Bab 3 Hidup dalam Badai

1684 Words
        Pikiranku masih melayang ke peristiwa 2 bulan yang lalu. Hidupku yang indah selama 21 tahun mendadak hancur. Aku tak lagi normal sejak kedatangan nama Airlangga Sakha Handojo. Laki-laki berumur 29 tahun yang tiba-tiba dijodohkan denganku. Lelaki 29 tahun itu harusnya menikahi kakak sulungku, Anindya Larasati Atmaja. Tapi dia malah menikahiku, Nabilla Larasati Atmaja, seorang gadis remaja akhir yang masih suka jalan-jalan, shoping, nonton, main sama teman-teman. Dia adalah bencana di hidupku. Entah mengapa Papa dan Mama mempertemukanku pada sebuah bencana.         Andai saja Kak Nindy tidak kabur, pasti dia yang akan menikah dengan laki-laki menyebalkan itu. Aku juga tak menyangka kalau kakakku yang pendiam, penurut, dan solehah itu bisa kabur dari rumah dan mengecewakan orang tua kami. Padahal awalnya dia sudah setuju dikenalkan pada Erlan. Dia malah senang karena dia bisa menikah tanpa pacaran. Ya, kakakku memang seorang wanita muslimah yang sangat mencintai hijabnya. Beda denganku yang berjilbab seperti kelambu warteg, buka tutup. Dia tidak suka pacaran dan memilih ta'aruf untuk menemukan jodohnya. Beda denganku yang suka mengumbar janji pada lelaki yang menyukaiku.         Mungkin ini hukuman Tuhan untukku. Untuk wanita tidak taat sepertiku. Kakakku mendadak meninggalkan rumah dan membatalkan pernikahannya karena alasan sepele. Dia hanya meninggalkan surat pendek berisi permohonan maafnya. Dasar kakakku. Dia tak berpikir sejauh itu. Setelah kepergiannya, rumahku sibuk bagai ada kebakaran. Papa uring-uringan karena merasa malu. Bagaimana tidak berita pernikahan Kak Nindy sudah tersebar kemana-mana. Mama yang banyak menangis karena khawatir pada Kak Nindy. Serta aku yang ada di tengah-tengah mereka seperti kambing congek. Dan memang iya, aku adalah tumbal keluarga ini. Dengan mudahnya mama menemukan ide untuk menyelamatkan nama keluarga kami.         Jadi, aku anak gadis bungsunya menjadi korban pernikahan perjodohan ini. Sempat menangis, putus asa tapi tak sampai gantung diri sih. Sempat mengutuki kakakku yang cantik dan kalem itu. Kenapa dia yang seperti bidadari berubah menjadi malaikat pencabut nyawa untuk adiknya sendiri. Oh Tuhan, apa ini peleburan dosa-dosa Hamba. Doaku setiap hari begitu.         Jadi hari kekonyolan itu dimulai. Keesokan harinya setelah aku menjadi tumbal, kami bertemu dengan keluarga Pak Firman yang awalnya terlihat kecewa. Mereka tampak kesal karena seperti dipermainkan oleh keluargaku. Aku yang didandani ala muslimah taat hanya bisa menahan ketidaknyamananku. Apalagi setelah lelaki bernama Erlan itu datang masih dengan seragam lorengnya. Dia terlihat kaku dan datar. Iya, mungkin dia merasa marah juga karena pernikahannya dijadikan lelucon seperti ini. Kalau dia bisa bersikap seperti itu, lain halnya denganku yang harus mematut wajah manis. Padahal hatiku tak lagi berbentuk. Ya Tuhan inginku menghilang saat ini juga. Aku tak mau menikah secepat ini. Dengan cara seaneh ini. Dengan lelaki seperti itu. Dia memang sempurna dari segi fisik. Tapi, sifatnya, mending aku gak kenal dia saja. Jutek, dingin, cuek, angkuh, tak banyak bicara, setidaknya itu yang kutangkap sedari tadi.         Yap, hari ini kami memang sedang ada di sebuah butik baju pengantin. Karena pembatalan pernikahan oleh Kak Nindy, keluarga harus mengulang sejak awal. Baju pengantin harus dipas ulang. Riasannya harus disesuaikan dengan wajahku. Tentu saja keluarga kami tak ingin pernikahan ini tampak seperti pernikahan mendadak karena 'kecelakaan'. "Cantik sekali gaunnya. Pas dengan karakter wajah Mbak Nabilla yang seperti putri salju," puji desainer baju pengantin yang terdengar absurd di telingaku. Aku menoleh ke arah perempuan berusia 35 tahun itu dengan senyum kaku. Lalu kupatut sendiri tubuhku di kaca besar.         Sebuah gaun renda panjang berwarna pink dengan semburat renda putih di bagian bawahnya. Hiasan kristal swarovski warna lime kalem tertempel di bagian d**a hingga ke kakiku. Aku juga memakai kerudung warna putih dengan hiasan kristal dan mahkota yang berkelip-kelip. Cantik sekali gaun pengantin ini. Andaikan aku menikah sesuai dengan keinginanku, ini pasti menjadi gaun terbaik yang pernah kupakai. "Cantik sekali kamu, Nak," puji bu Nafa padaku. Tampaknya rasa kecewa yang pernah ada perlahan mulai terhapus. "Terima kasih, Tante," ujarku pelan. Wanita ayu itu tersenyum kalem. Beda dengan anak lelakinya yang lebih banyak memainkan ponselnya cuek. "Masih lama fitting-nya ya, Bund?" tanyanya cuek sambil menggaruk-garuk tubuhnya yang memakai jas senada dengan warna gaunku. Dia tampak tak nyaman dengan pakaian itu. "Sebentar lagi, Lan. Kamu mau dinas lagi ya?" tanya bu Nafa sabar. "Iya Bund. Tadi aku cuma izin sebentar ke danyon. Aku harus ambil apel siang untuk anggotaku." Ucap lelaki itu dingin tanpa menatapku yang masih rempong dengan gaun ini. "Kamu harus izin khusus pada danyonmu, Lan. Bagaimana juga pernikahan ini penting," ujar wanita ayu itu yang tak ditanggapi oleh anak lelakinya. Dasar anak gak berbakti. Diajak ngomong orang tua kok cuek gitu sikapnya. Amit-amit ah, batinku kesal sambil menatap kaca butik yang berbatasan langsung dengan trotoar ramai. "Loh!" selorohku kaget saat melihat sosok yang kukenal. Perempuan yang memakai jilbab besar itu baru saja mengintipku dari kaca besar butik. "Kak Nindy..." selorohku pelan. Aku kembali mempertajam pandangan pada mata bulatku. Iya, perempuan yang mengintipku itu Kak Nindy. Sosok yang seperti menghilang selama 2 mingguan ini.         Aku langsung mengangkat gaun renda yang berat ini. Kulepas begitu saja sepatu hak tinggi di lantai. Aku tak menghiraukan teriakan desainer dan ibunda Erlan. Aku berlari memacu kakiku untuk mengejar perempuan berkerudung besar yang tetiba berlari menghindariku itu. Dia memang benar Kak Nindy, penyebab kekonyolan hidupku. Napasku hingga tersengal ketika mengejarnya. Cepat juga larinya. "Kembalilah ke rumah, Kak. Jangan biarkan aku yang menikah dengan lelaki itu!" ujarku setelah susah payah menangkapnya. Kak Nindy terlihat terkejut karena aku berhasil menemukannya. "Kamu cantik sekali, Dek," pujinya seolah tak mendengar perkataanku. "Semua ini cuma lelucon karena kelakuan Kak Nindy. Pokoknya Kakak tidak boleh pergi lagi! Kakak harus kembalikan keadaan seperti semula!" pintaku keras padanya. "Maafkan Kakak, Dek. Kakak gak bisa kembali ke rumah kalau Kakak tetap menikah dengan tentara itu," ujarnya pelan. "Lalu Kakak hancurkan hidupku gitu?" ujarku marah. Dia lantas memelukku. Kurasakan pundakku basah karena tangisannya. Mengapa dia menjadi sosok yang mengecewakan seperti ini? ---         Kak Nindy akhirnya pulang ke rumah. Kembalinya Kak Nindy ke rumah tidak menjadi kembalinya kehidupanku yang nyaman. Hidupku yang sudah jungkir balik karena ulahnya tak bisa kembali normal. Pernikahan tetap akan dilaksanakan dengan aku yang menjadi calon Erlan. Ya Tuhan, tidak bisakah ini jadi mimpi buruk saja. Lututku sampai sakit karena terlalu lama bersujud di sajadah panjang. Aku sama sekali tak mau pernikahan ini. Tapi, kenapa setiap hari langkahku semakin mendekat ke pernikahan lelucon ini.         Pagi ini malah aku sudah berdiri di sebelah pintu mobil dinas papa yang mengantarku ke kesatuan Erlan. Sudah 10 menit aku mematung di depan kantor bernuansa hijau pupus itu. Sebuah lingkungan yang baru karena selama ini warna biru lekat denganku. Warna gedung di sini, senada dengan seragam kain katun semi wol berwarna hijau pupus yang sudah membalut tubuh kecilku. Di kaki kecilku terpasang sepatu wedges 5 cm berwarna hitam polos yang terkesan kaku dan membosankan.         Kenapa sih perancang sepatu ini tidak menaburinya dengan permata atau setidaknya pita. Biar kesannya feminim dan cantik gitu. Tasnya juga, kenapa pula harus warna hitam polos. Tidak bisakah diganti warna hijau pupus yang senada dengan bajunya gitu. Sungguh dunia yang sangat membosankan. "Maaf nunggu lama," ujar Erlan cuek sambil mendatangiku yang mematut wajah bosan. "Ya, gak apa-apa," ujarku pendek tanpa menatapnya. Aku hanya meliriknya yang ternyata malah menerima sebuah telepon.         Yap, aku sedang berada di kantor Erlan dengan berbaju PSK alias Pakaian Seragam Kerja Persit muslim. Tanpa lencana karena aku masih dalam proses pengajuan nikah. Ternyata bukan hanya aku saja yang akan menghadap pak danyon kesatuan ini untuk mengurus nikah. Ada beberapa om tentara dan calonnya yang hendak juga menghadap. Bedanya suasana mereka tampak sangat hangat karena menikah dengan cinta. Beda banget sama aku yang malah berangkat sendiri dari rumah. Bertemu juga di tempat parkir kendaraan di depan kantor danyon. Hadeh.         Sebenarnya proses pernikahan di militer tidak langsung pada tahap ini. Awalnya dimulai dari kesatuan terkecil seperti RT/RW, naik ke koramil, korem, baru ke batalyon, kodam, KUA, dan lain sebagainya. Tapi, untuk bagian koramil dan kawan-kawan sudah di-skip oleh keluarga Erlan. Entah berapa surat sakti yang mereka keluarkan demi pernikahan ini. Jadinya, sekarang kami tinggal menghadap danyonif karena Erlan bilang dia sangat dekat dengan atasannya itu. "Nama calonnya siapa, Mbak?" sapa sebuah calon persit yang duduk di sebelahku. Aku memang sudah menunggu di depan ruangan danyonif. Aku menoleh dan tersenyum samar. "Itu Mbak, Kak Airlangga!" sahutku cuek sambil menunjuk Erlan yang masih asyik berbincang dengan beberapa tentara. Dia terlihat tertawa lepas, beda sekali saat bersama denganku. "Oh, maaf-maaf. Izin Bu," kata mbak-mbak yang usianya di atasku itu mendadak sungkan. Hah, ada apa pula dengan mbak ini? Mendadak bersikap seperti ini ketika aku baru saja menunjuk Erlan. Hem, aku baru ngeh setelah calon suaminya berbisik pada mbak itu. Walau samar, aku masih mendengar percakapan mereka. "Itu calon istrinya danton Airlangga, Dek. Dantonku!" bisik calon suami mbak itu.         Oalah, aku baru maklum. Ternyata Erlan itu atasan pak tentara ini. Pantesan dia mendadak segan dan sungkan padaku. Haduh, padahal aku tak suka diperlakukan seperti itu. Inilah salah satu alasanku apatis pada militer dan dunianya, aku tak suka dengan 'kasta terselubung' di antara mereka. Aku tak suka dengan 'kesenioritasan', 'atasan bawahan', dan lain sebagainya. Tapi, sekarang malah aku harus terbiasa dengan itu. "Izin memperkenalkan diri, nama kecil saya Aulia Dewi. Saya calon istri dari Praka Alimudin. NRP 310607...," gumam mbak-mbak di sampingku.             Sedari tadi dia tampak sibuk sendiri dengan tumpukan kertas di pangkuannya. Apa yang digumamkannya? Apa itu hal penting? Jangan-jangan aku bakalan ditanyai hal yang sama. Aduh mama papa, aku masih belum tahu sama sekali dengan identitas Erlan dan lain sebagainya. Aduh bagaimana ini, mana aku giliran pertama yang akan menghadap danyon lagi. Hiks... "Sudah tahu nama lengkap suamimu, Dek?" tanya Danyon Erlan yang masih muda itu hangat. k****a nama beliau adalah Kolonel Inf. Rahman Adijaya. Aku menunduk sambil tersenyum. Ya, ketakutanku terjadi juga. Erlan menyenggol bahuku pelan.  "Jawab saja," katanya pelan sambil memaksa senyum manis. Aku merasa sesak napas. "Airlangga Sakha Handojo," jawabku pelan. "Pangkatnya?" "Lettu." Danyon Erlan itu hanya tersenyum samar. Aku sudah bisa menebak pasti danyon tahu kalau pernikahan kami memang pernikahan setting-an. "NRP?" tegas danyon itu lagi. Apa pula NRP itu? Hiks apatis. Nyesel banget kenapa aku apatis sekali. "Loh, bagaimana ini Lan. Kok calonmu belum hapal NRPmu? Nanti bisa-bisa dilibas sama ibu-ibu sini loh!" goda danyon. "Siap Komandan. Nanti akan saya ajari!" ujar Erlan pelan yang ditanggapi gelak tawa danyon. Okay fine, i'm totally desperate. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD