Chapter 1

1159 Words
Lembut angin menyentuh wajah, beri kesejukan dengan satu titik nyaman dalam diri. Tapi sejak sudut itu memunculkan kamu, entah kenapa angin yang datang pun mampu dikalahkan oleh hadirmu. ****** Teriknya sinar mentari siang itu membuat bulir-bulir keringat mengalir dari pori-pori seorang gadis berkerudung biru yang tengah menunggu bis yang akan membawanya kembali menuju rumah keduanya setelah rumahnya yang sebenarnya. Sebut saja nama gadis itu Deandra Oktaviani. Dalam kesehariannya, dia lebih suka dipanggil dengan sebutan Dea. Dea mempunyai fisik yang bisa dikatakan nyaris sempurna. Kulit wajah yang putih bersih tanpa celah jerawat, bibir tipis dengan warna pink alami dan lingkar wajah bulat yang membuatnya terlihat sedikit chubby, namun tidak gemuk. Hanya pipinya saja yang sedikit berisi. Dalam keseharian, Dea terkenal dengan gadis periang dan suka tersenyum. Namun jika ada yang menjahilinya, jangan tanyakan bagaimana Dea mengeluarkan segala umpatan kasar yang sudah ia pelajari semenjak kecil. Hidup tanpa orang tua membuatnya banyak belajar tentang kerasnya hidup. Termasuk dalam urusan mencari uang. Sejak memilih berhenti sekolah, Dea sudah memutuskan untuk sibuk dengan dunia kerja. Namun bukan dunia kerja yang orang-orang bayangkan. Seperti duduk di kantoran atau menjadi wanita karir. Bukan sama sekali. Kalian pikir saja, siapa yang akan mau menerima anak muda yang bahkan SMA saja ia tak lulus. Dea hanya seorang gadis pekerja keras dimana paginya, ia akan menjadi seorang pelayan di sebuah Cafe, dan siangnya Dea akan beraktivitas di Panti Jompo. Jika bisa ia jujur, tubuhnya sangat lelah sebenarnya, harus berlarian mengejar waktu agar tak terlambat. Karena keduanya sama-sama penting baginya. Seperti saat ini, bahkan ia tak peduli panasnya mentari. Mulai dari selesai bekerja di cafe, Dea berlari menuju halte namun sialnya Bis tak kunjung jua datang. Ia kembali menarik sapu tangan yang ia bawa di dalam tas. Dea sudah seperti anak ingusan yang selalu membawa kain tipis itu kemana-mana. Menggunakan tisu bukan ciri khas Dea, karena gadis itu lebih memilih menabung daripada menghamburkan uang hanya untuk selembar kertas tipis penyerap air yang sekali pakai langsung buang. Sungguh, itu bukan Dea. Untuk kesekian kalinya gadis itu kembali melirik jam kecil yang melingkar di pergelangan tangannya. Ia memukul-mukul pahanya sebagai ungkapan kecemasannya. Bahkan ia menggoyangkan kakinya sembari berjinjit dalam duduknya. Ia berdiri dan kembali melirik ke ujung jalan,  "Haaah, sudah jam dua. Bis nya mana ya?." Gumannya resah yang meluncur dari bibirnya. Di tempat Dea berdiri sekarang, kebetulan hanya ada dirinya yang tengah menunggu angkutan umum tersebut. Mungkin karena juga masih jadwal kerja. Jadilah tak terlalu banyak yang berdiri di halte. Ia kembali duduk di kursi tunggu halte. Wajah Dea tampak begitu lelah. Hari ini pelanggan begitu ramai berdatangan. Katanya karena ada kunjungan dari sebuah kampus ternama di Bandung, dan mereka berbondong-bondong datang hanya untuk duduk santai serta menikmati secangkir kopi dan sedikit cemilan di cafe tempat Dea bekerja. Mungkin karena kebetulan cafe itu juga berada di dekat kampus favorit di daerah Jakarta, dan jika mengingat ketenaran dan nikmatnya kopi di sana, mungkin juga itu bisa menjadi satu alasan kenapa cafe tersebut begitu diminati. Khususnya untuk para gadis. Karena banyak karyawan laki-laki yang mempunyai wajah mumpuni di sana. Kembali pada Dea, seperti yang tadi dikatakan, jika selain cafe, Dea bekerja di panti jompo. Dan hari ini, setelah dari cafe, Dea harus kembali berangkat kerja ke panti jompo. Nama panti itu "Angel House". Entah kenapa diberi nama Angel House. Mungkin karena disana di isi oleh malaikat-malaikat tanpa sayap yang dibuang oleh anak-anak mereka. Jujur, Dea terkadang menangis melihat para orang tua disana. Saat ia duduk-duduk santai menemani mereka, ada saja cerita dari mereka yang membuat hati seketika hancur, bahkan mampu membuat Dea menyumpahi anak dari para lansia tersebut. Tega sekali mereka membuang kedua orang tua yang seharusnya mereka jaga dan sayangi dengan baik serta mereka rawat. Padahal jika mereka mau berbakti, Allah juga sudah menjanjikan surga untuk mereka tinggali nantinya. Tapi entahlah, seolah buta atau pura-pura sibuk, Mereka mampu menelantarkan orang tua mereka begitu saja. Mereka bahkan melupakan bagaimana orang tua mereka membesarkan mereka. Kenapa mereka bisa sedurhaka itu? Padahal kesuksesan yang mereka dapatkan saat ini tak lepas dari peran dan do'a orang tua mereka tersebut. Mengingat semua orang tua yang ada di sana, lagi-lagi air mata Dea terjatuh membasahi pipi lembutnya. Seolah air mata itu sudah di atur untuk terus menetes jika berhubungan dengan orang tua. Pasalnya diumurnya yang menginjak usia dua puluh dua tahun, Dea sudah merasakan bagaimana hidup tanpa orang tua. Ayah dan ibunya meninggal saat dia kelas dua SMA. Meninggalkan dia sendiri tanpa adanya sanak saudara yang mau menerimanya. Apalagi kisah hidupnya yang tak lepas dari kata kesakitan. Tapi tak masalah.! Baginya itu hanya soal waktu. dia akan bersabar dan akan terus berjalan maju tanpa mau menatap masa lalu yang akan menjatuhkannya sejatuh-jatuhnya. Dan ia akan berjuang terus untuk hidupnya. ***** Cukup lama menunggu, Bis yang ditunggu Dea akhirnya datang. Untung penumpang tak terlalu ramai, jadi ia bisa menempati bangku kosong yang ada di dekat jendela bagian belakang. Itu tempat favorit Dea jika berada di dalam bus. Karena ia bisa menatap luas ke depan dan juga bangku belakang membuatnya tubuh kecilnya tersembunyi, dan ia suka itu. Dea membuka jendela bus selebar mungkin lalu menyandarkan dirinya di pegangan kaca yang melintang di jendela untuk menikmati kenyamanan angin. "Neng Dea. Ongkosnya Neng." Sapa kernek Bus saat melihat Dea bersandar nyaman. "Eh Mang Arif. Jadi kernek bus sekarang?" tanya Dea penuh kesopanan dan senyum yang ramah. "Iya Neng, lumayanlah dari pada nganggur di rumah dan dicerca bini terus neng..." Jawab pria berusia tiga puluhan itu sembari menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Dea tertawa mendengar kalimat Mang Arif dicerca istrinya tersebut. "Nggak apa-apa itu mah Mang Arif. Yang penting halal. Lagian kalau di rumah, nggak dapat uang, makan dari mana kan mang? " "hehehe. Iya Neng, Alhamdulillah." jawab Mang Arif gugup." Oiya, ongkosnya Neng." "eh iya, sampai lupa. Ini Mang. Maaf ya Mang. Hehehe" "Iya nggak apa-apa Neng. Keasikan cerita juga. Ya udah neng, saya lanjut minta ongkos dulu ke depan.." "Oh iya Mang, semangat ya mang kerjanya.." "Hehehe..makasi Neng.." Setelah mengembalikan lebih uang Dea, pria yang tadi dipanggil Mang Arif oleh Dea itu kembali berjalan untuk meminta ongkos penumpang yang lain. Sedangkan Dea memilih melirik keluar jendela sembari menikmati angin luar yang menerpa wajahnya. Memejamkan mata sejenak lalu membukanya kembali. Dea membuka tasnya dan mengeluarkan ponsel yang dililiti kabel Headset putih yang biasa ia gunakan saat sedang bosan. Melepaskan lilita, Dea lalu memasangkan kedua Speaker headsetnya pada kedua telinganya dan memutar lagu yang akhir-akhir ini sering ia dengarkan. Sembari menikmati perjalanan menuju 'Angel House', Dea bergumam mengikuti lirik demi lirik yang tengah dilantunkan lewat ponselnya. Entah kenapa ia menyukai lagu ini sekarang. Kalian tahu lagu "Harus Memilih" dari Widi Nugroho?. Tak ada hubungannya dengan perasaan yang sedang ia rasakan, namun lagu ini seolah mampu membuatnya terhipnotis. Apalagi ada lirik yang berbunyi 'Tuhan cukup-cukup sudah, aku pun ingin bahagia'. Haaaah! Bicara soal kebahagiaan. Jujur Dea sungguh ingin bahagia. Bahagia seperti manusia yang lainnya. Tapi jika ia terlalu meminta, takutnya Allah akan menganggapnya tak mau bersyukur. Tidak! Ia bersyukur dengan hidupnya. Karena bagaimana pun ia punya semuanya. Saat Allah mengambil orang tuanya darinya, Allah menggantikan dengan puluhan orang tua yang ada di 'Angel House'. Kurang bahagia apalagi itu? Iya kan?. Jadi,  ia harus semangat. ***** Jangan lupa klik lambang Love ya..^^
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD