Dua

1653 Words
“Kemari Joe, ada adikmu yang sedang tayang di TV.” Ajak Ela begitu melihat anak sulungnya baru saja pulang. Joe menghela nafas berat, tapi tetap melangkah mendekti orang tuanya yang sedang fokus pada televisi. Ia melihat adiknya sedang berbincang dengan pembawa acara, tentunya sambil memamerkan senyum manisnya ke kamera. Joe menggelengkan kepala saat menyadari bahwa adiknya itu memang sangat percaya diri dengan dirinya sendiri. “Sepertinya banyak penggemar yang tertarik pada kehidupan pribadimu. Mereka ingin mengetahui, apakah kau memiliki saudara yang mungkin sama tampannya denganmu?” tanya pembaca acara. Loy tersenyum kecil, kemudian menjawab, “Ya, aku punya 1 saudara laki-laki, tapi tidak setampan diriku.” Jawabnya dan Joe tak bisa berkata-kata dengan kepercayaan diri Loy. “Dan 1 saudara perempuan, yang sedikit cantik lah.” jawabnya mengundang tawa penggemar yang datang. “Bisa sebutkan nama mereka?” tanya pembawa acara. Loy tersenyum agak kecut dan merasa menyesal, “Ah, maafkan aku, mereka tidak suka dibahas di televisi. Sepertinya mereka takut kalau teman-teman mereka akan membandingkan wajah kami, karena seperti yang tadi kukatakan, mereka tidak terlalu tampan dan cantik.” Loy masih belum muak menunjukkan betapa pria itu sangat mencintai dirinya sendiri, “Tapi harus kukatakan kalau kami sama-sama memiliki nama panggilan 3 huruf, lebih tepatnya nama tengah kami. Sepertinya kami memiliki Ayah yang sedikit malas berpikir hingga hanya bisa memikirkan nama 3 huruf dan mirip-mirip.” Joe menyemburkan tawanya karena jawaban Loy yang cukup sepemikiran dengannya dan Kay. Adkey berdecih tak terima karena dirinya dianggap sebagai pemalas karena memang ia yang memberikan nama untuk anak-anaknya. “Dasar anak kurang ajar, sudah tahu nama itu berkat, malah sempat memprotesnya di televisi.” Gerutunya. Ela terkekeh karena kecemberutan suaminya. “Sebenarnya nama kami bagus, hanya saja panggilan yang terdengar mirip membuat Ayah dipandang seperti itu oleh anak sendiri.” jelas Joe. “Sudah syukur Ayah mau memberikan kalian nama. Bayangkan kalau kalian tidak memiliki nama.” Adkey membela dirinya sendiri. “Sudahlah, aku mau masuk dan mandi dulu. Aku ada janji dengan teman-teman kuliahku.” Ujar Joe sambil menggendong tasnya dan membawa ke kamarnya. *** “Hei bro.” seru salah satu temannya sambil mengangkat sebelah tangan tinggi-tinggi saat Joe masuk ke dalam rumah besar setelah diarahkan oleh seorang pelayan rumah itu. “Wow, apa ini pertemuan antar pasangan?” tanya Joe saat melihat temannya yang sudah hadir malah berpasang-pasangan. Ia merasa seperti jomblo sendiri di sana. Yah, walaupun hanya 3 pasangan, tapi selain itu tidak ada lagi orang. “Tenang saja, nanti Zayya, Nahla dan Nazeela akan datang. Kau tinggal memilih.” Goda Isaac sambil mengedipkan sebelah matanya. “Ck.” Joe hanya berdecak sebagai tanggapan. “Nah itu Efrat datang.” Alexio selaku pemilik rumah itu kini mengarahkan dagunya sebagai kode menunjuk Efrat yang baru datang. “Sepertinya hanya aku dan Joe yang jomlo di sini. Kulihat di luar, Hans juga membawa kekasihnya.” Desis Efrat sambil memeluk satu-persatu temannya. Ia kemudian duduk di samping Joe sebagai sesama jomlo. “Helo semuanya.” Teriak Zayya. Gadis itu datang bersama Nahla dan Nazeela yang sedang menutup telinga sambil menjauh. Terlalu merusak gendang telinga jika mereka terus mendengar suara cempreng Zayya. “Kenapa harus berlebihan seperti ini hanya untuk mengusir kepergianmu.” Desis Nahla sambil melemparkan bantal sofa ke Alexio. Alexio memang sengaja mengumpulkan mereka sebagai perpisahan karena ia akan menempuh S2-nya di luar negeri. Besok pria itu akan berangkat dan ia tahu tidak akan mungkin teman-temannya memiliki waktu untuknya di siang hari, jadi ia mengumpulkan mereka di malam hari seperti ini. “Oh ya, kudengar Joe dan Efrat akan membuka bengkel bersama.” Zayya melihat ke arah Joe dan Efrat. Efrat menggaruk tengkuknya, kemudian menggelengkan kepalanya, “Orang tuaku tidak setuju untuk bekerja sama seperti itu. Mereka bilang bisa membangunkan sendiri untukku, jadi sepertinya Joe akan melakukannya sendiri.” Joe tersenyum kecil, “Sepertinya aku membatalkan niatku untuk itu karena beberapa alasan.” Jelasnya. Ayahnya sedang sibuk untuk proses pembangunan hotel WL, jadi ia tidak ingin menambahi beban untuk itu. Tadinya ia memang berencana membangun bersama dengan Efrat, sayangnya seperti yang Efrat bilang, orang tuanya tidak setuju, hingga akhirnya Joe terpaksa mengurungkan niatnya. “Oh itu Hans.” Tunjuk Ranu. Joe memutar tubuhnya untuk bisa melihat Hans, tapi ia seketika mengernyit saat melihat gadis yang berjalan di samping Hans. Efrat menyenggol bahunya, “Itu milik Hans, brother.” Ujarnya dengan kekehan mengejek. “Siialan.” Desis Joe karena Efrat mengira dirinya tertarik dengan gadisnya Hans. Nahla menyenggol lengan Nazeela sambil memberikan kode dengan melirik ke arah Joe. Nazeela mengangguk mengerti, kemudian berdiri dan duduk di samping Joe dengan dehaman kecil. “Ah, di sana agak sempit Joe, jadi Nahla menyuruhku pindah.” Ujarnya. Joe terkekeh geli, kemudian meletakkan tangan kanannya di atas punggung sofa, jadi seolah ia sedang merangkul Nazeela, padahal tangannya sama sekali tidak menyentuh punggung gadis itu, “Cemburu?” tanyanya dengan senyum menggoda. Nazeela mengangguk dengan senyum malu-malu, tapi tidak berkata-kata. Joe tersenyum melihat wajah yang menurutnya lucu itu. “Apa aku cantik hari ini?” tanya Nazeela. “Aku bahkan tidak ingat pernah melihat seorang Nazeela tampak tidak cantik.” Ujar pria itu. Nazeela memukul bahu Joe dengan senyum yang tak dapat ia tahan, “Ternyata kau pria penggoda.” Protesnya bersikap seperti ia kesal mengetahui itu, padahal dalam hatinya berdebar-debar. Efrat menyenggol lengan Joe, “Kalau tidak berniat mengencani Nazeela, jangan membuatnya berharap terus menerus.” Sarannya. Nazeela mencubit lengan Efrat, “Ini namanya proses pendekatan. Jangan mempengaruhi Joe.” Protesnya tak terima. “Ah iya, Sabrina.” Ujar Joe tiba-tiba begitu ia teringat dengan gadis yang bersama Hans itu bernama Sabrina. Teman-teman Joe seketika menatapnya dengan bingung, terlebih lagi Hans. Selain melihat Joe dengan pandangan menyelidik, ia juga memandang Sabrina dengan penasaran. “Kau mengenal Joe?” Sabrina menatap Joe sejenak, kemudian mengangguk, “Dia teman di sekolah menengahku.” Jawabnya singkat, kemudian membuang pandangan ke arah lain saat mendapati Joe sedang menatapnya dengan senyum geli. “Karena kita sudah berkumpul, maka kita harus merayakan perpisahan ini dengan berenang. Aku sudah menyiapkan makanan dan minuman di sana.” “Ah, ini sudah malam. Kau pasti gila karena mengajak kami berenang.” Desis Nahla tak terima. Alexio mengedipkan sebelah matanya ke arah Nahla, “Kalau yang kau takutkan adalah kedinginan, maka aku siap menghangatkanmu.” Godanya sambil mendorong pipi kirinya dengan lidah hingga terlihat lebih nakal. “Alexio tidak pernah gagal menjadi gila.” Kekeh Joe, tapi pria itu tetap menyusul teman-temannya. Melihat teman-temannya membuka baju dan hendak masuk ke dalam kolam renang yang ternyata terisi dengan air yang sedikit hangat, terlihat dari asap yang menguap, Joe segera mengungsi untuk mencari minuman. Ia mengambil segelas alkohol dan membawanya ke sisi kolam sambil memperhatikan teman-temannya. “Kau tidak masuk ke kolam?” tanya Nazeela. “Aku lebih tertarik memperhatikan kalian.” Jawab pria itu. “Ah, sangat tidak menyenangkan.” Keluh Nazeela, tapi kemudian gadis itu tetap meninggalkan Joe tanpa memaksanya. “Ayo main bola air. Yang kalah akan menuruti keinginan pemenang.” Tantang Alexio. Teman-temannya menyambut rencana itu dengan bersemangat. Mereka bahkan sangat fokus bermain, baik yang wanita maupun pria. Joe melirik ke kanan dan kiri untuk melihat siapa yang tidak masuk ke dalam kolam, kemudian ia mendapatkan Sabrina di sisi lain yang agak jauh dari posisinya. Dengan senyum nakal, ia menghampiri gadis itu. “Ekhem.” Dehamnya setelah berada di dekat Sabrina. Gadis itu terlalu fokus bermain ponsel. Sabrina menundukkan kepalanya setelah sempat mengangkat pandangan dan bertatapan dengan mata Joe. Bukannya merasakan ketidaknyamanan Sabrina, Joe justru mengambil posisi duduk di samping gadis itu. Sabrina melirik ke arah Joe beberapa kali ketika dirinya masih tidak bisa memahami apa yang sebenarnya pria itu sedang lakukan. Ia merasa perlu mewaspadai pria itu karena ia tidak tahu maksud pria itu mendekatinya. Sesekali Sabrina juga melihat ke arah Hans yang masih asik dengan teman-temannya bermain bola. “Kenapa kau tidak bermain air bersama mereka?” tanya Joe bersikap seolah mereka akrab. “Itu bukan urusanmu. Tidak perlu bersikap seolah kita akrab.” Peringat Sabrina tanpa ragu-ragu. “Kenapa? Bukankah kita adalah teman satu sekolah dulu?” “Tapi kita tidak sedekat itu.” balas Sabrina dengan kesal. Ia bahkan menatap Joe dengan cukup tajam sebagai peringatan bahwa gadis itu tidak ingin diusik dengan pembahasan yang tidak ia ingini. “Mungkin kau tidak tahu apa-apa tentangku, tapi aku tahu banyak tentangmu.” “Kita tidak pernah sedekat itu.” “Aku tahu kau suka dance. Aku juga tahu dulu rambutmu selalu panjang. Selain itu, aku juga tahu kalau kau suka bernyanyi. Bukankah dulu cita-citamu ingin menjadi penyanyi?” Sabrina mengepalkan tangannya cukup kuat karena tak bisa menerima penjelasan Joe mengenai penggambaran dirinya di masa lalu, terlebih saat melihat pria itu tersenyum licik saat menjelaskan semua itu. “Aku tidak pernah menyukai semua hal yang kau sebutkan. Jangan pernah mendiktekan apapun mengenai diriku di masa lalu.” Ujarnya dengan suara yang bergetar. Joe mengernyit bingung, “Kenapa?” Sabrina memilih berdiri dari posisinya dan segera berjalan menuju kolam renang. Ia membuka baju serta rok yang dipakainya, dan memilih menceburkan diri ke dalam kolam renang. Tidak ada yang bisa menggambarkan betapa kacau perasaanya setelah bertemu salah satu teman sekolahnya dulu, padahal niatnya hanyalah menemani Hans saja. “Kenapa kau tiba-tiba memilih berenang?” tanya Hans saat Sabrina mendekatinya. Sabrina memeluk Hans tanpa menjelaskan apapun, tapi pandangannya terarah kepada Joe dan yang membuatnya semakin kesal adalah ketika ia melihat pria itu menatapnya dengan tajam. Ia tidak tahu arti tatapan itu, tapi ia merasa seperti diancam oleh Joe. “Kau kenapa?” tanya Hans sambil mendorong bahu Sabrina menjauh dan menatap wajah gadis itu dengan penuh perhatian. Sabrina menggelengkan kepalanya dengan senyum yang berusaha ia paksakan agar Hans tidak bertanya lagi. Ia tidak ingin mengganggu pria itu dengan teman-temannya yang sedang menikmati waktu mereka. “Aku bermain di ujung kolam saja.” Ujar Sabrina. Hans mengacak rambut sebahu gadis itu itu dan tersenyum menyetujui, “Lihat arah bola, jangan sampai mengenai kepalamu.” Pesannya. Sabrina mengangguk.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD