singkat dari mamanya saat dia berkemas, dan dia pun bertekad untuk menghubungi papanya sesegera mungkin. The time is now. Menatap layar ponselnya, jantung Jason berdegup kencang membayangkan berbagai kemungkinan yang akan dihadapinya. Dia paling tidak suka dilingkupi perasaan seperti ini. Setelah lima deringan, suara yang sangat lama tidak dia dengar, menyapa telinganya. “Hello?” Jason menaik napas panjang sebelum dia menguatkan diri untuk mengucapkan sesuatu. “Apa kabar, Papa? Ini Jason.” “Jason.” Dan yang bisa dilakukan Jason hanyalah memejamkan mata dan menyandarkan punggungnya ke sofa. Bagi Jason, ini terasa seperti mimpi yang akhirnya menjadi kenyataan. Namun kali ini, Jason tidak lagi ingin lari. The time has come for him to face the fact that he had been a complete jerk.      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD