Lapangan Tenis

1216 Words
25 Februari 2019—Lapangan Tenis SMK N 2 Karanganyar. Hari di mana Fikri lebih mirip penyidik KPK daripada Pembaris Muda. Sahabatku sejak masih TK itu terlalu banyak bicara hari ini. Meskipun apa yang Fikri bicarakan adalah kebenaran. Ia selalu lebih mengerti aku, mengerti tatapan mataku, dan mengerti arti gerak-gerikku, oleh sebab begitu pahamnya ia tentangku kupikir ia adalah Ayahku. Benar, hari ini adalah hari pematangan terakhir untuk tim baris-berbaris dari SMK N 2 Karanganyar—Patriakara. Tanggal 27-28 Februari 2019 nanti akan mengikuti lomba baris-berbaris di tingkat Kabupaten Karanganyar. Dan aku, aku ialah Komandan Peleton dari Patriakara, ketua angkatan Patriakara 19, dan murid yang paling banyak diidolakan di sekolah dan di luar sekolah. Jika digambarkan, aku ini layaknya artis internasional.   Tidak percaya? Sungguh aku tidak sedang ingin berdusta. Mungkin kamu juga mengingatnya, bagaimana isi ponselku pada hari-hari sebelum tanggal 25 Februari ini. Isinya tak lain dan tak bukan ialah pesan-pesan singkat dari perempuan-perempuan yang mengharapkan balasan, namun jarang sekali aku lakukan, lebih nyaman untuk mengarsipkannya. Mbak Dara sungguh tahu banyak hal tentangku, tentang ceritaku, dan aku tahu banyak hal pula tentang dirimu. “Ta, kelihatan banget lagi,” tegur Fikri ketika berjalan bersamaku dan pasukan lain menuju masjid. “Apa?” tanyaku bingung. Sejujurnya aku tidak sebingung itu, aku hanya mencoba menampik sesuatu yang menggebu.  Fikri tidak menjawab dengan kata, hanya senyum yang terkesan mengejek pun penuh misteri. Sampai latihan hendak berakhir pun Fikri terus saja mengatakan bahwa semuanya terlihat sangat jelas. Aku masih berpra-pura tidak tahu bahwa yang Fikri katakan adalah tentang perasaanku padamu. Kupikir tatapanku biasa saja, tetapi Fikri bilang tak ada yang biasa dari tatap mataku. Dia benar-benar memahamiku. “Sejak kapan suka sama Mbak Dara?” tanya Fikri menggendong ransel hitamnya. Kami masih di dalam basecamp, hendak pulang namun terhalang hujan. “Apa sih, Fik? Gila kali!” Fikri tertawa. “Ya, cinta memang terkadang segila itu.” Aku hanya menggeleng. Fikri benar sahabatku, sejak TK sudah bersamaku, tak pernah berpisah sekolah meskipun sering berpisah kelas, dan aku selalu menceritakan apapun dengannya, Mbak Dara pun tahu itu. Sayangnya, aku tetap ingin menyembunyikan perasaanku dari siapapun. Mengapa? Pertama, sebab kupikir mencintaimu adalah kegilaan; kedua, sebab kupikir mencintaimu adalah kegilaan; ketiga, sebab kupikir mencintaimu adalah kegilaan; keempat dan seterusnya hanya ada satu alasan, sebab kupikir mencintaimu adalah kegilaan. Gemericik air semakin deras, hanya tersisa aku dan Fikri di teras basecamp Patriakara. Yang lain jelas pulang lebih dulu mengenakan jas hujan dan rumah mereka pun dekat. Sementara rumahku dan Fikri cukup jauh dari sekolah, mungkin ada 10 km. Maka wajar jika kita memilih menanti hujan mereda. “Mbak Dara kelahiran tahun berapa sih?” “1997,” jawabku bermain tetesan air hujan, sepertinya teras basecamp bocor. “Kamu 2002?” Aku diam. Itulah masalahnya mengapa aku anggap mencintaimu adalah kegialaan. Cinta ternyata tidak pernah bersekolah, makanya dia terlalu bodoh memperhitungkan angka dan pembeda. “Mbak Dara lagi skripsi ya?” Mengangguk. “Kamu, kelas XI saja masih banyak mengeluh saat mengerjakan tugas CNC.” Hanya bisa diam. “Mbak Dara kuliah di UNS prodi sastra Indonesia ya?” “Iya.” Sedikit ketus dalam menjawab. “Kamu teknik pemesinan sih. Mungkin jika kamu secerdas Habibie, Mbak Dara bisa jadi milikmu. Sayangnya kan kamu hanya anak SMK yang biasa-biasa saja. Jangankan menciptakan rumus keretakan pesawat, membaca jangka sorong saja kamu salah.” Menghela napas panjang. Sebanarnya juga tidak separah itu. “Tapi kamu punya satu kelebihan, Ta.” Menoleh. “Cinta.” Menunjuk hatiku. “Mas Gayuh juga punya cinta kali, Fik.” Fikri tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. “Ha ha ha.” “Kenapa?” “Secara tidak langsung kamu mengakui bahwa kamu mencintai Mbak Dara. Halo, mau mengelak seperti apa, sahabatmu ini tahu pupil matamu selalu membesar ketika melihat Mbak Dara. Mulutmu berkilah? Sudah berapa tahun kita bersama? Mudah saja bagiku menjebak mulut munafik ini. Ha ha ha.” Menelan ludahku. Fikri memang tahu segalanya tentangku. Mungkin kamu akan tersenyum saat membaca ini, Mbak. Aku tidak pernah benar-benar bisa membohongi Fikri, aku tahu dan paham itu tapi aku terus mengulanginya. “Kenapa Mbak Dara sih, Ta?” “Allah Swt. tidak menjelaskan alasannya.” “Gila sih, perjuangkan!” “Seandainya bisa.” “Misalkan bisa, apa yang ingin kamu katakan pada Mbak Dara?” “Drama banget." Tertawa masam untuk hidupku. “Hanya berandai-andai saja, bukannya drama. Cukup orang politik yang kebanyakan drama. Kamu mau ajak Mbak Dara pacaran?” “Gila kali!” sambarku cepat. Mbak Dara, maaf, tapi bercandaan kita berujung pada keseriusan perasaanku. Panggilan “Beb” yang sering sekali kamu lontarkan ialah kenyataan yang ingin selalu aku dengar. Sayang seribu sayang, hatimu selalu bergurau denganku. Seolah-olah kita ini pasangan dan kamu sangat mencintaiku, ah, itu hanya ilusi untuk menghibur dirimu sendiri. Benar, bukan? Karena kamu sedikit merasa kesepian tanpa kekasihmu yang abdi negara itu. Terkadang kupikir kamu terlalu jahat, Mbak. Mengapa harus bergurau dengan hatiku? Jika sudah jatuh semacam ini, apa yang akan kamu lakukan? Tidak peduli.  “Mbak Dara memang cantik sih, Ta. Apalagi kalau sedang berdiri di pojok utara lapangan tenis, kedua tangannya sudah dilipat di depan d**a, rambut pendeknya tertiup angin, terus wajah garangnya memperhatikan gerakan kita di tengah lapangan. Gila sih itu. Lalu ditutup dengan senyum gigi gingsulnya di akhir koreksi. Beuhhhh!” Aku menoleh pada Fikri dengan mata yang sedikit menyipit. “Jangan cemburu gitu dong!” Menyenggol lengan kananku. “Mbak Dara itu sudah seperti kakakku sendiri, dibandingkan kamu, aku lebih dulu dekat dengan Mbak Dara. Tahun 2018 kan kamu tidak cukup dekat dengan Mbak Dara, tapi aku sudah.” Sahabatku ini benar, dia memang sangat dekat dengan Mbak Dara dari masih kelas X, artinya dari tahun 2018. Sementara aku, baru awal tahun ini, jadi kedekatanku sebenarnya tidak ada apa-apanya dibandingkan kedekatan Fikri denganmu, Mbak Dara. Kamu bahkan selalu memanggil Fikri dengan, "Adik Kesayanganku". “Aku tidak tahu kebenaran dari perasaanku, Fik. Jadi lebih baik kalau kita diam saja, kamu diam, aku diam. Cinta itu bisa tumbuh karena waktu dan bisa hilang karena waktu. Tidak perlu diperpanjang.” “Em, kenapa tidak berjuang seperti Bung Karno yang pada akhirnya mendapatkan Inggit?” Tertawa masam. “Fikri, Bung Karno dengan Inggit itu juga sebuah kesalahan. Terlepas dari cinta itu datang tanpa kesalahan, tetapi kan manusia tempatnya salah.” “Kenapa?” “Kamu lupa? Posisi Inggit ketika itu ialah istri dari Haji Sanusi. Wanita hebat di balik Bung Karno tidak hanya Fatmawati, Fik. Inggit juga. Dipelajari juga dong kisahnya biar tahu. Sama saja denganku jika memperjuangkan Mbak Dara, itu juga kesalahan. Mbak Dara ialah kekasih hati dari seorang tentara bernama Gayuh.” “Ishhhh.” Fikri mendesah kesal. “Tapi keren sih kisah mereka. Aku pernah baca buku, lupa judulnya, dikatakan kalau sebenarnya Inggit masih mencintai Bung Karno hingga akhir hayat, akan tetapi pada tahun 1943 Inggit dan Bung Karno terpaksa bercerai karena Inggit tidak ingin dimadu dengan Fatmawati. Sementara Bung Karno sebagai seorang laki-laki ingin memiliki keturunan kandung, toh beliau dengan Fatmawati pun saling mencintai.” Fikri menatapku aneh. “Kalau hari ini kamu yang menceritakan kisah Bung Karno dan Inggit padaku. Di masa depan biarkan aku yang menceritakan kisah Apta dan Dara pada anakmu. Lagipula, apa salahnya melakukan kesalahan? Mas Gayuh dan Mbak Dara juga masih pacaran ini, yang menjadi salah adalah jika mereka sudah menikah.” “Gila kamu!”   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD