Tiga

1626 Words
Karena ada perayaan dekat kampus, jadi restoran JKL menjadi cukup ramai ketika jam makan siang. Ela terpaksa turun tangan juga untuk membantu Joe menghidangkan pesanan pelanggann. Karena belum memiliki pekerjaan sendiri, Joe memang disibukkan dengan kegiatan membantu orang tuanya dengan bekerja di restoran mereka. Bukan hanya Joe saya, Kay juga sering datang ke restoran untuk membantu ketika tidak memiliki tugas kuliah atau kegiatan di kampus. Sebenarnya Joe sudah mengirimkan surat lamaran ke beberapa bengkel besar, tapi sayangnya permintaannya tak kunjung ditanggapi. Antonio selaku kakek, sebenarnya sudah menawarinya pekerjaan untuk mempermudah jalan Joe, sayangnya pria itu dengan gigih mengatakan bahwa ia ingin bekerja dengan usahanya sendiri. Antonio tak dapat berbuat apa-apa, apalagi dengan Adkey yang juga tak keberatan dengan apapun keputusan anak-anaknya. Ia hanya bisa menunggu sampai nanti Joe sendiri yang memutuskan untuk mendatanginya saat pria itu benar-benar butuh. “Hai bibi.” Ela tersenyum saat mendapati teman Joe yang tak pernah absen mengunjungi restoran mereka paling tidak seminggu sekali. “Hai Zee. Apa yang kau lakukan?” tanya Ela saat melihat Nazeela membuka jaketnya dan menggantinya dengan celemek yang memang digunakan oleh pelayan restoran. “Aku ingin membantu, bibi, karena aku lihat kalian sangat kerepotan.” Joe tersenyum dan menggelengkan kepalanya, “Tidak perlu merepotkan dirimu dan mengotori pakaian yang indah ini.” Protesnya sembari memeluk Nazeela sambil mengikat tali celemek di punggung gadis itu. “Terima kasih Joe.” Ujar Nazeela begitu celemeknya terpasang rapi, “Sekarang mana yang harus kuantarkan?” “Pergilah membawa ini ke meja nomor 10.” “Baik.” Nazeela mengacungkan jempolnya dengan senyum yang sangat manis. Ketika mulai sore, acara selesai dan kepadatan tadi kini berangsur berkurang. Restoran kembali normal, tidak seramai tadi, dan akhirnya Nazeela bisa beristirahat sambil menikmati americano buatan Joe. “Memangnya kau tidak sibuk sampai bisa membantuku seperti ini?” tanya Joe sambil mengangsurkan tisu untuk membersihkan pakaian Nazeela yang terkena noda makanan di beberapa bagian meski tidak banyak. Nazeela menggelengkan kepalanya, “Aku dipulangkan dengan cepat karena pemilik butik akan pergi ke luar kota.” “Kenapa kau tidak ikut?” “Andaikan semudah itu.” keluh Nazeela dengan hela nafas kasar, “Aku juga ingin ikut dan melihat desaigner ternama dan rancangan mereka. Aku juga ingin belajar dari inspirasi yang kulihat nyata, bukan hanya gambar.” Joe mengacak rambut Nazeela, “Lain kali pasti ada kesempatan untukmu. Masih terlalu muda untuk mengenal kata menyerah.” Ujarnya menyemangati. Saat ini Nazeela memang disibukkan dengan belajar merancang gaun dengan pemiliki butik kenalan orang tuanya. Kalau ia mendapatkan sertifikat dari butik itu, maka orang tuanya berjanji akan membukakan butik sendiri untuknya sekalipun kecil kemungkinan butik miliknya akan mendapat perhatian orang. Pemilik butik tempat Nazeela belajar memang sudah sangat terkenal dengan kemampuannya merancang pakaian yang selalu dipamerkan kepada dunia. Orang tuanya sangat mengapresiasi itu dan ingin anaknya mendapat pengakuan supaya mereka bisa percaya bahwa anaknya memang sudah bisa mengolah butik sendiri dengan kemampuannya. Mau tak mau, Nazeela berusaha keras untuk bisa mendapatkan butik sendiri. Ia ingin membuktikan kepada orang tuanya bahwa ia memang memiliki bakat dan kemampuan untuk menjadi designer yang hebat. “Ini alasan aku selalu datang ke sini, kau pasti bisa mengembalikan perasaan putus asaku menjadi semangat.” Ujar Nazeela dengan senyum malu. “Kau ingin makan apa, Zee?” Ela muncul setelah sempat beristirahat di ruangan yang ada di restoran karena merasa lelah telah bekerja keras sepanjang hari ini. “Oh tidak perlu, bibi. Aku sudah makan tadi.” “Setidaknya kau harus kembali dengan perut yang lebih kenyang.” Ujar Ela dan meminta chef restorannya untuk memasakkan satu menu untuk Nazeela. “Tidak perlu bibi, lagi pula sebentar lagi aku akan pulang.” Ujar Nazeela merasa tak enak hati. Joe tersenyum, “Biarkan saja, Ibu memang kebiasaan tidak mendengarkan pendapat orang lain. Makan lah dulu, nanti aku antarkan kau pulang.” Nazeela mendekati Joe, “Memangnya tidak merepotkan?” godanya. “Kau ingin aku antar kan? Jangan berpura-pura menolaknya karena kau tau kalau aku tidak menawarkan hal baik 2 kali,” “Aku tidak berniat menolaknya sama sekali.” Desis Nazeela tak terima karena Joe berpikir ia akan menolak kesempatan bagus itu. “Joe, ada pesanan di meja nomor 5.” Ujar Ela datang sambil membawa makan berat untuk Nazeela yang langsung berdiri dan menerima kebaikan wanita itu. Joe segera pergi untuk melayani pelanggann restoran. “Terima kasih bibi, maaf merepotkanmu.” Ujar Nazeela tak enak hati. “Tidak masalah, kau juga sudah membantu tadi.” Ela duduk di kursi lain dekat Nazeela dan membiarkan gadis itu menikmati makanannya, sementara ia sendiri menikmati minuman yang ia buat tadi untuk melegakan tenggorokannya yang terasa kering. “Tidak perlu terlalu sering berkunjung kalau kau sibuk, Zee. Kau juga perlu istirahat kan?” ujar Ela. Nazeela meneguk ludahnya dengan khawatir dan menatap Ela agak sungkan, lalu meletakkan piringnya dan mengangkat gelasnya untuk minum. “Apa bibi terganggu dengan kehadiranku?” tanyanya terus terang. Ela menggeleng dengan cepat, “Oh tidak sama sekali, tapi aku mengerti kalau kau juga lelah dengan pekerjaanmu sendiri.” jelasnya sebaik mungkin agar tidak menyinggung perasaan Nazeela. “Apa Joe belum peka juga?” tanyanya hati-hati. Nazeela tiba-tiba terbatuk karena tersedak minumnya setelah mendengar pertanyaan dari Ela. Dengan sifat keibuannya, Ela menepuk-nepuk punggung Nazeela, “Kau ini hati-hati kalau minum.” Ujarnya sambil mendekatkan air minum ke depan Nazeela agar lebih mudah diraih oleh gadis itu. “Pertanyaan bibi terlalu aneh.” Komentar gadis itu dengan sedikit bersungut. “Di mana letak anehnya?” tanya Ela dengan santai. “Aku tidak mengerti maksud pertanyaan bibi?” Nazeela berusaha mencari alibi untuk menghindar. Ela menggelengkan kepalanya, “Kau jelas terbatuk karena mendengar pertanyaan dariku, jadi di mana letak kalimat yang sulit untuk dipahami?” ejeknya, cukup heran dengan alasan Nazeela untuk mengelak. Nazeela mengetuk kepalanya sendiri karena merasa malu, “Maafkan aku bibi, tapi ini terlalu memalukan.” Ela terkekeh, “Tidak perlu malu, aku juga pernah muda dulu. Siapapun bisa mengetahui bahwa kau menyukai Joe hanya dengan memperhatikan kalian saja.” Nazeela sedikit merengut mendengar pernyataan itu, “Tapi kenapa Joe tidak menyadarinya juga?” ujarnya mengambil fakta yang sangat jelas. Joe selama ini seperti tidak merasakan perhatian darinya. “Karena sepertinya ia menganggapnya hanya candaan saja.” Jelas Ela. “Aku memang membuatnya dalam bentuk candaan, Bibi, tapi aku rasa itu sudah sangat jelas. Hanya saja, Joe yang memang kurang peka dan berpengalaman dalam hal ini.” Gadis itu memajukan bibirnya ketika Joe datang dan menghentikan pembahasan dua wanita beda usia itu. *** Seperti janjinya tadi, Joe kini mengantarkan Nazeela pulang ke apartement gadis itu menggunakan mobil ibunya. Mereka tidak banyak bicara sepanjang perjalanan, hanya sekadar membahas kegiatan Nazeela sepanjang minggu ini, lalu disibukkan dengan karaoke dadakan di dalam mobil ketika lagu yang terputar adalah lagu kesukaan keduanya. Nazeela terpaksa merelakan perpisahan dengan Joe saat ia sudah melihat gedung apartemen yang menjulang tinggi. Rasanya perjalanan mereka terlalu singkat, meski mereka sudah menghabiskan beberapa list lagu yang dinyanyikan bersama. Gadis itu turun dari mobil begitu Joe memberi kode dengan menggerakan alis pria itu sambil melirik apartemen Nazeela. “Aku akan turun. Hati-hati dalam perjalanan pulangmu.” Pesan gadis itu. Joe tersenyum, “Aku ada urusan lain, jadi tidak langsung pulang.” “Yang pasti, aku hanya mengingatkan untuk berhati-hati.” Ujar Nazeela dengan kekeuh. Begitu gadis itu masuk ke dalam gedung apartemen, Joe mulai melajukan mobilnya. Kebetulan ia ada janji dengan pamannya, Alvaro Der Wikler di Wikler Entertaiment. Joe memarkirkan mobilnya di basement dan langsung naik menuju lantai teratas karena pamannya berada di sana. Ia menemui beberapa karyawan kantor yang sepertinya sangat sibuk sambil memperhatikan bagaimana mereka berinteraksi di tengah kesibukan mereka. Joe tersenyum saat menyadari bahwa dulu ia pernah berpikir hidup di dunia kerja pasti akan menyenangkan. Kenyataannya, Joe harus terbangun tiba-tiba karena ketika ia beranjak dewasa dan akhirnya menyelesaikan kuliahnya, ia akhirnya sadar bahwa mencari pekerjaan saja begitu sulit, apalagi berada di dalamnya. Ia mengabaikan fakta bahwa kini ia masih belum mendapatkan pekerjaan dan tiba-tiba saja dirinya berpikir untuk menerima tawaran kakeknya untuk bekerja di Wikler Entertaiment. Wikler Entertaiment adalah perusahaan hiburan yang kakeknya bangun atas keinginan pamannya—Alva—karena pria itu melihat peluang besar dalam dunia hiburan dan hitung-hitung mendukung salah satu keponakannya yang menjadi bagian dari dunia hiburan itu sendiri. Akhirnya kakeknya setuju meski dengan berat hati dan penuh pertimbangan. Pintu lift hampir saja tertutup begitu orang terakhir selain Joe keluar di lantai 4, tapi sebuah tangan menahannya dan membuat pintu kembali terbuka. Joe cukup terkejut saat dirinya melihat ada Sabrina di hadapannya. Gadis itu masuk dengan wajah judesnya begitu melihat Joe saja yang berada di dalam lift, sekalipun awalnya ia juga sama terkejutnya dengan Joe. Di belakang Sabrina, Joe mengamati gadis itu dari ujung rambut yang terikat, kemeja yang sedikit kusut, bahkan sampai ke tumit high heelsnya. Semua itu tidak luput dari pandangan Joe sampai mereka tiba di lantai 7 dan sama-sama keluar. Joe mengikuti gadis itu meski ia tidak tahu ke mana Sabrina akan pergi. Sabrina melirik kanan kirinya ketika ia merasa dibuntuti oleh Joe. Saat merasa sudah kelewatan, ia berbalik dan menatap Joe dengan kesal, “Kenapa kau mengikutiku?” tanyanya sangat ketus. Joe mengerjap beberapa kali, lalu menggelengkan kepalanya, “Aku tidak mengikutimu. Aku hanya ingin ke ruangan pamanku saja.” Jelasnya. “Joe.” Joe menoleh saat namanya diserukan dari belakangnya. Joe menoleh sebentar ke arah pamannya, kemudian menatap Sabrina dengan tatapan mengejek, “Benarkan, aku mencari ruangan pamanku, hanya saja aku tidak tahu di mana ruangannya, jadi aku berjalan sembarang arah.” Ujarnya. Sabrina menundukkan kepalanya saat matanya bertatapan dengan Alva dan merasa begitu malu karena telah menuduh Joe mengikutinya, sekalipun ia yakin bahwa Joe memang mengikutinya dan menjadikan pamannya sebagai alasan saja. Tiba-tiba ia merasa takut kalau pekerjaannya di sana terancam jika Joe mengatakan hal yang tidak-tidak pada pamannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD