“Kenapa kau tidak langsung ke ruanganku?” tanya Alva begitu mereka duduk di sofa ruangannya.
Joe terkekeh kecil, “Aku hanya sedang berkeliling saja. Oh ya, siapa gadis yang tadi itu, Paman?” tanya Joe penasaran mengapa Sabrina bisa berada di gedung Wikler Entertaiment.
“Gadis yang mana?” tanya Alva bingung.
“Sabrina Bon.” Ujar Joe dengan kesal. Pamannya itu memang mudah sekali lupa, padahal usianya belum setua itu.
“Nah, itu kau sudah tahu sendiri. Jadi untuk apa lagi bertanya?” desis Alva.
“Maksudku apa posisinya di sini? Apa dia seorang trainee untuk menjadi penyanyi atau artis?” tanya Joe sedikit ragu sebenarnya. Ia sangat yakin kalau Sabrina tidak akan seberani itu untuk menjadi artis atau public figure. Gadis itu akan berpikir puluhan juta kali untuk masuk ke dalam dunia hiburan dan menjadi pemeran utamanya.
“Ah, masalah itu aku kurang tahu. Dia masih baru bekerja di sini dan kalau tidak salah, dia adalah satu-satunya yang direskomendasikan pihak kampus kepada kami karena dia pernah membuat coreograpgy untuk grub pernyanyi pertama kami tahun lalu.”
Joe menganggukkan kepalanya, “Oh ya, Paman, sebenarnya aku sedikit ada masalah dan merasa tidak seharusnya aku mengatakan ini pada Paman lebih dulu, tapi untuk mengatakannya pada Ayah, rasanya terlalu tidak mungkin. Ayah sedang sibuk dalam pembangunan hotel ke-2nya.” Ujar Joe.
Ia sudah mempertimbangkan hal ini matang-matang dan kini ia yakin kalau ia memang harus meminta bantuan pada pamannya itu. Mungkin keputusan itu terlalu gegabah karena ia tidak meminta izin pada orang tuanya terlebih dahulu, tapi rasanya tidak mungkin baginya untuk semakin memberatkan ayahnya.
“Apa itu?” tanya Alva mengernyit cukup kentara.
“Bisakah kau membantuku membangun sebuah bengkel? Aku punya sedikit tabungan, tapi aku rasa itu tidak cukup. Dan untuk hal uang seperti ini, aku tidak ingin membebankan Ayah untuk sementara waktu.”
Alva menghela nafas kasar dan menatap Joe dengan ragu, “Aku bisa saja membantumu Joe, tapi sepertinya sangat lancang sekali kalau aku melangkahi posisi Ayahmu. Dia akan sangat marah jika tahu anaknya tidak mengatakan apa-apa padanya dan malah mengadu padaku.” Jelasnya. “Lebih baik kau katakan lebih dulu pada Ayahmu dan kalau memang ia tidak ingin membantu, maka aku akan mentransfer dana yang kau butuhkan.”
Joe menggaruk kepalanya yang tiba-tiba terasa gatal setelah mendapat penolakan. Ia mengangguk dengan sedikit keberatan, “Aku akan mempertimbangkannya lagi kalau begitu. Paman benar, hal ini nantinya malah akan merusak hubungan persaudaraan kalian.”
“Hubungan kami tidak akan semudah itu rusak, tapi Ayahmu akan kecewa padamu karena kau tidak terbuka padanya, padahal apapun yang kau ingin lakukan, dia selalu mendukung penuh.” Jelas Alva.
“Aku hanya tidak ingin membuatnya terbebani dengan rencanaku.”
“Lagipula mengapa kau tidak menerima tawaran kakekmu saja. Dia punya perusahaan yang bisa dimanfaatkan untuk lapangan pekerjaan dalam jangka panjang. Mereka tidak akan memecatmu hanya karena beberapa kesalahan. Gajinya juga pasti jauh lebih tinggi dibandingkan penghasilan di luar sana.” Jelas Alva untuk membuka pemikiran yang lebih luas bagi Joe.
“Aku mengerti, hanya saja, aku takut menjadi ketergantungan dalam mengandalkan apa yang Kakek miliki.”
“Itu semua tergantung dari pemikiranmu sendiri. Kau harus bisa membedakan apa yang perlu Kakekmu bantu dengan apa yang memang harus kau tanggungjawabi sendiri.”
***
Joe tidak menyangka bahwa ia akan berbicara sangat lama dengan pamannya sampai tidak menyadari waktu sudah berlalu begitu cepat dan saat ini menjelang jam 6 sore. Ketika menuju basement menggunakan lift, Joe kembali satu lift berdua dengan Sabrina dan itu membuatnya tersenyum kecil saat melihat gadis itu berusaha menghindarinya dengan berdiri agak jauh dari Joe.
“Kenapa kau menghindariku?” tanya Joe.
Sabrina tidak menoleh sama sekali, tetapi membalas ucapan Joe dengan ringan, “Aku tidak merasa kita pernah dekat dulu. Kenapa kau merasa aku sedang menghindarimu?”
Joe menganggukkan kepalanya, “Bagaimana kalau kita dekat sekarang?”
Sabrina segera keluar di lantai 1 karena tidak ingin berbicara lebih lama dengan Joe. Meski tujuan Joe adalah basement, tapi ia tak ambil pusing dan malah memilih mengejar Sabrina. Dengan tangan yang ia masukkan ke saku celana, ia berjalan berdampingan dengan gadis itu hingga Sabrina merasa lebih terganggu.
“Apa Hans menjemputmu? Aku bawa mobil dan bisa mengantarkanmu ke tujuan dengan selamat.” Ujar pria itu dengan berbaik hati menawarkan sebuah kebaikan.
“Aku bisa pulang sendiri.” Ujar Sabrina dengan judes.
“Ternyata Hans tidak seperhatian itu menjadi kekasih.” Ejek Joe.
Sabrina menatap Joe dengan sangat kesal, apalagi setelah mendengar pria itu menjelek-jelekkan Hans di hadapannya. Itu membuatnya semakin yakin untuk menghindari Joe. “Kau tidak berhak menilai Hans seperti itu.” desisnya sangat sinis.
“Memangnya salah? Bukankah dia memang tidak perhatian padahal di sini kekasihnya butuh jemputan.” Joe masih berulah dengan memanas-manasi Sabrina.
Sabrina menghadap ke arah Joe dan menatap pria itu dengan tajam, “Dia bukan pengangguran sepertimu sampai bisa menyempatkan waktu untuk mengganggu kekasih orang lain. Dia punya pekerjaan dan aku bisa memaklumi pria yang bekerja keras sepertinya.”
Joe sedikit tersinggung dengan perkataan Sabrina barusan, tapi ia berusaha abai dengan hal itu dan malah mengalihkan pembicaraan, “Oh ya, aku ingat bahwa sebulan lagi ada acara pentas seni di Sekolah kita dan kau pasti tahu kalau alumni sering diundang untuk hadir. Aku bisa menyampaikan hal itu pada Hans kalau kau belum menyampaikannya. Pasti seru bertemu dengan teman-teman lama kita.”
Sabrina mengepalkan tangannya sambil menatap tajam Joe, bahkan giginya sampai bergemelutuk sangking marahnya ia pada Joe dan ingin sekali mencakar bahkan merusak wajah dan bibir itu agar tidak lagi menyebalkan. Ia benar-benar tidak mengerti alasan Joe masih saja mengganggunya sejak pertemuan mereka terakhir kali.
Ia sangat yakin bahwa dirinya tak pernah memiliki kesalahan di masa lalu yang membuat Joe perlu membalaskannya sekarang atau di masa yang akan datang. Bahkan ia bisa menghitung berapa kali interaksi yang ia lakukan dengan Joe semasa sekolah mereka dan itu tidak sampai pembicaraan yang membuat tersinggung sama sekali.
Dulu juga Joe sama sekali tidak tertarik untuk mengganggunya seperti yang sekarang pria itu lakukan dan itu membuatnya sangat kesal. Dan semakin banyak interaksi mereka saat ini, itu malah semakin membuat Sabrina khawatir untuk terus bertemu dengan Joe.
“Apa maumu?” tanya Sabrina setelah satu hela nafas kasar untuk mengalah.
Joe tersenyum puas begitu melihat gadis itu mengalah meladeninya dengan ketus. Dengan binar picik, Joe mengeluarkan ponsel dari sakunya dan menyerahkannya pada Sabrina. Sabrina mengerti hal itu dan segera meraih ponsel Joe dan memasukkan nomor ponselnya ke ponsel pria itu.
Joe tersenyum geli, “Nomor siapa yang kau masukkan?” tanyanya.
“Tentu saja nomorku. Kau mau nomorku kan?” tanya Sabrina semakin kesal lagi.
Joe terkekeh geli, “Kenapa kau kegeeran seperti itu. Aku ingin nomor orang tuamu.”
Sabrina membulatkan matanya, “Untuk apa? Kau gila?” tanyanya refleks. Tak mengerti dengan pemikiran Joe yang gila sekali. Tidak pernah ada orang yang meminta nomor telpon orang tuanya padanya, bahkan Hans sekalipun. Itu bukan sesuatu yang bisa ia bagikan pada orang lain begitu saja. Joe memang benar-benar sudah gila.
“Aku mau itu.” kekeuh Joe.
“Jangan gila Joe, kau tidak ada kepentingan untuk menemui mereka.” Desisnya.
Joe melipat tangannya di depan d**a dan menatap Sabrina dengan geli, “Lalu untuk apa kau memberiku nomormu? Memangnya kita ada kepentingan?”
“Sebenarnya apa maumu?” tanya Sabrina benar-benar kesal. Ia merasa malu dan dipermainkan oleh Joe.
“Aku ingin nomor orang tuamu? Apa sesulit itu mendapatkan nomor mereka?”
“Aku tidak bisa memberikan nomor orang tuaku kepada orang asing. Aku bisa menuruti permintaan yang lain, asal bukan nomor mereka.”
“Bagaimana kalau kita berkencan sekali waktu.”
“Apa maksudmu? Aku sudah punya kekasih.”
“Hanya jalan bersama, memangnya itu bisa mengubah statusmu dengan Hans. Ya, kecuali kau berniat menjadikanku yang ke-2. Aku rasa aku bersedia.” Goda pria itu.
“Baiklah, kencan sekali saja. Kapan?”
Joe mengulurkan kembali ponselnya, “Berikan saja nomormu di sini, lalu aku akan memberitahukan waktu yang tepat untuk kita berkencan.”
Sabrina benar-benar sudah kehilangan kesabaran karena Joe berhasil menguras semua tenaga yang ia simpan. Dengan hela nafas kasar, ia mengigit bibirnya dan menarik ponsel itu, memasukkan nomornya tanpa berpikir panjang. Ia tidak ingin mendebat pria itu karena ia yakin kalau dirinya akan kalah.
***
Joe masuk ke rumahnya dan langsung menghempaskan tubuhnya ke sofa begitu saja saat melihat ada ibu, ayah, dan Kay. Mereka langsung menoleh padaku secara bersamaan ketika mendengar sebuah helaan nafas kasar.
“Ada apa dengan hela nafasmu itu? Kau seperti orang yang sudah berkeluarga dan punya anak 5.” Ejek Kay.
“Ini lebih berat dari punya anak 5.” Ujar pria itu. Sesekali Joe melirik ayah dan ibunya bergantian sambil mempertimbangkan apa yang akan ia sampaikan. Sedikit ragu memang, tapi ia juga butuh mendengarkan saran dari mereka. “Ayah, Ibu, menurut kalian berapa biaya yang diperlukan untuk membuka sebuah bengkel?”
Adkey mengernyit, “Kau mau membukanya sendiri? Bukankah katamu, temanmu itu tidak jadi buka bersama.”
“Aku hanya bertanya saja.” Ujar Joe acuh tak acuh agar tidak terlihat begitu serius pada pembicaraan ini.
“Sepertinya akan cukup mahal.”
“Kalau aku bekerja di Wikler Enterprise atau Wikler Entertaiment, menurut Ayah, perlu waktu berapa lama bagiku untuk bisa mengumpulkan uang yang cukup banyak untuk membangun sebuah bengkel?”
“Hal itu tidak bisa ditentukan begitu saja, Joe. Gaji itu tidak sama, tergantung pada posisimu. Dan kau juga tidak bisa mengukur berapa yang dapat kau kumpulkan jika nantinya kau malah banyak menghabiskannya untuk keperluan yang tidak penting dan malah berfoya-foya.”
“Memangnya kau ingin bekerja di Wikler Enterprise?” tanya Ela sambil menatap putra pertamanya itu.
“Aku hanya sedang mempertimbangkannya. Walau bagaimanapun, aku tidak bisa hanya bekerja di restoran saja dan mengandalkan kalian. Aku juga perlu untuk mendewasakan diriku dengan bekerja di tempat lain.”
“Wah, ternyata Joe sudah dewasa.” Ejek Kay.
Joe memukul kepala adiknya itu dengan bantal sofa, “Kerjakan saja tugasmu itu, jangan hanya memainkan ponsel. Kalau tidak nanti kau akan jadi pengangguran seperti aku.”
“Itu nasibmu. Kalau aku jelas nanti bisa sukses dengan caraku sendiri.” desisnya dengan cukup sombong.
“Kita lihat saja.” Ujar Joe menantang adiknya itu.
“Pergilah mandi, lalu makan malam Joe.” Saran Ela.
“Tapi aku masih belum selesai berbicara.” Protes Joe.
“Nanti kita lanjutkan begitu kau mandi. Baumu sangat tidak menyenangkan, Joe.” Ujar Adkey dengan kekehan mengejek anaknya. Joe berdecih sinis, tapi tetap memilih pergi meninggalkan keluarganya.