Sabrina mencampakkan ponselnya ke atas tempat tidur begitu melihat ada sebuah panggilan dari sebuah nomor yang sudah ia berikan nama ‘pengganggu’ yaitu panggilan dari Joe. Ini sudah seminggu Joe mengganggunya dengan terus mengirimkan pesan atau melakukan panggilan suara. Awalnya pria itu hanya mengirimkan pesan yang mengatakan bahwa itu adalah nomornya dan Sabrina harus menyimpannya.
Lalu setelah itu, pria itu menghubunginya dan mengiriminya pesan untuk hal-hal yang tidak perlu dan hanya menganggunya dengan pertanyaan tidak penting, seperti :
“Sabrina, menurutmu di mana aku bisa membeli baju yang murah?”
“Menurutmu berapa biaya yang diperlukan dari rumahku ke apartemenmu? Berapa jarak yang harus kutempuh? Coba sebutkan alamatmu.”
“Sabrina, jika kau naik bus pada pukul 08.00 dengan kecepatan 50 KM/Jam menuju Wikler Entertaiment, jam berapa kira-kira kau sampai di tempat tujuan?”
Sabrina mengabaikannya dan membiarkan Joe dengan keabsurdannya. Sesekali dia sengaja memasang mode silent supaya tidak mendengar notifikasi dari ponselnya, tapi terkadang hal itu membuatnya tanpa sengaja juga jadi tidak mengetahui adanya pesan dari Hans yang harus segera ia balas dan terkadang itu membuat Hans berpikiran buruk sangking posesifnya pria itu.
Ting nung
Sabrina mengernyit begitu mendengar suara bel apartemennya dan segera menghampiri pintu dengan waspada karena takut tiba-tiba saja ada Joe di depan pintu apartemennya. Setelah melihat bahwa yang datang adalah Hans melalui monitor pintunya, ia akhirnya membuka pintu dan tersenyum menyambut kedatangan pria itu.
“Apa yang kau lakukan Sabrina sampai akhir-akhir ini lama sekali membalas pesanku?” tanya Hans dengan wajah ditekuk sambil masuk dan langsung memeriksa setiap sudut di apartemen Sabrina. Gadis itu mengikuti dari belakang Hans, tanpa melarang sama sekali, karena bukan pertama kalinya Hans seperti itu.
Hans itu memang sangat posesif dan pencemburu yang handal, Sabrina sering kewalahan menghadapi sifat Hans yang seperti itu, tapi ia tahu bahwa pria itu memang sangat mencintainya. Ia tidak masalah jika Hans memeriksanya seperti itu meski awalnya ia tersinggung karena Hans mengiranya bermain dengan pria lain di belakang pria itu.
Setelah tidak menemukan apapun di dalam apartemen itu, Hans menatap Sabrina dengan hela nafas lega, lalu memeluk gadis itu dengan wajah manjanya, “Aku pikir kau punya pria lain sampai bisa mengabaikanku akhir-akhir ini.”
Sabrina melingkarkan tangannya di tubuh Hans tak kalah erat, menikmati betapa pria itu bisa menenangkannya. Akhir-akhir ini ia merasa selingkuh dengan Joe, meski sebenarnya ia tak menanggapi pria itu.
Hans mengurai pelukan mereka dan merangkum wajah Sabrina, “Aku merindukanmu.” Ujarnya dan mengecup bibir gadis itu sebentar.
“Aku kan sudah bilang kalau aku benar-benar sibuk dan akhirnya mengaktifkan mode silent di ponselku.” Ujar Sabrina menjelaskan.
Mereka berjalan ke sofa dan duduk bersebelahan di sana. Sabrina mengusap tangan Hans yang menggenggamnya, “Kenapa kau datang? Bukankah kau bilang juga sibuk?”
“Iya, aku sibuk, tapi perasaanku tak tenang karena memikirkanmu terus. Bagaimana kalau kita jalan malam ini?” ajak Hans sambil menaik-turunkan alisnya.
Sabrina menggelengkan kepalanya, “Aku tidak bisa. Ada laporan yang sedang kukerjakan dan besok harus dikumpulkan. Temani aku bekerja, bagaimana?” Sabrina memberikan penolakan dan penawaran lain agar mereka tetap bisa bersama.
Hans menggelengkan kepalanya, “Kalau tahu begitu, tadi seharusnya aku membawa beberapa berkas dan laptop supaya aku juga bisa mengerjakan pekerjaanku di sini.” Ujarnya.
“Kau bisa menjemputnya.”
“Tapi aku malas, Sa. Lebih baik menyuruh supirku mengantarkannya ke sini.” Ujar Hans.
Sabrina menghela nafas kasar, “Apa harus selalu membiasakan diri untuk menyuruh orang lain padahal kau sendiri bisa melakukannya?” desis gadis itu.
Hans menarik Sabrina untuk dipeluk dan keningnya dikecup oleh pria itu, “Kalau orang lain bisa melakukannya, kan tidak apa-apa. Lagi pula aku bisa menghabiskan waktu dengan memelukmu sekarang.”
“Aku tidak akan habis jika tidak dipeluk seperti ini. Aku juga tidak mungkin hilang hanya karena ditinggalkan satu jam.” Desis gadis itu.
Hans tertawa geli mendengar ucapan Sabrina yang menurutnya lucu, apalagi melihat wajah judes gadis itu, “Kau lucu jika sedang marah.” Kekeh Hans.
“Apa pernah ada yang lucu saat sedang marah?”
“Tapi kau tidak cocok marah, Sa. Itu sangat menggemaskan. Kau pasti menyadari bahwa kau akan sangat menggemaskan jika marah, jadi kau sengaja menunjukkannya padaku agar aku menciummu kan?” selidik Hans dengan jahil sambil mendekatkan wajahnya ke wajah Sabrina.
Sabrina membulatkan matanya tak percaya dengan pemikiran Hans yang seperti itu, “Aku tidak segenit itu.” elaknya sambil memukul lengan Hans dengan gemas.
Hans tertawa puas dan menarik tangan Sabrina agar berhenti memukulnya, lalu ia semakin mengeratkan pelukan mereka. Sabrina menyandarkan tubuhnya di d**a Hans dan dapat mendengarkan setiap detak dari jantung pria itu. Ia terkekeh setiap merasakan degubannya, lalu mengangkat kepala untuk menatap Hans sebentar dengan rasa kagum karena ia bisa merasakan ketulusan Hans.
“Hans.”
“Ya?” jawab Hans.
“Apa yang akan kau lakukan kalau seandainya aku selingkuh?” tanya Sabrina seperti cari mati dengan pertanyaan seperti itu. Bagaimana tidak? Pertanyaan itu pasti akan menimbulkan pemikiran atau bahkan dugaan buruk di kepala Hans.
Hans langsung menatap Sabrina dan melotot, lalu menggelengkan kepalanya sambil berpikir, lalu setelah itu, ia seperti mendapatkan jawaban, “Tentu saja aku akan menghabisi pria yang memiliki hubungan denganmu, supaya kau tahu rasanya ditinggalkan oleh orang yang kau sayang terlalu menyakitkan, jadi jangan berani meninggalkanku.”
“Lalu kalau ternyata orang itu adalah sahabatmu, bagaimana? Kau juga akan melakukan hal yang sama?”
Hans langsung menatap Sabrina dengan penuh kebingungan, “Sahabatku mengajakmu selingkuh? Atau sebenarnya kalian sedang selingkuh?”
Sabrina menggelengkan kepala dengan panik, “Tidak, tidak, maksudku bukan seperti itu. Aku hanya bertanya saja. Aku sama sekali tidak berpikir untuk mengkhianati pria sepertimu.”
“Pria seperti apa maksudmu aku?” tanya Hans dengan mata menyipit penuh selidik.
Sabrina menangkup wajah Hans, “Pria yang tidak mungkin dijadikan pilihan kedua ataupun diduakan. Kau terlalu sempurna Hans untuk dikhianati.”
“Meskipun posesif dan pencemburu yang suka berpikiran negative?” tanya Hans.
Sabrina tertawa geli, “Kecuali untuk sifat buruk yang itu. Itu terlalu berlebihan. Aku seperti kekasih yang tidak dipercayai sama sekali.”
“Itu bukan karena aku tidak percaya padamu, tapi aku takut kalau kau tertarik pada pria lain. Kau cantik, pasti banyak yang menginginkanmu.”
“Kau juga tampan, jadi kenapa harus takut kehilangan seorang wanita sepertiku?”
“Karena perasaan nyaman tidak bisa dirasakan dengan siapa saja.”
***
Sabrina dan Hans benar-benar menghabiskan waktu bersama untuk mengerjakan pekerjaan mereka masing-masing, meski kegiatan itu hanya dilalui dengan suara keyboard laptop yang saling bersahutan dan sesekali suara kertas yang dibalikkan. Mereka saling memunggungi, tapi saling bersandar satu sama lain.
Kegiatan itu berlangsung cukup lama, sampai Sabrina lebih dulu selesai dan akhirnya melalukan peregangan sambil berdiri dari posisinya. Merasa ada yang hilang dari punggungnya, Hans menoleh kepada Sabrina dan ikut melakukan peregangan juga.
“Sudah selesai?” tanya Hans sambil menutup mulutnya yang menguap. Ia sudah sangat lelah dan mengantuk. Ingin sekali rasanya ia langsung memeluk bantal dan tidur di bawah selimut untuk mengistirahatkan tubuhnya yang hari ini telah bekerja keras.
Pekerjaannya memang cukup banyak, tapi ia sudah menyicilnya dan itupun bukan pekerjaan yang harus ia selesaikan dalam waktu dekat. Karena Sabrina sejak tadi masih sibuk, jadi Hans juga menggunakan waktunya dengan tepat agar tidak perlu membuang waktu.
“Sudah? Bagaimana denganmu?” tanya Sabrina sambil merapikan barang-barangnya dan meletakkannya secara teratur di atas meja belajarnya. Hans juga menutup laptopnya, tapi ia meletakkan di atas meja yang ada di tengah sofa. Hanya saja ia membereskan kertasnya yang juga berantakan.
Hans itu memiliki sifat yang mudah mengikuti, misalnya Sabrina sedang melakukan kebersihan, pasti ia akan terbawa suasana dan akhirnya ikut melakukan apa yang Sabrina sedang lakukan. Sifat rapi Sabrina adalah sifat paling positif yang terbawa kepada Hans meski ia sendiri atau berada di rumah keluarganya.
Sebelumnya, Hans adalah orang yang tidak begitu peduli untuk membereskan beberapa benda yang ia berantaki, tapi setelah bersama Sabrina sejak 5 bulan yang lalu, ia baru mulai memperhatikan kerapian segala hal yang ada di sekitarnya, meski tidak secermat Sabrina.
“Aku sudah mengantuk sejak tadi, Sa.” Aku Hans dan langsung mendekati tempat tidur wanitanya itu, lalu melemparkan dirinya dan langsung memeluk bantal, seperti baru menemukan kenyamanan yang sebenarnya hari ini.
Sabrina merapikan barang-barang Hans, lalu setelah selesai, ia pergi ke kamar mandi untuk sikat gigi dan mencuci kakinya. Tidak butuh waktu lama baginya untuk berada di kamar mandi, hingga akhirnya ia menyusul Hans yang sudah terbaring telungkup.
“Sa, peluk aku.” Pinta Hans begitu merasakan ranjang yang bergerak karena Sabrina naik ke tempat tidur.
Tanpa diminta 2 kali pun, Sabrina langsung memeluk Hans dengan senang hati sambil mengusap kepala pria itu. Ia sesekali menyugar rambut Hans, “Ada masalah di kantor?” tanya Sabrina.
Hans menggelengkan kepala sambil tangannya semakin mengeratkan pelukan dengan Sabrina, “Aku hanya lelah bekerja terus.” Jelasnya, “Kau juga tidak ada masalah apapun kan?”
“Ya seperti biasa, bosku marah-marah kalau pekerjaan kurang beres meski hanya sedikit saja.”
“Itu sebabnya aku bilang kau bekerja di perusahaan Ayahku saja.” Ujar Hans.
Sabrina merenung ketika menyugar rambut Hans, lalu berkata, “Kau saja ingin keluar dari perusahaan Ayahmu, tapi malah menyuruh orang lain masuk.” Desisnya.
“Aku ingin keluar karena tidak ingin selalu tergantung dengan orang tuaku masalah pekerjaan. Aku juga bisa mencari pekerjaan lain di luar sana dan supaya mereka tahu kalau aku juga sudah dewasa untuk bisa bekerja dengan kemampuanku sendiri.”
“Wajar kalau mereka mengharapkanmu, apalagi kau adalah anak laki-laki terakhir yang bisa mereka andalkan. Kau pernah bilang sendiri kan waktu itu kalau Noam (kakak laki-laki Hans) tidak bisa diharapkan karena ia sendiri tidak tertarik pada bidang bisnis sebagaimana kau menyenanginya. Jadi, kau memang harusnya mengembangkan apa yang keluargamu miliki. Itu namanya bukan tergantung pada apa yang mereka miliki, tapi tergantung bagaimana kau tetap bekerja keras sekalipun orang lain mengatakan kau hanya mengandalkan milik orang tua saja”
Hans mengangguk, lalu mengangkat kepalanya, “Kiss me, please.” Ujarnya dengan wajah memelas.
Sabrina terkekeh, lalu menarik kepala Hans untuk kembali rebah ke bantal, “Kau selalu m***m sekalipun matamu sudah mengantuk seperti itu.”
“m***m itu adalah kebutuhan.” Jawab Hans sambil tertawa geli sendiri.