Chapter 2

2406 Words
Setengah jam pun ia lewati untuk bisa sampai di panti dan kembali bertemu dengan orang-orang di sana khususnya nenek Risma. Wanita tua yang sudah berusia tujuh puluh lima tahun. Entah kenapa dari semua orang tua yang ada di sana, Dea begitu tertarik untuk bisa dekat dengan Nenek Risma. Entahlah. Dea berjalan menyusuri koridor dan masuk ke dalam ruangan kecil yang menjadi kantor para pekerja. Sebenarnya bukan kantor juga, mungkin hanya tempat untuk berkumpul sesama pekerja. "Gimana hari ini?" tanya Dea pada salah seorang rekanya yang tengah sibuk bermain ponsel. "Tak ada yang spesial. Hanya saja nenek Risma masih suka sendirian dan tak mau bergaul." Dea terdiam lesu saat mendengar penjelasan tersebut. Ia berjalan menuju lokernya lalu mengambil sebuah buku catatan miliknya. Mungkin lebih tepatnya seperti diary. Setelah memasukkan diary tersebut ke dalam tasnya, Dea langsung pamit untuk keluar menemui nenek Risma. Dea kembali menelusuri koridor dan berlalu menuju taman. Ia tahu nenek Risma suka duduk- duduk di taman kecil yang ada di Angel House. Mungkin di sana banyak bunga-bunga dan juga kolam air mancur yang berisi beberapa ekor ikan hias. Dea tersenyum manis saat dari kejauhan ia bisa melihat punggung nenek Risma yang tengah duduk di bangku taman. Dengan semangatnya, Dea berlari mendekati nenek tersebut, "Assalamu'alaikum Nenek." Sapa Dea dengan senyum terbaiknya. Risma melirik ke arah sampingnya dan mendapati Dea ada di sana. Risma yang disapa, bukannya menjawab, wanita itu justru mendengus melihat kehadiran Dea yang kini sudah berpindah dari samping menuju depannya dan mereka kini saling berhadapan. Ini dia. Ini yang membuat Dea semakin tertarik mendekati Nenek Risma. Karena wanita itu selalu mendengus saat Dea menyapanya. Padahal dengan penghuni panti yang lain, Dea baik-baik saja bahkan diterima dengan baik. ia selalu bercanda dan tertawa bersama dengan orang tua yang ada di sani. Kecuali Nenek Risma tentunya. Dan itulah yang membuat Dea tertantang untuk semakin jauh mengenal nenek Risma. Ia yakin, usaha tak akan menghianati hasil. Ia pasti akan bisa dekat dan berteman dengan nenek Risma. "Nenek lagi apa di sini?" tanya Dea berbasa-basi. Siapa tahu kali ini ia beruntung. Namun sepertinya, Dea harus bekerja lebih giat lagi. Karena untuk kesekian kalinya ia didiami oleh Risma. "Nenek sudah makan?" tanya Dea lagi tanpa lelah walaupun selalu ditolak. "apa Nenek mau sesuatu? Nenek mau minum?" Lagi-lagi tak dijawab. Risma justru membuang muka dari Dea yang serius bertanya dengannya. "Sudahlah Dea, untuk apa mengajak bicara wanita itu. Hanya membuat hati keki saja. Mending bersama kami saja di sini." Teriak Opa Herman yang sedang berkumpul dengan teman-temannya yang lain. Dea tak terlalu menanggapi. Ia hanya tersenyum ramah mendengar ucapan Opa Herman dan kembali mengarahkan wajahnya pada Risma yang kini tengah melirik ke arahnya juga. Dea tersenyum lembut pada Risma, ia menggenggam jemari Risma yang terasa dingin. "Nenek mau sesuatu?" tanya Dea lagi. Risma tak langsung menjawab. Ia menatap Dea dengan tatapan sayunya nan sudah tua. Keriput di wajahnya sangat terlihat jelas. Terkadang Dea menangis melihat nenek Risma yang seperti ini. "Saya lelah." Jawab Risma namun dengan nada yang cukup dingin. "Aaahh. Nenek lelah? Padahal aku mau ngajak nenek jalan-jalan." Ucap Dea dengan ekspresi wajah mengiba. Berharap Risma berubah pikiran dan mau menyanggupi keinginannya yang mau mengajak Risma jalan-jalan. Namun saat ia melihat dari sudut matanya, Dea justru mendapati kenyataan bahwa Risma kembali mengalihkan tatapan darinya. Haaahh! Sepertinya memang sulit. Ya sudahlah kalau begitu. Dea akhirnya memilih menuruti permintaan Risma yang ingin ke kamar. "Ayo Nek Dea antar ke kamar ya." Risma tak menjawan, namun Dea yakin nenek itu sebenarnya setuju dengan tawaran Dea, hanya saja malu untuk mengiyakan. Dea melirik ke samping dan menarik kursi roda milik nenek Risma. Setelah mendekatkan kursi tersebut pada nenek Risma, Dea langsung mendekati Risma kembali, mengapitkan tangannya pada lengan Risma dan membantu wanita itu berdiri. "Hati-hati nek.." ucap Dea lembut. Walaupun sedikit susah bagi Risma melangkah, Dea tetap sabar membantunya. Setelah duduk dengan baik di kursi tersebut, Dea segera melepaskan kunci penahan yang ada di roda kursi, lalu mendorong kursi roda yang tengah Risma duduki menuju kamar Risma. Bersyukur Nenek itu tak lagi menolak untuk dibantu Dea. Setidaknya sudah ada sedikit kemajuan antara dirinya dan Nenek Risma. Bicara soal Nenek Risma. Dea mendengar dari pemilik panti kalau nenek Risma ini ditemukan sedang kebingungan di jalanan. Sambil menenteng satu tas kecil yang berisi pakaian, Risma yang malang berjalan terlunta-lunta entah kemana. Beruntung pemilik panti menemukannya. Jadilah ia dibawa ke Angel House. Sepertinya kekuarga nenek Risma sengaja membuat wanita tua ini ke jalan. Ia sengaja ditinggalkan oleh anaknya karena ditangan wanita itu ada secarik kertas yang bertuliskan 'tolong rawat saya'. Dari sanalah Bu Dina tahu kalau nenek Risma sengaja ditinggalkan keluarganya begitu saja dan ditelantarkan di jalanan tanpa uang dan hanya sedikit baju di dalam tas. Dea sempat menyumpahi tanpa sadar keluarga yang tega menelantarkan Nenek Risma. Jika nanti mereka bertemu, Dea pastikan akan membuat mereka semua menyesal karena sudah melakukan hal keji seperti ini pada orang tua. Perjalanan Dea hampir sampai. Ia membelokkan kursk tersebut ke sebuah kamar yang siapapun di panti akan tahu jika kamar itu kamar milik nenek Risma. "Kita sudah sampai.." seru Dea. Gadis itu kembali mengunci roda agar tak bergerak kemana-mana saat ia menurunkan nenek Risma. Dea memapah Risma untuk menaiki ranjang kecil di kamar. Dengan hati-hati ia membaringkan tubuh ringkih Risma dan menyelimuti setengah tubuh tua itu agar nyaman. Wanita itu hendak tidur, Namun ucapan Dea, mengalihkan fokus Risma untuk mendengarkan cerita yang mengalir begitu saja dari bibir gadis itu.. "Nenek tahu, aku seorang yatim piatu. Ayah dan ibuku meninggal saat aku duduk di bangku SMA. Tak ada sanak saudara yang mau menampung anak terbuang sepertiku...." Dea berhenti sejenak. Ia melihat respon yang Risma berikan, wanita tua itu mulai mendengarkannya. Dea menatap Risma lembut. Ia tersenyum manis pada Risma dan kembali menggenggam jemari Risma sebelum ia melanjutkan tentang kisah hidupnya yang begitu menyakitkan pada Risma. "Sebenarnya aku punya seorang kakak perempuan dan seorang Abang." ucap Dea memulai bercerita. Dea tampak menerawang jauh, pikirannya berkelana saat ia masih tinggal bersama saudara-saudaranya. "Aku berpikir saat itu, tinggal bersama mereka akan membuatku aman. Apalaagi dengan kondisi kami yang sudah yatim piatu." Dea melirik Risma sejenak lalu kembali melanjutkan ceritanya. "Namun aku salah. Saudaraku sangat kasar padaku. Kekerasan yang ia lakukan padaku juga sudah cukup mampu membuatku semakin hancur dan tak percaya dengan yang namanya kaum adam. Mungkin bagi mereka aku hanyalah sebuah parasit." Lanjutnya. Dea menghentikan ceritanya kembali. Membuat Risma menatap Dea dalam. Risma melihat Dea yang semakin jauh menerawang jauh ke depan. "aku mencoba menemui paman dan bibi ku tapi mereka bersikap seolah tak mengenalku....." "....Marah? Tentu saja aku marah. Tapi aku bisa apa. Memaki mereka pun tak akan membuatku bisa diterima di lingkungan mereka-" Ucap Dea yang mulak tertunduk. "-akhirnya aku memutuskan untuk ke Jakarta dengan uang tabunganku dan sedikit uang peninggalan kedua orang tua. Untuk sekolah, aku sudah berhenti di kelas dua SMA." "Aku Ingin berteriak pada Tuhan, tapi takut. Takut jika nanti Allah marah dan Allah membuat hidupku lebih menderita dari ini. Kurang ajar memang pemikiran seperti itu. Karena aku yanh sudah berprasangka buruk sama Allah saat itu.-" Dea menarik nafas dalam dan menghembuskannya kembali. Ia Melirik Risma yang kini sedang menatapnya dengan ekspresi yang susah ia artikan. Dea kembali melanjutkan ceritanya. "-tapi itu dulu. Dulu sekali, jauh sebelum aku seperti sekarang. aku percaya sama Allah. Hidup Dea yang berubah drastis seperti ini bukan tanpa alasan. Dea yakin ada maksud Allah menjadikan hidup Dea seperti ini. Begitu juga dengan nenek." Dea menatap Risma. Menggenggam jemari wanita itu. "Kini Dea tahu, Allah Maha Baik Nek. Saat Allah mengambil orang tua Dea, Allah justru menggantinya dengan yang lebih baik, yaitu seperti saat ini. Dea punya banyak orang tua yang sayang sama Dea. Bukan hanya orang tua. Dea juga punya seorang nenek yang Dea yakin dalam hatinya ada cinta untuk Dea. Nenek tahu siapa orangnya?-" Risma menggeleng tanpa sadar, seolah terhipnotis dengan tatapan Dea. "Namanya Nenek Risma." Deg! Risma terdiam. Ia terpaku mendengar perkataan Dea tadi padanya. Seperti sesuatu yang ia rindukan muncul dihadapannya. Risma merasakan ada kehangatan dalam hatinya saat mendengar pengakuan Dea, gadis manis yang kini tengah duduk di hadapannya yang tengah berbaring. Apa Dea baru saja menganggapnya keluarga?. Ini yang ia rindukan dan sungguh ia terharu. "Nenek mau kan anggap Dea sebagai cucu nenek?" pinta Dea lembut. Diam dan hening. Itulah yang terjadi diruangan Risma sekarang. Baik Dea maupun Risma tak mengeluarkan sepatah katapun lagi. Dea diam karena ingin menunggu jawaban Risma, sedangkan Risma terdiam karena ia kaget tak menyangka Dea meminta hal itu padanya. Risma masih tak mau menjawab. Ia justru semakin mendalami tatapan mata Dea. Ada kehangatan dan kerinduan yang terpancar dari mata gadis itu. Pancaran kerinduan akan kasih sayang. 'Mungkin meridukan orang tuanya' tebak Risma dalam hatinya. Risma membalas genggaman jemari Dea, "Kamu mau mendengarkan cerita saya?" Risma mulai bersuara. Dea seketika tersenyum. Tersenyum penuh kehangatan saat Risma mulai membalas pembicaraannya. Dengan antusias Dea mengangguk mengiyakan. "Apapun. Semua cerita nenek bakalan Dea dengerin baik-baik." ucap Dea dengan semangatnya. "Sebelumnya, saya ingin bertanya. Umur kamu berapa?" tanya Risma masih dengan ekspresi datarnya. "Dua puluh dua tahun." Jawab Dea singkat. "Dua tahun lebih muda dari cucuku." Dea mengernyit bingung, tapi ia tak mau memotong dulu. Takut Nenek Risma akan marah dan tak mau melanjutkan ceritanya. Karena membuat Nenek Risma bicara itu bukan hal yang mudah. Sangat sulit malahan. Jadi ia tak mau gegabah yang menyebabkan nenek Risma menghentikan ceritanya. "Saya punya cucu laki-laki. Namanya Abhimanyu Zahran Al-Fajar. Saya begitu menyayanginya. Umurnya dua tahun di atasmu Dea. Dan dua bulan lagi akan berulang tahun-" Dea mendengarkan kata demi kata kalimat yang Risma lontarkan. Suatu kemajuan saat Risma mau menceritakan keluarganya pada Dea. Karena selama ini Risma selalu bersikap seperti orang yang tak mengingat apa-apa. Sejauh ini yang Dea tangkap adalah, nenek Risma sangat menyayangi dan merindukan cucunya tersebut. "-Cucu saya sangat tampan kalau kamu tahu. Ini fotonya-" Risma menarik satu lembar foto dari bawah bantalnya dan menyerahkan selembar foto tersebut ke tangan Dea. Dea meraih selembar foto itu. Ia melihat dengan seksama, di sana ia bisa melihat ada sosok seorang laki-laki dengan hidung mancung dari pangkal, alis mata yang tebal dengan bulu mata panjang namun tak melentik tengah tersenyum sembari memeluk Nenek Risma yang juga tersenyum sangat menawan. Untuk sesaat, Dea dibuat terbuai dengan wajah tampan cucu nenek Risma. Bahkan Dea tak berhenti menatap Abhi walaupun hanya dari sebuah foto. "Ini cucu nenek?" tanya Dea hati-hati. Risma mengangguk mengiyakan. "Dia cucu saya." Jawab Risma pelan. "Tapi sekarang saya tidak tahu bagaimana kabar Abhi semenjak anak perempuan saya dan suaminya tega membuang saya di jalanan." lanjut nenek Risma dengan wajah tertekuk lesu. Dea meremas lembut jemari Risma. Mencoba mengalirkan kekuatan dan semangat yang ia punya untuk nenek Risma. "Nenek masih bisa lanjutin? Atau mau istirahat dulu?" tanya Dea kasihan. Risma menggeleng lalu tersenyum, "Saya tak apa.." jawab Risma. "Saat dibuang, Abhi tak mengetahuinya, saat itu Abhi juga tengah berada di luar kota guna menghadiri pertemuan dengan kolega bisnis dari papi nya." Risma menatap lekat foto yang kini sudah berpindah tangan padanya. Setetes air mata mengalir dari pelupuk mata Risma, membuat Dea terenyuh iba. "nenek rindu cucu nenek?" tanya Dea dengan berani. Risma lagi-lagi mengangguk, "Sangat.." jawabnya, "tapi mungkin dia tak merindukan saya. Buktinya tak ada yang mencari saya sejak enam bulan saya di sini. Dan saya yakin mereka tak akan mencari saya juga karena kalian semua pasti tahu jika sanga sengaja dibuang oleh mereka.." Dea langsung menggeleng, "Nenek jangan gitu. Saat itu Abhi nggak tahu nenek dibuang oleh anak nenek." "Tapi sekarang dia pasti sudah tahu Dea. Dan dia tak mencari keberadaan saya.." lirih Risma. Dea lagi-lagi mencoba menguatkan Risma. Dea melihat ada genangan air mata di sudut mata Nenek Risma yang sudah mulai keriput itu semakin mengalir banyak. Seketika otak Dea mulai mencari ide terbaiknya, saat ide itu ia dapat, Dea langsung menatap nenek Risma dengan semangat. "Dea bisa mencarinya untuk nenek." Celetuk Dea membuat Risma mengangkat kepalanya, menatap Dea dengan tatapan tak percaya. "tapi kamu tak akan bisa." tolak Risma. "kenapa?" "keluarga kami berbeda." "Eh? Berbeda dari mananya? Semua keluarga itu sama nek." "itu menurutmu. Tapi kenyataannya kami berbeda." "berbeda dari mana? Kenapa berbeda?" tanya Dea penasaran. "kamu tak akan tahu." jawab Risma pelan. Dea menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. "karena itu Dea nanya sama nenek. Kenapa berbeda? Apa yang membuat keluarga nenek dengan keluarga yang lainnya berbeda?" tanya Dea tanpa ragu. Ia tak terima jika Risma pesimis seperti itu. Risma lagi-lagi diam seribu bahasa. Ia kembali menjadi orang yang tak mau bicara. Kembali Dea memutar otaknya agar Risma mau kembali bicara padanya. "begini saja. Nenek berikan dulu alamat cucu nenek itu pada Dea. Nanti Dea bakal cari dia buat nenek. Gimana?" tawar Dea yang membuat Risma seketika berpikir. Tawaran menggiurkan. Itulah yang Risma pikirkan. Ia bisa bertemu kembali dengan Abhi jika Dea berhasil menemukan cucunya itu. Tapi lagi-lagi ia menolaknya. Ia takut menerima kenyataan kalau sebenarnya ia sudah dibuang oleh anak dan cucu nya sendiri. "Nenek nggak percaya sama Dea?" tanya Dea sambil menatap mata Risma penuh keyakinan. "bukannya saya tidak percaya pada kamu. Saya hanya takut jika suatu saat nanti kenyataan yang ada tak menyenangkan sama sekali." Ketakutan. Itulah yang Dea lihat dari tatapan mata Nenek Risma. Ketakutan akan kenyataan bahwa dirinya ditolak oleh keluarga besarnya. Kenyataan kalau wanita itu sudah tak diharapkan lagi ada bahkan hidup. Dibuang. Itu kata yang paling menyakitkan. Bahkan Dea terluka juga dengan hal itu, Dibuang. Namun ia mencoba meyakinkan nenek Risma. Cukup dia yang terbuang, jangan sampai nenek Risma juga merasakan itu. Biarkan nenek Risma bahagia di hari tuanya. Toh yang ia butuhkan hanya bisa berkumpul dengan keluarganya kembali. "Nek. Percaya sama Dea. Dea pastikan Dea akan bawa cucu nenek ketemu nenek dan jemput nenek di sini." Ucap Dea yakin. Risma tertegun melihat keteguhan gadis di depannya ini. Gadis yang mengikrarkan diri mau membantunya untuk bertemu keluarganya, terkhususnya Abhimanyu sang cucu tersayang. "percaya sama Dea ya!." Pinta Dea lagi. Risma ingin mengatakan Iya, namun berat rasanya untuk mengeluarkan kata tersebut, seolah kata itu akan menjadi Boomerang baginya nanti. Dea melihat itu. Ia melihat kalau Risma belum bisa menerima tawaran darinya. Sepertinya ini akan sedikit sulit. Harus bagaimana lagi ia bisa meyakinkan nenek Risma jika dirinya bisa mempertemukan Abhi dengannya. Membawa cucunya ke hadapannya. Disanalah kesulitan terbesar Dea sekarang. Membujuk nenek Risma agar memberinya izin. ***** bantu project aku untuk oktober ya teman2.. dengan cara klik Lambang love..bagi yang udah klik, makasi banyaaakk??
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD