2. Operasi plastik

2005 Words
Langit biru tanpa awan menggambarkan suasana hati Sinta hari ini. Begitu cerah, tadi malam dia sampai tidak bisa tidur memikirkan bertapa senang dirinya. Walau berulang kali bisikan terus terdengar olehnya, tapi Sinta berpikir itu hanya makhluk iseng tidak ada kerjaan. Sinta memang pernah melihat makhluk tidak kasat mata walau bukan anak indigo atau punya mata batin karena desanya memang percaya akan hal seperti itu dan sesekali dia bisa melihatnya sendiri. Kuntilanak di atas pohon yang menangis, pocong melompat di dekat pohon beringin, sampai genderuwo tertawa. Sampai di dalam kantor suasana menjadi aneh, saat Sinta menuju meja kerjanya untuk mrngerjakan laporan beberapa teman sedivisinya menatapnya kemudian tertawa sambil menunjuk-nunjuk ponsel mereka. Sinta tidak peduli dan tetap melanjutkan pekerjaannya karena berpikir mereka hanya menertawakan rambut palsu miliknya. Sampai Sinta ingin benar-benar ke toilet karena sudah tidak tahan menahan pipis. Dia paling benci tempat itu karena di tempat itu semua penyiksaan dilakukan, baru saja akan masuk dia mendengar suara yang tidak asing. Siapa lagi kalau bukan suara tiga kucing garong. "Kocak sih, ini," kata Nindya sambil tertawa. "Si genduk jelek harus tau," timpal Fanny. Ya, itulah julukan untuk Sinta si gendut jelek. "Ngapain loe berdiri di depan pintu toilet, hah?!" marah Judith, "badan gendut loe itu makan tempat tau gak! Minggir gue mau masuk!" Judith menabrak badan Sinta dan masuk ke dalam. "Oh, ternyata dari tadi Si gendut jelek nguping, ya." Fanny tersenyum sinis. "Kebetulan, 'kan tadi kita mencari dia dan sekarang dia muncul," timpal Nindya, "kami ingin menunjukkan ini padamu." Nindya berjalan mendekat kemudian memperlihatkan layar ponselnya yang berisi foto saat Daniel dan Sinta di taman kemarin. Foto itu menunjukkan Sinta memajukan bibirnya sambil menutup mata berharap dia bisa dicium sang pujaan hati, sedangkan Daniel memundurkan badan seperti jijik. Santi tidak yakin dengan hal itu, dia yakin itu hanya editan saja. "Aku tidak akan percya Daniel begitu, pasti hanya editan." Ketiga wanita di hadapannya hanya tersenyum mengejek "Terserah, susah memang ngomong sama orang gendut jelek ditambah bodoh lagi," ejek Fanny. Santi kemudian masuk ke dalam bilik toilet dengan wajah lesu, setengha hatinya menolak bahwa foto itu asli tapi setengahnya lagi mengatakan itulah kenyataannya. Lagipula saat itu Sinta menutup matanya dan tidak tau bagaimana ekspresi Daniel. Sampai dua hari kemudian pun Sinta tetap menjadi bulan-bulanan akibat foto yang tersebar ke seluruh kantor itu. Setiap orang kantor melihat Sinta pasti selalu tersenyum mengejek, ada juga yang terang-terangan mentertawakannya. Hari ini adalah hari di mana Sinta akan mendengarkan jawaban atas pernyataan cintanya tempo hari, Daniel sudah memberikan pesan padanya agar saat jam makan siang mereka berangkat bersama dan hal itu kembali membuat Sinta berbunga-bunga. Bulan-bulanan yang dilontarkan orang-orang hanya dia anggap musik pengiring di tengah kebahagiaannya, dia sangat percaya diri akan diterima menjadi pacar Daniel. "Jadi, apa jawaban kamu?" tanya Sinta tidak sabar sambil mengigit sedotan di minuman yang baru beberapa saat datang. "Jawaban aku, iya aku mau jadi pacar kamu," jawab Daniel enteng. Mata Sinta seketika langsung berbinar, dia tidak percaya bahwa di dalam hidupnya dia juga dapat merasakan yang dinamakan pacaran. "Jadi, kita resmi pacaran mulai hari ini?" tanya Sinta antusias, Daniel hanya mengangguk. Selesai jam makan siang mereka bergandengan tangan menuju e kantor. *** Di lain tempat wajah Fanny terlihat tidak suka setelah membaca pesan yang masuk. "Aku udah gak tahan lagi, cukup!" serunya uring-uringan. "Baiklah-baiklah kita akhiri sore ini juga," jawab Judith membuat Fanny tersenyum lega. Menjelang sore, dengan tergopoh-gopoh Sinta menemui trio kucing garong setelah membaca pesan dari Judith. Dia diminta menuju ke _rooftop_ kantor. Dengan napas terenga-engah Sinta membuka pintu rooftop bercat merah pudar itu. "Sini." Fanny lagsung menarik tangan Sinta untuk mengikuti mereka. "Ada a ...." Sinta tidak jadi meneruskan kalimatnya karena Judith melotot dan mengisyaratkan agar Sinta diam saja. Perasaannya jadi tidak enak, dia hanya bisa berharap tidak dirundung oleh mereka bertiga sore ini. Mereka berhenti di balik tembok yang memisahkannya dengan bagian pinggir _rooftop_, gedung pencakar langit terlihat dari atas sana berada di hampir semua tempat. Sedangkan rumah para warga terlihat sangat kecil, lautan lalu lintas juga tidak lupa menjadi hiasan. "Jadi, mana sini dong bayar," ujar sebuah suara yang merupakan suara Daniel. Sinta senang karena bisa melihat pujaan hatinya itu dan tanpa sadar akan melangkah maju, tapi tangannya dicekal oleh Fanny. "Betah juga loe deketi dia terus ditembak," komentar Ridwan. "Ya, itu mah gampang buat gue. Dianya aja yang murahan, lagipula awal gue nyapa dia juga karena kasihan. Disapa sekali doang langsung suka." Daniel terkekeh. "Yaudah ntar jangan lupa tagih sama Judith dan Tumini, 'kan loe dah menang taruhan ini." Ridwan tersenyum miring. "Siapa yang loe panggil Tumini, hah?!" tanya Nindya emosi. Yap, itu adalah nama depan Nindya yaitu Tuminindya. Tapi, dia paling benci disebut dengan nama yang menurutnya kampungan. "Nih, uang taruhan kita. Terus kata Fanny udahin aja dia gak kuat liat loe deket-deket sama Si gendut jelek," tambahnya. "Lha, perjanjiannya 'kan seminggu," protes Ridwan. "Sekarang gak lagi!" seru Fanny sambil menyeret Sinta ke luar dari tempa persembunyian mereka. Kaki Sinta terasa lemas, dia masih mencerna semuanya. Hatinya tidak bisa menerima semua ini, sangat sakit dan sesak air mata tumpah dari pelupuk mata Sinta. Jadi, dia hanya menjadi bahan taruhan saja. "Ja ... jadi aku cuma dijadiin taruhan, ka ... kamu gak suka sama aku?" tanya Sinta sesenggukan. "Wah, ternyata otak kamu gak cuma penuh lemak aja ya. Udah paham ternyata, baguslah gak perlu aku capek-cepek jelasin lagi," jawab Daniel. "Gini 'kan enak, semua udah kelar." Fanny langsung bergelayut manja di lengan Daniel. Mereka kemudian tertawa puas melihat wajah sedih dan patah hati Sinta. Setelah puas tertawa mereka segera pergi dari tempat itu meninggalkan Sinta sendirian dengan kejamnya. "Aku ini memang bodoh, harusnya aku udah duga gak mungkin ada lelaki yang mau sama wanita jelek, gendut, dan tua kayak aku," hinanya kepada diri sendiri sambil terus berlinang air mata. "Lihat saja, aku gak akan nyerah. Akan kubuat kalian mengakui aku!" Sinta mengepalkan tangan keputusannya sudah bulat untuk melakukan operasi plastik demi mengubah penampilan. √ *** Walau itu yang Sinta tekadkan, namun kenyataan tidak mudah. Dia jadi makan tambah banyak sambil menangis di kosannya, tidak hanya itu kebiasaan lamanya kembali muncul padahal dia sudah lama meninggalkan kebiasaan itu. Sinta mengiriskan cutter ke tangannya, agak jauh dari bagian urat nadi. Di sana di menggambarkan hati yang terbelah dua. Cairan merah ke luar dari kulit yang sedikit diiris menjadi warna dan membentuk gambar hati terbelah dua itu. Tidak sampai di situ Sinta juga melakukan hal sama di tangan kanannya, di kedua kakinya bahkan di perut. Perih yang terasa saat dia mengiris permukaan kulitnya menjadi pelarian untuk sakit hati dan sesak di dadanya itu. Sinta merasa lega menyakiti diri sendiri walau itu sama sekali bukan cara benar untuk menyembuhkan luka. Keesokan harinya dengan penampilan yang lebih mengerikan dia merasa jauh lebih baik. Kemeja panjang putih menutupi kedua tangan bekas irisan tadi malam, di tambah rok panjang sampai mata kaki dengan motif kupu-kupu. Bukan baju atau rok Sinta yang mengerikan, tapi wajahnya. Kantong mata hitam besar di bawah mata, jerawat besar di seluruh wajah, dan jangan lupakan rambut awut-awutan dan hanya disisir ala kadarnya itu. Tidak lupa kacamata bulat miliknya juga. Sinta masih menjadi bahan olok-olokkan karena peristiwa kemarin, tapi dia sudah tidak lagi peduli yang dia pedulikan saat ini hanya uang dan uang saja. Dia bertekad untuk mengumpulkan uang demi operasi plastik dan harus berhemat. Dia mengambil lembur setiap hari untuk upah tambahan walau lelah. _Sinta gak akan kirimkan uang selama beberapa bulan ke depan, uangnya mau Sinta kumpulkan karena ada keperluan yang penting._ Pesan singkat itu langsung dia kirim ke ponsel orangtuanya yang ada di kampung, Sinta membelikan mereka ponsel jadul yang hanya bisa untuk SMS dan telepon saja agar dia bisa memberikan kabar. Walau Sinta yakin pesan itu akan terbaca sangat lama karena di desanya masih sulit sinyal. Seminggu adalah waktu meredanya kabar Sinta dijadikan bahan taruhan oleh anak direktur utama dan teman-temannya, akhirnya hal itu bisa membuat Sinta bernapas lega. Dia juga sudah mulai diet, namun percuma saja jika melihat makanan yang menggiurkan pasti dietnya gagal. *** "Akhirnya!" sorak Sinta dengan mata berseri melihat buku tabungan di tangannya. Setelah setangah tahun dia lembur dan menjalani hari-hari membosankan akhirnya terkumpul juga uang yang dia inginkan, Sinta sudah bisa membayangkan dia sebentar lagi menjadi cantik dan langsing. "Dadah lemak jelek, dadah wajah jelek. Selamat datang kecantikan! Selamat datang pujian dan para lelaki, ahhh!" Dia melompat kegirangan. Beberapa hari setelahnya Sinta minta cuti karena dia juga belum menangmbil jatah cutinya, jadi dia diizinkan. Dengan semangat sepulang kerja dia berganti pakaian, memakai topi hitam untuk menutupi wajahnya takut ketahuan oleh trio kucing garong dan bisa-bisa rencana Sinta digagalkan. Dengan sangat hati-hati seperti pencuri yang takut ketahuan, Sinta masuk ke dalam salah satu klinik kecantikan. Klinik itu cukup terkenal dengan rating bagus di internet, anehnya adalah dia melihat rating klinik itu tanpa melihat harganya. Alhasil Sinta menjadi terngaga sendiri melihat sederetan angka jutaan di harga operasi plastik yang dia impikan. Dengan wajah lesu dia kembali pulang ke kosannya, dia membuka topi hitam buluk yang dia pakai dan mulai memikirkan cara agar uangnya cukup. "Gimana, ayo otak berlemak berpikir!" geram Sinta sambil mengetuk-ngetuk pelipisnya dengan jari telunjuk. Dia masih belum menemukan cara dan akhirnya tertidur. "Hah, aku ketiduran. Jam berapa ini?!" Sinta langsung melihat ponsel yang tergeletak di lantai, sekarang sudah siang, "pantesan aku kebangun ternyata aku laper!" hebohnya sambil bersiap membeli makanan di luar gang. Setelah membeli makanan dan menyantapnya dengan lahap, Sinta mandi sambil berpikir. "Nah!" Dia menjentikkan jarinya dengan senyum senang membuat lemak pipinya naik. Sinta telah menemukan cara agar dia bisa menjalani operasi plastik itu. Dengan menggunakan mobil sewaan Sinta kembali ke desanya yang memakan waktu seharian untuk sampai ke sana. Setelah melalui perjalanan panjang akhirnya dia tiba di sana, menjelang malam Sinta baru tiba. Namun, perjalanannya tidak sampai di sana karena dia harus menaiki rakit menuju ke seberang dan berjalan lurus lagi melewati sekitar hutan kurang lebih lima belas menit untuk sampai ke rumahnya. "Sinta!" panggil seorang ibu tua yang sudah keriput ke arah Sinta yang baru tiba di depan pintu rumahnya. Baru saja Surtinem--ibu Sinta memasang obor di dinding rumah mereka yang terbuat dari anyaman bambu dan kemudian tidak sengaja melihat anaknya yang pulang. Sinta langsung mendekat dengan membawa tas yang cukup besar kemudian menyalami ibunya. "Pak, sini Pak ada Sinta!" jerit Surtinem sambil melihat ke dalam rumah. Dengan tergopoh-gopoh seorang pria yang paruh baya yang memakai peci dan sarung ke luar dari dalam rumah. "Ya Allah Sinta, kapan pulang kenapa gak bilang-bilang?" tanya Handoko dengan riang. "Barusan aja, jauh banget ini desa sampai malam aku baru sampai," gerutunya. Surtinem dan Handoko hanya tersenyum melihat tingkah Santi yang tidak jauh berubah. "Ayo, masuk," kata Surtinem, sedangkan Handoko membawa tas besar Sinta. "Sinta akan tinggal di sini beberapa hari karena ambil cuti," jelasnya dengan ketus. Sebenarnya dia tidak suka kembali ke sini, bukan hanya karena sinyal yang susah tapi juga kenangan buruk di tempat ini Masih belum bisa dia melupakan hal itu. Tapi, demi misinya dia rela. "Alhamdulillah," sahut kedua orangtuanya serentak sambil mengadahkan tangan ke udara. Sambil tinggal di desa Sinta sibuk mencari orang yang mau membeli sawah, sapi dan menggadaikan rumahnya dengan mahal. Sampai dia mencari ke kampung sebelah tidak peduli dengan tatapan gadis desa di sana yang tidak berubah, masih saja sinis dan mengejek. Setelah hampir tiga hari mencari akhirnya Sinta menemukan orang yang mau membeli sawah, tidak lupa juga orang yang mau menghutanginya banyak uang dengan jaminan rumah mereka itu. "Pak, Bu, serahkan sertifikat rumah dan sawah kalian," pinta Sinta seusai makan malam. "Untuk apa?" tanya Handoko. "Ya buat dijuallah. Sinta ke sini itu mau jual ladang, sapi, sama mengadaikan ruma Bapak dan Ibu biar Sinta cantik dapat jodoh, itu 'kan yang selama ini Bapak dan Ibu mau. Aku dapat jodoh!" jelasnya dengan wajah memberengut. "Ta ... tapi kami gak punya apa-apa lagi selain itu, Nak. Kamu sudah setengah tahun ini gak kasih kami uang dan itulah hasil kami satu-satunya untuk menyambung hidup," sahut Surtinem mencoba memberikan pengertian pada anak semata wayangnya itu. "Tenang aja nanti Sinta ganti kok, mana cepet sini kasih!" bentak Sinta tidak sabar. Tidak lama suara pintu diketuk terdengar dari luar rumah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD