Bab 4

2583 Words
Sholat coi sebelum lo disholatin. Mau?                                                                                              * * *             Jam istirahat baru saja dimulai 5 menit berarti masih ada waktu sekitar 25 menit lagi untuk sekedar bersantai, makan, ataupun sholat Dzuhur bagi yang melaksanakannya. Naya, Davin, dan yang lainnya sekarang masih berada di dalam kelas. Mereka masih enggan untuk keluar. Naya menoleh kebelakang dia melihat jam bundar yang tergantung indah di dinding kelas. Jarum jam menunjukkan pukul 12 lewat 5, itu artinya istirahat kedua sedang berlangsung.   Ia melihat ke arah Davin yang sibuk dengan ponselnya, kemudian ia membalikkan badan menatap kearah belakang mendapati  Betty dan juga Raka yang teridur. Melihat itu Naya menghela nafasnya jengah. Tangannya terulur untuk membangunkan sahabatnya---Betty. "Bet bangun woi, molor aja kerjaan lo. Sholat yuk," ajak Naya sambil menepuk-nepuk lengan Betty pelan. "Hmm, 5 menit lagi Nay. Nanggung nih," ucap Betty dengan ogah-ogahan. "Betty!" tegas Naya sehingga membuat gadis itu menegakkan badannya, ia menatap Naya dengan mata yang sayup-sayup khas orang baru bangun tidur, "Apaan sih neng, ngantuks aku tu," jawab Betty sambil mengucek-ucek kedua matanya. "Sholat coi sebelum lo disholatin. Mau?" tanya Naya yang membuat Betty bergidik ngeri. "Serem lo, Nay, iya gue sholat. Yuk!" Betty berdiri dari duduknya. Davin yang melihat pergerakan Naya yang melangkah pergi membuatnya mengernyitkan dahi bingung, "Mau ke mana?" tanyanya. "Sholat," jawab Naya, "Oh, ya udah gue ikut." ujar Davin sembari memasukkan ponselnya ke dalam saku celana kananya. Raka dan Rafly yang mendengar langsung bangkit dari tidurannya, "Ikut dong!" "Ayuk!!" jawab Naya dengan semangat. Sesampainya mereka di masjid sekolah, kelima orang itu langsung mengambil wudhu dan bergegas memasuki mesjid. Naya dan Betty memakai mukenanya sedangkan Davin, Raka, serta Rafly duduk dilantai beralaskan karpet sajadah. Menunggu iqomat. Suara iqomat yang terlantun dengan indah membuat mereka semua langsung berdiri dan mulai memfokuskan pandangan serta pikiran mereka untuk melakukan ibadah.     * * *   "Lo sama Davin masih deket banget ya, Nay?" tanya Betty sambil melipat mukenah yang telah ia selesai pakai tadi. Naya menatap Betty bingung, "Deket? Gue kan sama Davin deket dari kecil. Gimana sih," Naya terkekeh. Ia berdiri dan kemudian berjalan menuju rak tempat menaruh mukenah bagi siswi. Hal itu diikuti oleh Betty, "Bukan gitu. Maksud gue tuh, lo kan ada perasaan sama Davin, tapi Davin nggak tahu. Lo nggak ada niatan buat ngomong gitu ke dia?" tanya Betty serius. Naya tersenyum pandangannya menerawang tertuju pada seorang laki-laki yang tengah tertawa bersama teman-temannya, "Biarin aja perasaan gue tumbuh dengan sendirinya Bet, lagian gue yang salah. Awalnya kan kita cuma sahabat eh guenya maruk banget pengen dapetin Davin," kata Naya. Matanya memburam, ia ingin menangis tapi itu bukan Naya, ia terkenal sebagai  gadis  yang galak dan tegar. Tidak mungkin dia tiba-tiba menangis karena seorang laki-laki yang merupakan sahabatnya dan juga sekaligus masalah hati. Namun tidak ada salahnya kan untuk menangis? Apabila tidak kuat lebih baik menyerah atau hanya mengekspresikannya lewat tetesan air mata. Betty merasa kasihan terhadap sahabatnya tersebut, dia mengelus pundak Naya pelan dan menenangkan. Seakan Betty juga ikut merasakan apa yang sekarang tengah dirasakan oleh Naya, "Tenang aja, pasti suatu saat Davin bakal tahu kok. Semoga dia nggak salah paham sama lo, perasaan suka dan cinta antara sahabat cewek dan cowok itu sangat susah banget dihindari," jelas Betty. "Iya semoga aja, Davin nggak marah sama gue," ucap Naya, "biarin ini jadi rahasia hidup gue," imbuhnya. "Semangat Naya. Ya udah ke kantin yuk laper nih," ajak Betty. Naya tersenyum. "Ayuk!" jawab Naya dengan penuh semangat. Kedua gadis itu pergi menuju kantin, saat mereka asik berjalan tiba-tiba ada yang merangkul pundak Naya dengan begitu mesra. Jantungnya langsung berdetak lebih cepat dari tadi, jujur sekarang dia tengah menahan grogi mati-matian di hadapan Davin. Kenapa gini amat sih? Perasaan dulu baik-baik aja jantung gue. Batin Davin yang dengan tiba-tiba tangannya terulur untuk merangkul pundak cewek itu.   Gila nih anak, gatau apa kalau gue hampir aja jantungan?! Batin Naya dongkol. "Anjir, ngapain lo rangkul-rangkul gue? Modus ya lo?" kata Naya berusaha menyembunyikan raut wajahnya yang gugup. Terlihat Davin menahan tawanya, "Haha gue modus sama lo? Idih nggaklah ya," celetuk Davin dengan terus tertawa. Karena kesal Naya melepaskan rangkulan tangan Davin dari pundaknya. "Ngapain kok dilepas?" tanya Davin bingung. "Nggak suka lo rangkul-rangkul kayak gitu. Berasa kayak anak monyet  glendotan sama gue," kesal Naya dengan menekuk wajahnya. Padahal dalam hati dia bersorak senang dan tidak mau melepaskan rangkulan dari Davin, tapi karena mendengar jawaban cowok itu tadi membuatnya jauh seketika. "Cie marah cie, lo marah makin cantik Nay sumpah," godaan Davin barusan mampu membuat semburat merah di kedua pipi Naya. "Plis deh Dav, gombalan lo tuh receh banget. b*****g lo godain gitu udah nggak level!" serobot Betty. "Eh petasan banting, lo nimbrung aja deh. Mending lo sana jauh-jauh deh," usir Davin. Naya, Davin, Betty, Raka, dan Rafly duduk dalam satu meja. Tentu saja  Naya dan Davin duduk bersebelahan, "Nay, gue mau tanya seandainya lo suka sama gue apa yang bakal lo lakuin?" pertanyaan yang terlontar dari mulut Davin hampir saja membuat Naya menyemburkan minuman yang ada di dalam mulutnya, dia kaget dengan pertanyaan yang terlontar begitu tiba-tiba.   "Ha? A--apa?" tanya Naya gugup. "Ya gimana cara lo supaya bisa deket sama orang yang lo suka?" tanya Davin ke Naya. "Pepet aja," sahut Raka. "Diem lo, gue nanya Naya bukan lo," ucap Davin sewot. Naya menggigit bibir bawahnya, dia bingung mau menjawab seperti apa pertanyaan dari Davin tersebut, "Kalau gue suka sama lo, gue bakal perjuangin lo," jawab Naya. "Oh, gitu ya?" jawab Davin sambil menggosok dagunya menimang jawaban yang diberikan oleh Naya, "Oke gue bakal terima jawaban lo." "Emang lo kenapa nanya gitu?" tanya Naya bingung sekaligus penasaran.   "Biasa gue kan ganteng. Banyak yang naksir dong, tapi gue cuma suka sama satu cewek doang and you know what I mean," kata Davin dengan kerlingan matanya. Raka melempari Davin menggunakan kulit kacang, "Sok ganteng lo najis. Gantengan juga gue elah." ucap Raka. Sedangkan Naya ia hanya mampu menyembunyikan rasa kecewanya, ternyata Davin sudah memiliki seseorang yang dia sukai. Dan ia? Ia hanya bisa menyukai Davin dalam diam untuk kesekian kalinya sampai waktu yang tidak diketahui oleh dia dan Davin. Entah itu akhir yang manis atau akhir yang pahit yang jelas Naya menunggu. Menunggu sebuah perasaan yang tak mungin terbalaskan. "Semoga cewek pilihan lo itu bener-bener tulus sama lo," ucap Naya dengan mengukir senyum terpaksanya. Jujur hatinya merasa sakit seperti mendapatkan sebuah goresan benda tajam, namun dia harus bisa melawan rasa sakit tersebut walaupun hanya seorang diri. "Pasti, Nay," jawab Davin penuh keyakinan. Ponsel Davin berbunyi menyita seluruh perhatian anak-anak yang duduk di meja kantin tersebut. Dengan cepat Davin melihat siapa yang mengiriminya pesan. Saat Davin membalasnya laki-laki tersebut sempat tersenyum membuat Naya penasaran. Namun rasa penasaran itu segera dia tepis. Kapan lo prioritasin gue, Dav? "Eh gue duluan ya, ada urusan," pamit Davin. "Gaya lo, bilang aja mau pedekate," celetuk Rafly. Davin tertawa membuat hati Naya menghangat sekaligus sakit hati dalam satu waktu, "Sukses brother." Semangat Naya. Dan sukses buat hati lo, Nay, lo bisa! Ini mah kecil. Batin Naya menyemangati dirinya sendiri. "Oke, Nay, thanks. Oh ya, nanti lo pulang sama gue, nggak menerima penolakan!" ucap Davin sebelum dia pergi. Seakan-akan lo ngasih harapan ke gue lagi, Dav. "Haha siap," jawab Naya pura-pura baik-baik saja. Seperginya Davin, Betty langsung menyenggol lengan Naya ia berbisik pada gadis yang ada disampingnya. "Jangan lo paksain Nay kalau nggak bisa, itu bisa ngelukain hati lo sendiri tahu," ujar Betty sembari menatap wajah sahabatnya dengan prihatin. "Udah gapapa," balasa Naya, "selagi gue masih bisa jalanin aja." "Lo berdua jangan bisik-bisik deh," kesal Rafly. "Suka-suka kita dong, kepo aja lo!" sentak Betty.       * * *     Naya akhir-akhir ini lebih suka berdiam diri di kamar, dia lebih memilih membaca novel yang ia beli beberapa waktu yang lalu bersama dengan Davin. Kakaknya menjadi khawatir saat dia memasuki kamar adiknya dan melihat mata dan hidung Naya sembam akibat menangis. Nia sempat mengadukan sifat Naya yang aneh kepada Rere dan Dion. Ketika Naya ditanya oleh kedua orang tuanya dia menjawab, "Apaan sih? Orang Naya lagi baca novel yang judulnya Friend Zone, ini novel buat Naya baper sampai nangis kejer." Nia dan kedua orang tuanya akhirnya bisa bernafas lega saat putrinya itu tidak kenapa-kenapa. Tiba-tiba ponsel yang Naya letakkan di sampingnya itu bergetar mengingat dia tadi men-silent agar tidak ada bunyi-bunyi yang membuatnya tidak fokus dalam membaca. Vennadn, batin Naya saat dia melihat nama dari sang penelepon. Dengan cepat Naya mengangkat ponsel itu dan menempelkannya ke telinga. "Hallo? Ada apa, Ven?" tanya Naya sambil menutup novel dengan pembatas yang ada dan setelah itu dia letakkan di atas nakasnya. "Lo mending cepet ke sini Nay, si Davin babak belur," ucap Venna dari sebrang telfon. "Oke gue kesana sekarang," balas Naya dan setelah itu dia menutup kembali ponselnya. Ngapain lagi sih lo, Dav? Bikin gue sport jantung mulu deh perasaan. Sebelum Naya benar-benar pergi, dia melakukan rutinitasnya, yaitu menuliskan kesimpulan yang ia baca di novel itu. Apabila diam lebih baik, maka aku akan melalukan itu. Namun diamku bukan karena aku berpaling darimu, justru diamku sekarang adalah bagaimana caraku untuk mengangumimu tanpa membuatmu tahu. Yaitu, mengagumi dalam diam. Setelah menuliskan itu Naya bersiap-siap untuk pergi ke rumah si kembar. Dengan sedikit tergesa-gesa dia mencari keberadaan anggota keluarganya namun hasilnya nihil, dia tidak menemukan siapa-siapa di sana. Naya memutuskan untuk mengirim pesan kepada Rere---Mamaya bahwa dia akan pergi ke rumah Davin. Setelah memberi kabar kepada orang tuanya, Naya pun langsung berangkat menuju ke rumah cowok itu. Andaikan Naya bisa mengatur perasaan dan sekaligus  memerintahkan hatinya untuk tidak memiliki perasaan lebih kepada Davin, maka dia akan melakukannya dari dulu. Namun sayangnya tidak bisa. Itu terlalu susah dan mustahil.     * * *   Sesampainya di rumah si kembar, Naya kemudian memarkirkan mobilnya di pekarangan rumah yang terlihat sangat besar dan luas. Naya turun dari mobilnya dan masuk ke dalam rumah tersebut. TOK TOK TOK Naya mengetuk pintu rumah besar itu. Tidak lama kemudian pintu rumah itu terbuka dan menampilkan seorang wanita paruh baya yang Naya sudah kenal dengan sangat baik, yaitu Alena. Alena adalah Mama Davin. Dia adalah wanita cantik dan baik hati, sangat  perhatian kepada anak-anaknya dan juga Naya. "Udah sampai, Nay? Yuk masuk," ucap Lena kepada Naya dan diangguki olehnya. "Apa kabar, Tan?" tanya Naya sambil menyalami tangan Alena. "Alhamdulilah baik, kamu sendiri?" tanya Lena balik. "Baik juga, Tan. Oh iya gimana keadaannya Davin?" tanya Naya khawatir. "Itu lagi di atas sama Venna yang mau ngobatin lukanya tapi si Davin tetep gak mau," kata Lena sambil mengajak Naya berjalan menuju ruang tamu. "Naya boleh ke dalem nggak, Tan?" tanya Naya memastikan. "Kamu ini pakai tanya, ya jelas boleh dong saying, ya udah sana gih," suruh Lena. Memang kedua orang tua Davin dan Venna itu sangat baik kepada Naya. Bagi mereka Naya merupakan anaknya juga dan di keluarga Naya si kembar itu juga sudah dianggap seperti anaknya sendiri. Sesampainya Naya di dalam kamar milik Davin, dia kemudian langsung masuk dan benar di sana ada Venna yang sedang membersihkan luka kembarannya itu dengan amat tidak ikhlas. "Sakit, nyet! Lo mah malah nyiksa gue," ucap Davin dramatis. Mungkin kedua anak kembar itu belum menyadari  kedatangan Naya. "Habis lo sendiri gak bisa berantem pakek sok-sokan!" ucap Venna dengan sebal. Ia mengusapkan kapas ke wajah Davin dengan kasar, terlihat betapa tersiksanya wajah Davin yang penuh dengan luka lebam maupun luka sobek pada sudut bibirnya. "Bukannya gue sok-sokan, bayangin aja gue satu mereka ada 10," jawab Davin tidak mau kalah. "Aduhh!" ringis Davin ketika Venna menekan luka lebamnya dengan keras. "Sukurin! Besok berantem lagi ya, Dav? Kan enak berantem!" ucap Venna jengah. "Ehemm," dehem Naya, kedua orang itu langsung menoleh ke arah Naya yang sudah berdiri dengan manisnya di ambang pintu. "Nay, lo mending obatin gue," pinta Davin sambil memohon kepada Naya. "Kenapa? Kan Venna udah ngobatin lo?" tanya Naya. "Dia ngobatin gue pakek dendam terselubung! Jadi lo aja ya? Pliss," ucap Davin dengan menampilkan wajah melas andalannya. Hanya kepada Naya ia menampilkan ekspresi itu dan dengan tidak tega Naya membantu laki-laki itu membersihkan lukanya, Venna pun akhirnya pergi meninggalkan kedua orang tersebut. "Lo ngapain berantem sih, Dav?" tanya Naya sambil membersihkan luka yang ada di pipi Davin. Tatapan Davin sedari tadi tidak lepas dari manik wajah Naya. Kenapa sih sebenernya jantung gue? Masa iya kena penyakit jantung? batin Davin ketika merasakan jantungnya berdetak lebih cepat ketika dia bersama Naya. "Gue tadi nolongin orang," kata Davin. "Siapa?" "Oranglah," ucap Davin begitu menyebalkan menurut Naya. "Gue tahu orang ya kali bekicot!" Karena sebal Naya pun menekan luka yang ada di pipi Davin dengan kesakitan cowok itu kemudian mengaduh untuk kesekian kalinya. "Salah sendiri gue gak dikasih tahu!" ucap Naya sambil memanyunkan bibirnya. Lucu, batin Davin tapi dengan cepat dia menghilangkan lamunan tidak jelasnya itu. "Besok gue kenalin ke dia, jadi lo gak akan kepo lagi," kata Davin. "Beneran?" tanya Naya memastikan. "Iya," balas cowok itu sambil menatap manik mata Naya serius. Mata mereka saling bertatap. Gue gak nyangka lo punya mata seindah itu, batin Davin dengan masih menatap Naya. Kapan lo bisa buka hati lo buat gue, Dav? batin Naya. Mereka berdua saling beradu pandang tanpa ada yang berniat memutuskan kontak matanya. Diam-diam di balik pintu ada dua manusia yang melihat adegan itu, ada rasa senang yang menyelimuti perasaan mereka. "Mah, setuju nggak kalau Naya jadian sama Davin?" tanya Venna kepada Lena. "Banget, tapi kayaknya  kembaran kamu itu nggak bisa nyadarin perasaannya sendiri deh," Lena menatap kedua anak muda yang masih labil akan perasaan mereka itu dengan helaan nafas pasrah. "Iya Mah, Venna aja gemes pengen nonjok si Davin, dia itu terlalu mementingkan status sahabat! Bukan perasaan hati mereka yang sama-sama saling menginginkan untuk bersama!" geram Venna. Bahkan gadis itu meninjukan kepalan tangan sebelah kirinya ke tangan ke telapak tangan kanannya. "Ada waktunya buat Davin bisa mangakui hal itu, Ven. Ya udah Mama masuk dulu, ntar kebablasan itu anak," Lena memasuki kamar Davin lagi, Venna mengangguk saat menjawab ucapan Mamanya. Kini wanita paruh baya itu berdiri di ambang pintu. "Ehemm," dehem Lena ketika sudah memasuki kamar putranya lebih mendekat di mana Davin dan Naya berada. Sontak kedua orang yang saling pandang tersebut langsung mengalihkan pandangan mereka. Tidak disadari keduanya saling tersenyum kikuk saat mereka tertangkap basah oleh Lena karena saling tatap. "Kenapa enggak jadian aja sih kalian?" tanya Lena sembari mengukir senyum untuk kedua dua orang itu. Lena berjalan mendekati mereka berdua. "Mama apaan sih? Mana ada kita jadian? Kita kan cuma sahabat dan akan tetap menjadi sahabat," kata Davin setengah gelagapan. Rasanya Davin ingin tertawa atas pertanyaan konyol dari mamanya. Namun berbeda dengan Naya, diam-diam gadis itu berdoa agar apa yang dikatakan Lena itu bisa terwujud. Tetap sahabat, Nay, gak lebih inget itu! batin Naya tersenyum pongah. Kalau kalian bertanya bagaimana raut wajah Naya jelas saja dia ingin menangis tapi dengan mati-matian ia menahan hal itu dan memperlihatkan senyumnya walaupun itu fake smile-nya. "Iya, Tan, kita akan tetep sahabatan kok gak lebih," balas Naya. Kalau orang yang peka dia pasti tahu bahwa suara Naya saat itu bergetar. Ia menginginkan jawaban yang lebih. Lena menghembuskan nafasnya dia tidak bisa memaksakan kehendak pada anaknya itu, walaupun dia mengetahui bahwa Naya itu mempunyai perasaan lebih terhadap anaknya. Tapi dia hanya bisa diam. Sabar ya nak, mungkin ini bukan waktu yang tepat untuk kalian bersatu, ingat Tuhan mempunyai rencana yang sangat indah buat kalian. Batin Lena. "Ya udah, Mama udah buatin kalian makanan, ke bawah gih nanti keburu dingin," Lena berpesan, ia menatap wajah putranya dengan miris, "Sakit banget ya? Makanya jangan berantem." "Iya Mah, sakit, masa kena tonjok enak," Davin menggosok lengannya dan menyentuh pipinya yang lebam. Terasa ngilu dan sedikit sakit. "Iya Tan," jawab Naya dan setelah itu Lena pergi meninggalkan Naya dan Davin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD