Beraninya dia

755 Words
Tring ... Pagi ini, ponsel itu berdenting dan bergetar di atas meja kerjanya, aku yang saat itu berdiri tak jauh dari benda tersebut, sedang menyiapkan sarapan, merasa tergelitik dan ingin tahu, intuisiku mengatakan bahwa tidak akan ada seorang karyawan pun yang akan menghubungi General Manager sepagi ini, perlahan aku menghitung langkah mendekat dengan napas tertahan dan benar saja, layarnya berpendar dengan nama Eleanor di sana. Ingin kujawab panggilan itu, namun kulihat dari arah kamar suamiku datang untuk mengambil benda itu. "Eh, Mas, ini lho, hapenya terus menerus bunyi," kataku berpura-pura. "Oh, ya, makasih sayang," jawabnya sambil menyunggingkan senyum dan memberi isyarat dengan mimik wajah dan tangannya agar dia diberi waktu untuk menjauh sebentar dariku. Ia terlihat berjalan dengan santainya sambil menjawab telepon itu, "Ya ... Ini saya Randy, ada apa Bu?" Memuakkan permainannya. "Siapa Mas," tanyaku sekembalinya ia dari menelepon dengan kekasihnya. "Itu, kepala pemasaran dari Moon insurance mereka ingin membuat kesepakatan bisnis dengan perusahaan kita," jelasnya. "Perusahaan media dan asuransi?" "Iya, sayang, penting kan, untuk mengamankan aset dan masa depan perusahaan kita, mana tahu terjadi sesuatu yang membuat kita merugi, asuransi bisa mengcover kerugian tersebut." "Benarkah, tapi preminya?" "Gak terlalu besar kok, sayang sekitar lima puluh juta perbulan," terangnya. "Apa?" Aku terpana mendengarnya. "Mas Randy, kurasa itu gak terlalu penting deh, mending uang lima puluh juta tersebut untuk kesejahteraan karyawan atau diputar kembali jadi modal, itu lumayan besar lho sayang," kataku berusaha menolaknya. "Perusahaan kita juga besar, dengan pendapatan laba 60 persen pertahun, kurasa ... Aku tak perlu menyebut nominalnya dalam rupiah, yang pastinya itu milyaran dan kamu gak perlu khawatir dengan angka lima puluh juta, sayang." "Dengar Mas, aku tahu Mas yang mengelola managemen perusahaan, namun ...." Aku sedikit bimbang, namun jika aku meneruskan perdebatan ini, maka nantinya pembicaraan akan semakin meruncing. "Percayalah, sayang." Ia menepuk punggung tanganku, "aku akan selalu menjaga amanat papamu, untuk menjaga bisnis yang sudah dia bangun dari nol, dan menjaga anak kesayangannya sayang," katanya sambil mendekat dan menciumiku. Ia mulai mengambil sandwich dan mulai mengunyah dengan bersemangat. Sedang aku masih terdiam, sambil meremas jemari dan meggigit bibir sendiri. "Jangan bimbang, ayo dong, makan," bujuknya sambil menyuapiku yang melihatku sedikit merajuk. Mau tak mau kuterima suapan itu dengan hati yang sudah demikian tak nyamannya. "Dan ya, sayang, karena tadi kamu sudah membahasnya, maka aku putuskan untuk pergi menemui kantor perusahaan itu, untuk menandatangani kontrak kami," katanya. "Lalu?" "Aku akan pergi sore nanti?" Jawabnya. "Di mana kantornya?"selidikku. "Di ... di ... jalan DI.Panjaitan," jawabnya. "Uhm, baik." Aku mengiyakan kemauannya. "Aku juga mau ke kantor, Mas," cetusku tiba-tiba yang sukses membuatnya terperangah. "A ... apa?" Ia terlihat menganga dan gugup. "Kok Mas gitu ekspresinya?" "Uhm, g-gak ada sayang, pergi saja," jawabnya terbata-bata. "Bareng kamu," kataku. "Oh, eh, ba-baik." Aku tahu ia tak nyaman, aku tahu ia tak suka, namun jika aku juga tak mengatur langkah dan bermanuver, kurasa aku akan mengalami kekalahan telak. ** Sore pukul 15:32 Aku telah berkeliling dan memeriksa seluruh kantor dari lantai bawah hingga lantai lima untuk memastikan bahwa wanita itu memang bukan bawahan suamiku, dengan dalih sidak mendadak aku meminta daftar nama karyawan, laporan keuangan dan regulasi perusahaan dengan cepat ke mejaku. "Ini, Bu, daftar transaksi keuangan perusahaan dan transaksi pribadi Pak Randy," kata Mia, asisten pribadiku yang sudah lama bekerja di perusahan kami. "Terima kasih, silakan duduk, boleh saya bertanya?" kataku sambil tersenyum ramah. "Iya, Bu." "Apakah ada transaksi yang aneh atau luput dari laporan tidak?" "Tidak ada, Bu." "Pernahkah, kamu melihat suami saya membawa tamu yang bukan karyawan di sini," selidikku. Sedang wanita yang kutanyai terlihat mengernyit heran. "Ehm, maksudku aku hanya ingin tahu saja," kataku sambik tersenyum tipis. "Tamu Pak Randi banyak, hanya saja, tapi saya kurang yakin, Bu, maaf saya takut salah." "Katakan saja, jangan ragu, saya menjaminmu," bujukku lagi. "Ya, seorang wanita sering berkunjung kemari," katanya dengan nada pelan. "Dengan tujuan apa?" "Saya tidak tahu, Bu. Karena tak seperti tamu lain yang harus mendaftar dulu di bagian informasi, wanita itu bebas melenggang ke ruangan Pak Randi kapan saja." "Benarkah?" "Iya,. Bu." Seketika amarahku terbakar, napasku sesak dan emosiku menjadi-jadi. Namun akubta menunjukkannya di depan Mia, karena aku harus menjaga imageku sebagai pemilik dari perusahaan. "Seberapa sering dia kemari," tanyaku lagi. "Sering Bu, hampir tiap hari," jawabnya. "Baik, terima kasih, kamu bisa kembali ke mejamu Mia," kataku mempersilakan. Ia menggangguk hormat lalu bangkit dan meninggalkanku dengan tumpukan map dan rasa sakit yang terhingga. Dia ... Suamiku, berani sekali dia, leluasa sekali ia memadu kasih di kantor ayahku, dan wanita itu, tak tahu malu, aku akan menghancurkan hidup dan karirnya, lihat saja nanti.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD