Secretary Wanna Be

1982 Words
Seharusnya Mimi mulai kerja tiga minggu lagi, karena dia pun baru dapat izin dari perusahaan sebelumnya untuk berhenti per akhir bulan. Namun Vino mengajak Mimi ke kantor karena harus tanda tangan kontrak kerja dan ada beberapa yang perlu mereka diskusikan. Dan karena jarak rumah Vino ke kantor itu melewati gang rumah Mimi, membuatnya berinisiatif agar Mimi ikut bareng dengan mereka saja semobil. Mata Vino membelalak melihat Mimi yang mengenakan seragam kerja berlogo perusahaan pengiriman barangnya. Mimi dengan tanpa bersalah langsung masuk mobil dan duduk disamping Vino. "Kamu kok pake seragam?" "Kata Pak Vino aku disuruh pakai baju yang biasa dipakai kerja? Aku tiap hari kan pakai seragam." Entah sejak kapan tapi Mimi pun terbiasa mengucapkan 'aku' depan Vino. Vino menepuk keningnya pelan, dihembuskan nafasnya perlahan sambil membuang pandangan ke arah jalanan. Bagaimana nanti dilihat pegawai lain? Masa calon sekretaris pakai seragam perusahaan lain. Mata Mimi melebar melihat gedung tempatnya akan bekerja nanti. Terdiri dari belasan bahkan mungkin puluhan lantai, berbentuk segi empat namun terlihat artistik. Sangat besar, bahkan di depannya ada kolam air mancur dan taman-taman yang cukup indah. Mobil pun sukses terparkir di basement, biasanya Vino turun di lobby, tapi kali ini dia ikut ke basement karena ingin memberikan arahan. Vino membuka kap mobil belakang dan mengeluarkan kaosnya yang berwarna putih lalu menyerahkan ke Mimi. Seharusnya sih kaos itu muat, toh pria biasanya lebih suka memakai kaos yang tidak terlalu pas body. "Kamu ganti baju dulu di toilet sana ya, aku tunggu disini." Ucap Vino menunjuk letak toilet. Mimi mengangguk dan menuruti perintah Vino. Lalu seorang wanita cantik memakai rok A-Line berwarna cino, dengan kemeja putih yang terlihat elegant. Juga anting yang menjuntai, dan rambut yang agak curly dan digerai. Berjalan menghampiri Vino. Suara ketukan heels dan lantai seirama dengan langkah kaki jenjangnya. Dialah Cathy, sekretaris Vino yang sudah bekerja dengannya sejak Vino diangkat menjadi CEO perusahaan menggantikan ayahnya yang kesehatannya sering menurun. "Pagi Pak Vino, jadi mana calon sekretaris yang mendampingi saya?" tuturnya Ramah sambil tersenyum lebar ala model pasta gigi. "Lagi ganti baju," Vino menyandarkan tubuhnya ke badan mobil sambil memasukkan tangan ke dalam saku celana. "Kamu jalanin seperti yang sudah kita rencanakan ya, dan bawa kembali dia kesini untuk tanda tangan kontrak, ini credit cardnya." Vino mengulurkan kartu sakti tanpa limit ke arah Cathy untuk membeli semua keperluan yang dibutuhkan Mimi nantinya. Mimi berjalan dengan penuh percaya diri ke arah Vino. Cathy yang melihatnya hanya menganga, ya Vino sudah cerita tentang Mimi tapi tak detail dan melihat penampilannya, sepertinya Vino harus keluar uang banyak jika ingin menjadikan Mimi sekretaris yang setidaknya bisa menyamainya dalam segi penampilan terutama. "Mi, ini Cathy sekretaris aku. Cathy ini Mimi." "Mimi, Lha nanti aku yang gantiin mba Cathy?" kaget Mimi meski sambil menjabat tangan Cathy, "Enggak, nanti pekerjaan kalian dibagi dua, Cathy handle urusan eksternal perusahaan, sementara kamu internal perusahan. Nanti dijelaskan Cathy dijalan." "Di jalan? Bukannya kantornya disini ya pak?" "Hm, jadi Mimi kita mau beli suatu perlengkapan dulu oke. Kamu ikut aku ya." Mimi mengangguk dan masuk kembali ke dalam mobil yang disupiri Pak Restu. Sementara Vino ke ruangannya dengan kawalan security sampai lift VIP. *** Cathy melenggang di mall eksekutif, ya hanya orang yang punya kartu member yang bisa berbelanja dan masuk ke sana, karena Mimi membawa kartu member milik Vino, tentu dia diperbolehkan shopping di mall mewah tersebut. Mimi hanya ber ah – oh mengagumi interior mall tersebut yang penampilannya justru terlihat sangat asing baginya. "Penampilan itu nomor satu bagi jabatan kita, karena kita akan selalu berinteraksi dengan orang di sekitar Pak Bos, kalau penampilan kita kucel, kumel maka orang-orang bisa memandang bos dengan sebelah mata karena dianggap tidak becus. Apalagi nanti kita juga berhubungan dengan bos-bos perusahaan lain atau bos bagian lain." "Oh gitu yah?" "Iya, kamu punya pakaian kerja berapa? Selain seragam?" Mimi nampak berfikir keras lalu dia menghela nafas berat, sejak kerja dia bahkan selalu pakai seragam perusahaan dan tak pernah beli baju kerja. Baju sehari-haripun jarang. Akhirnya Mimi menggeleng dengan pasrah. "Oke, sekarang kita ke outlet baju ya," lagi-lagi Mimi hanya bisa mengangguk pasrah. Mereka berdua masuk ke sebuat outlet baju kerja milik designer ternama, yang konon katanya mall ini pun milik suaminya. Cathy dihampiri seorang manajer yang terlihat ramah sekali. Rambutnya ditata rapi dengan hairnet. Make upnya natural namun terlihat cantik. "Ada yang bisa saya bantu ka," "Ada baju kerja ukuran XL bu?" "Hmm maaf aku biasa pakai ukuran XXL." Potong Mimi, Cathy tersenyum tidak enak. "Ada, silahkan ikuti saya," ajak manajer itu ramah. Dia pun menginstruksikan ke pegawainya untuk membawakan beberapa stel baju kerja. Berkali-kali Mimi masuk ke ruang ganti, dan Cathy hanya duduk memperhatikan sambil mengangguk. Setiap yang dilihat cocok di Mimi pasti langsung di bawa ke kasir oleh pegawai. Hingga tumpukan baju itu menggunung depan kasir. Mimi pucat melihatnya, dia bukan wanita bodoh, dia tahu harga mahal setiap baju itu. "Kenapa?" Cathy memperhatikan raut wajah Mimi yang mendadak lesu. "Aku harus potong gaji berapa lama untuk lunasin itu ya?" Sontak Cathy tertawa cukup keras, beruntung mereka tidak bersama para pegawai outlet. Sehingga Cathy meminta maaf meski tetap tidak bisa menghentikan tawanya. "Tenang aja, semuanya gratis, perusahaan yang bayar." "Hah! Serius kamu? Kamu juga dulu kayak gini." "Hmm,, yaa.." Cathy menjawab tidak enak, dia sudah berjanji pada Vino untuk merahasiakan bahwa sebenarnya kartu yang digesek itu adalah kartu milik Vino pribadi. Tumpukan paper bag belanjaan itu dibawa oleh pegawai khusus bagian bawa barang belanjaan, diantar langsung ke mobil. Ya service utama dari mall ini. Setelah memborong banyak baju, termasuk dua setelan baju olahraga, karena di perusahaan itu ada fitness center fasilitas perusahaan untuk seluruh karyawannya bisa berolahraga gratis disana. Selain alat fitnes, disana juga pada hari jum'at sore diadakan Zumba, Aerobik, Yoga. Karyawan bebas memilih ingin ikut apa? Dan Cathy pun mewajibkan Mimi untuk mengikutinya, demi menjaga kebugaran juga. Kini mereka menuju outlet sepatu, berbagai sepatu kerja sampai sepatu sport di beli Cathy untuk Mimi. Lanjut ke alat make up. Penata make up mendengar setiap instruksi dari Cathy dan mulai merias Mimi sambil mengajarinya beberapa trik make up. "Hidung kakak sebenarnya sudah mancung namun batangnya tak terlalu terlihat tegas, untuk memberi kesan tegas. Pakai alat Shading ka, nih seperti ini. untuk poundation kakak pakai di sekitaran pipi juga agar terlihat lebih tirus." Sambil menjelaskan satu persatu, penata rias itu sambil merapikan sedikit alis Mimi dan mendandaninya. "Nanti kalau kakak mau saya kirimin video tutorial make up, jadi kakak bisa praktekin dirumah. Untuk lipstik kita pilih beberapa warna ya, agar tidak boring." Mimi hanya menganggukan kepala, sumpah selama ini Mimi kerja hanya pakai bedak padat dan lipstik yang biasa saja itupun nunggu sampai habis baru dia tergerak untuk membeli yang lainnya. Sementara itu Cathy pun menghilang entah kemana? Hingga ketika Mimi selesai make up, Cathy muncul sambil membawa tentengan beberapa jenis parfum. "Nih aku pilihin parfum yang cocok untuk kamu. Oiya kamu mau potong rambut enggak?" tutur Cathy sambil membayar biaya make up dan alat make up yang kini sudah terbungkus rapi di paper bag. "Enggak Ket, pacar aku suka cewek yang rambutnya panjang." "Oiya, kamu udah punya pacar?" Cathy terlihat antusias dan ingin mendengar cerita dari Mimi mengenai perkenalan dengan pacarnya. "Namanya Rizaldy, biasa dipanggil Zaldy. Kita pacaran sudah lima tahun, Usianya beda setahun diatas aku. Ganteng, tinggi, kurus, dia baru saja lulus S-Satu. Mandiri banget, dia merantau disini, ngekost gitu. Awal ketemu di tempat kerja, dia sering belain aku, bimbing aku. Dia enggak malu punya pacar gendut kayak aku, malah dia sering ngenalin aku ke temen-temennya. Pokoknya dia baik deh, sekarang sih dia lagi nganggur ket, masih cari-cari kerjaan gitu." Cathy hanya mengangguk sambil membulatkan mulutnya. "Kamu sayang banget pasti sama dia ya?" "Hehe iya," "Oiya kamu laper enggak? Kita makan dulu ya sebelum ke kantor, tapi aku lagi pengen makan bakso nih, kita makannya diluar mall aja gimana?" "Aku sih dimana aja boleh," "Haha gitu dong," Cathy merangkul Mimi sambil berjalan, tubuh gempalnya terasa enak dibuat sandaran tangan. Terlebih lagi untuk kedepannya mereka akan bekerja sama, jadi Cathy merasa dia harus secepatnya mengakrabkan diri dengan Mimi. "Eh Mi, klo kita ngomongnya pake Lo gue, mau gak? Usia kita kan juga enggak beda jauh." Mimi terlihat berfikir lalu dia mengangguk setuju atas ajakan Cathy. Ternyata selain cantik, Cathy itu sangat baik, nilai mimi. *** Mereka berdua sudah selesai makan bakso yang ternyata berada tak terlalu jauh dari kantornya, Cathy bilang tempat ini merupakan langganan bakso favoritnya, Pak Restu saja sampai nambah satu mangkok tadi. Namun dia memutuskan makan di meja yang terpisah. Setelah membayar, Cathy menghampiri Mimi yang masih berdiam di meja memperhatikan handphonenya dengan wajah agak murung. Dia sudah berdandan cantik, memakai baju kerja formal. Namun kiriman fotonya ke Zaldy tidak mendapatkan respon. Kekasihnya itu hanya membaca pesannya saja. Padahal Mimi berharap Zaldy memujinya seperti biasanya. Ya hanya Zaldy yang sering memuji Mimi, mengatakan bahwa tubuh Mimi itu bukannya gemuk tapi semok, dan berkata kalau Mimi seksi dengan postur tubuh yang dimiliki sekarang. "Yuk," Cathy mengambil sling bag nya dan menggandeng Mimi, sambil mengelus perutnya yang kekenyangan Cathy berjalan tanpa memperhatikan sekitar, hingga kakinya tersandung oleh kaki panjang seseorang yang seenaknya menjulur dibawah meja. "Ups Sorry..." Ucap Cathy sambil mengangkat wajah melihat orang yang disandungnya. Namun bukan Cathy yang terkejut melainkan Mimi. Ya Mimi sangat mengenal pria itu. Pria yang mengenakan topi hitam, dengan alis tebal. Rahangnya yang tegas dan wajahnya yang bersih tanpa bulu. Hidung mancung yang menjadi kebanggaannya, dia adalah Zaldy, kekasih Mimi selama lima tahun belakangan ini. Bukan itu yag membuat Mmi terkejut, melainkan sosok wanita disamping Zaldy, yang tengah dirangkul Zaldy, tangan Zaldy terlihat leluasa memeluk pinggang wanita itu dari samping, bahkan setelah dilihat Mimipun pria itu nampak tak melepaskan tangannya dari tubuh ramping wanita itu. Mimi ingin berteriak marah, tapi dia tak bisa. Dan seperti biasa dia hanya tersenyum getir, dan berniat melarikan diri dari tempat itu secepatnya. "Mi, tunggu! Aku bisa jelasin sayang." Zaldy berlari mengejar Mimi, meninggalkan wanita yang terlihat tersenyum sinis memandang Mimi. Pemandangan itu tak luput dari perhatian Cathy, betapa dia melihat mata wanita itu memandang remeh Mimi, sebagai teman barunya Cathy tak terima Mimi diperlakukan seperti itu. Dan Cathy pun pura-pura tersandung lagi, dia mendorong gelas berisi jus stroberi yang ada di meja, hingga tumpah ke baju wanita itu. "Ups, Sorry! Kayaknya gue punya masalah keseimbangan deh," Ucap Cathy tanpa rasa bersalah, lalu dia melenggang pergi sambil menaikkan sebelah alisnya ke arah wanita yang mulai mengumpat dengan kata-kata kasar itu. Cathy tak perduli! Di depan mobil, terlihat tangan Mimi ditarik Zaldy, dia memohon maaf pada Mimi, tapi wajah Mimi membuat Cathy prihatin. Dia terlihat terluka, sekaligus terlihat tak berdaya. "Nanti malam aja jelasinnya, aku mau ke tempat kerja aku yang baru dulu." "Mi, Please.. kamu tahu kan aku Cuma sayang kamu." Ucap Zaldy, di kejauhan Cathy bergaya ingin muntah mendengar ucapan Zaldy. Lalu diapun menghampiri Mimi sambil menepuk bahunya. "Ayuk Mi, udah terlambat nih," Cathy menarik tangan Mimi, dan melirik malas pada Zaldy yang jelas-jelas matanya terlihat jelalatan memandang Cathy. Poor Mimi. Mobil itu melaju ke kantor dan masuk ke basement, Cathy memang sengaja meminta pak Restu untuk menurunkan mereka di basement saja. Karena hanya disana ada akses lift langsung yang menuju lantainya. "Are you Oke?" tanya Cathy melihat Mimi yang berkali-kali membuang nafas kasar, seolah hembusan nafas yang keluar dari mulutnya itu membawa serta segala gundah yang ada. "Yap, ini bukan yang pertama kali sih, tapi gue yakin ini yang terakhir kali dia kayak gitu." "Jadi dia udah pernah selingkuh sebelumnya?" Mimi mengangguk lemah, "Hellow Mi, denger ya! Lo gak boleh ngebiarin diri lo disakitin terus sama dia kayak gitu, mending lo tinggalin dia deh." Mimi tersenyum sebelum masuk ke dalam lift. "Buat orang kayak gue, enggak mudah dapetin pacar yang bisa nerima apa adanya Ket, dengan dia yang bisa nerima gue dan enggak malu jalan sama gue aja udah anugerah besar buat gue. Gue gak boleh berharap lebih." Cathy hanya menggeleng, tidak habis pikir dengan apa yang ada di fikiran Mimi. Sebegitu putus asanya kah dia? *** bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD