Marah

703 Words
Kini, aku tercenung sendiri di teras rumah, setelah kembali dari pertemuan dengan kekasih suamiku. Aku tak bisa sepenuhnya menyalahkan keadaan, karena tak mungkin ada asap tanpa api. Mungkinkah, Mas Randy memang tak pernah bahagia dengan pernikahan kita? Mungkinkah aku tidak pernah menjadi istri idamannya selama ini? Ataukah, dia telah bosan. Kuputar kembali semua ingatanku tentangnya, tentang semua ucapannya, tiap detailnya, tidak ada yang mencurigakan. Bahkan suamiku tergolong suami yang baik dan romantis. Kapan ia mulai mengkhianatimu? Sejak kapan cinta suci ini kalah pertahanan dengan setan yang mengembuskan jerat-jerat dan hasutan agar dia berpaling dan jatuh ke pelukan wanita lain. Aku sungguh tak habis pikir. Tapi jujur wanita cantik yang bernama ... ah, hatiku nyeri ketika hendak mengeja nama benalu yang telah menggerogoti mahligai kami. Elea, ya, itu namanya. Suara hentak kaki Mas Randi yang memasuki rumah dan terdengar di antara keheningan membuatku sedikit tersentak dan buru-buru membenahi diri dan wajahku yang sedikit kusut. "Mas ...." Aku menyapa dengan senyum paling manis yang bisa kuberikan. "Hai, Melda," balasnya sambil meletakkan jasnya ke gantungan khusus. "Mas udah makan? Aku siapkan dulu ya," tawarku lembut sambil beranjak menuju dapur berniat menghangatkan makanan dan menghidangkannya ke meja makan. "Iya, sayang, makasih." Ia juga membalas dengan senyum tipis, mungkin berusaha bersikap wajar dan tanpa beban padaku. Luar biasa, aku telah terkecoh selama ini. ** "Mas, tadi aku jalan-jalan ke pusat kota," kataku mulai bercerita. "Hmm, terus?" gumamnya sambil menyendokkan nasi ke mulutnya dengan semangat. "Aku ketemu sama rekan kamu yang bernama Elea," ucapku dengan nada dan wajah yang wajar. "Uhuk ... Apa?" Ia nampak terkejut hingga terbatuk-batuk. Melihatnya terlihat kesulitan segera kuraih segelas air dan kusodorkan padanya. "Kenapa, Mas? kok terkejut, sih?" "Uhm, eh, enggak kok." Ia terlihat makin gugup dan gelisah dari gestur tubuhnya, "terus ngapain aja kalian berdua?" tanyanya menyelidik. "Gak ada, cuma ngopi bareng." "Elea ga ngomong apa-apa?" Lanjutnya. "Enggak tuh, cuma cerita masalah kerjaan aja. Lagian kami ketemunya cuma sebentar," kataku sambil terus makan tapi diam-diam memperhatikan bahasa tubuhnya dengan ekor mataku. Suamiku terlihat lega dari embusan napasnya, ia tersenyum kecil dan melanjutkan makannya. "Tapi ... Aku penasaran, seberapa dekat Mas dengan wanita itu?" selidikku. Ia mendongak seketika, terdiam beberapa detik lalu tertawa lepas. "Hanya hubungan profesional, tidak lebih, kenapa kamu nanya, kamu curiga heh?" Ia berusaha menggoda dengan menjawil daguku. Kutepis tangannya pelan, "Hubungan profesional pun bisa jadi lebih mas," kataku. "Maksudmu?" "Jadi sebuah hubungan spesial mungkin, banyak kan contohnya, yang rekan kerja lalu menikah." "Tapi itu tak berlaku padaku," katanya pura pura cuek. "Oh ya? Siapa yang bisa menjamin?" desahku dengan hati yang mulai tak nyaman dan kelebatan bayangan mereka ketika b******u kini hadir dan menari-nari di kepalaku. Ia meraih tanganku dan menggenggam jemarinya kuat. "Tapi aku punya hal yang akan mencegahku untuk berpaling dari godaan paling indah sekali pun." "Apa itu?" Mataku mulai memanas, kabur oleh embun-embun yang akan melelehka buliran panas kekecewaan ini. "Cintamu." Ia mendekat dan mencium keningku lembut. "Aku sangat mencintaimu, setiap waktu dan seumur hidupku," katanya menyakinkan. Aku sontak tertawa di hadapannya, mungkin baginya itu tawa bahagia, tapi bagiku itulah tawa paling pahit selama rentang waktu kehidupanku di dunia. Menyemai cinta, menabur kasih lalu apa yang kemudian kutuai setelah ribuan purnama berbagi hari dengannya selain pengkhianatan dan rasa sakit yang demikian mengoyak hingga sudut terkecil jiwa ini. Ah, perih. Entahlah, aku mungkin terlalu bodoh dannjuga lemah. Sesungguhnya ingin kurobek wajahnya separah ia telah merobek hatiku. Ingin kutusuk-tusuk hatinya dengan duri menyakitkan sebagaimana ia menyakiti perasaanku. Ingin berteriak, marah dan menghajarnya namun aku ... Aku tak bisa melakukannya. Aku mencintainya, begitu tulusnya hingga aku tak mampu bahkan untuk menyinggung perasaannya. "Oh ya, sayang, melihat pangsa dan peluang pasar yang semakin hari semakin membaik, kurasa keuntungan perusahaan Papa mertua semakin meningkat," ucapnya ketika hendak bangkit dari meja makan. "Lalu apa yang akan Mas lakukan?" "Memindahkan semua keuntungan itu pada rekeningmu," katanya mantap. "Yang benar saja, itu uang perusahaan," bantahku. "Perusahaannya milikmu, istriku," timpalnya sambil meraih bahuku dan sekali lagi memberiku ciuman lembut di bibir. "Aku mencintaimu," bisiknya. "Aku juga," balasku dengan air mata meleleh di bahunya. "Terima kasih atas semua dukunganku sehingga aku bisa sukses hingga sekarang, sayang." "Ya ...." Dan sebaliknya, apa yang telah ia lakukan ketika kesuksesan itu dalam genggamannya? Mengkhianatiku. Jangan lupa subscribe ya ❤️
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD