3. Susuk

2058 Words
"Cepet ambil, Pak!" Sinta mendorong badan bapaknya menuju ke kamar, "apa Bapak sama Ibu mau Sinta gak dapat jodoh karena jelek dan gendut, gitu!? Atau sekalian aja aku gak usah pulang ke sini lagi!" sungutnya. "I ... iya bapak ambilkan." Handoko segera masuk ke dalam kamar dan mencari sertifikat rumah juga sawah milik mereka. Sinta langsung menuju ke depan rumah disusul oleh ibunya untuk membukakan pintu. "Silakan, silakan masuk," ujar Sinta dengan ramah. Dua orang itu tersenyum kemudian masuk ke dalam secara bersamaan. "Ini sertifikatnya." Handoko menyerahkan sertifikat itu ke atas meja, Sinta langsung memberikannya kepada kedua lelaki yag merupakan tamu itu. "Baik, ini uangnya seperti yang sudah kita sepakati," tutur bapak berkumis lebat. Sinta langsung menyalami si bapak dan tanpa basa-basi tamu pertama pergi. "Baik, ini juga uangnya seperti kesepakatan. Saya buru-buru jadi permisi dulu." Tamu kedua yang mengenakan kemeja dengan rambut klimis menyerahkan amplop cokelat. "Terima kasih, silakan. Mari saya antar." Sinta mengikuti tamu kedua sampai ke depan pintu, wajahnya begitu berseri melihat banyak uang di hadapannya. "Bapak dan Ibu tau tidak anak pak RT yang suka beli sapi dulu? Sinta sudah cari tapi tidak ada," tanyanya tanpa memalingkan pandangan dari dua amplop cokelat di meja. "Sudah menikah beberapa bulan lalu dan pindah ke kota yang Ibu gak tau ada di mana," jawab Surtinem. "Kalau begitu besok Bapak cari yang mau beli sapi Bapak, sisakan satu induknya dan yang kecil. Uangnya kasih sama Sinta soalnya masih belum cukup ini," perintahnya. Handoko hanya bisa mengangguk dan melakukan yang anaknya itu minta. Setelah mendapatkan apa yang dia mau Sinta langsung pamit ke kota dan meninggalkan sedikit uang untuk orangtuanya itu, tidak lupa menyuruh mereka mencari kerja mulai saat itu juga. Tidak ada terbesit dalam hatinya saat ini untuk melunasi rumah yang telah dia gadaikan, pikirannya saat ini hanya dipenuhi operasi plastik dan menjadi cantik. *** Dress merah cabai dipadukan dengan sepatu hak tinggi hitam, anting-anting yang berkilauan dan tidak lupa tas berwarna senada dengan sepatunya menghiasi penampilan Sinta pagi ini. Setelah menjalani sakitnya operasi plastik dia menjadi kurus dan lebih cantik. Dirinya merasa seperti seorang model, sambil mengibaskan rambut Sinta menyapa semua orang. "Maaf, Anda siapa ya? Tersesat atau ada perlu dengan seseorang di kantor ini?" tanya Daniel yang baru saja masuk. Pertanyaan Daniel itu mewakili semua orang yang melihat dengan heran. Rasa sakit hati yang dulu pernah ada sudah hilang hanya dengan melihat wajah tampan Daniel, ternyata Sinta masih suka kepada pemuda di hadapannya itu. "Ini aku, Sinta," jawab Sinta dengan percaya diri, "bagaimana penampilan baruku? Cantik 'kan? Aku sekarang bukan wanita gendut dan jelek lagi." Sinta berputar memperlihatkan tubuhnya yang sudah langsing. "Si ... Sinta?" tanya Daniel tidak percaya. Sinta mengangguk, bibir dengan lipstik merah cabe itu melengkung ke atas membentuk senyuman. Sedetik kemudian Daniel terkekeh, begitu juga dengan semua yang ada di sana membuat Sinta menjadi heran bercampur bingung. "Ada apa ini?" tanya Judith yang baru masuk bersama dengan Fanny dan Nindya. Fanny langsung menggandeng tangan Daniel. "Kamu kenapa Sayang kok ketawa sampai segitunya?" Fanny juga ikutan bertanya. "Ngapain kalian juga ikutan ketawa udah sana kerja!" seru Nindya membubarkan para karyawan lain. Mereka kemudian pergi dari sana. Daniel mencoba menghentikan tawanya dan berdeham. "Jadi, ini Sinta. Lucu banget 'kan?" tanya Daniel, ketiga mata wanita itu langsung menatap orang yang dimaksud dari ujung kepala sampai ujung kaki. "Oh, jadi ini Si gendut jelek." Judith melihat lebih dekat ke arah Sinta sambil memutari badannya. "Wah, ternyata dia cuti buat operasi plastik sama sedot lemak," ejek Judith sambil bertepuk tangan. Perasaan Sinta mulai tidak enak, tapi dia tetap mencoba tegar. Dia sudah cantik sekarang dan mungkin karena itu trio kucing garong iri pada dirinya. "I ... iya dong, aku juga mau berubah jadi cantik kayak kalian," sahutnya sok berani padahal terlihat jelas kalau dia gugup. "Kalau kami jelas canti dari lahir, lha kamu. Kalau udah jelek ya jelek aja," hina Nindya sambil menunjuk Sinta. "Aha, aku punya julukan baru buat dia. Monster plastik, cocok banget 'kan?" tanya Fanny sambil terkekeh. "Iya, bagus," sahut Judith dan Nindya bersamaan. Hati Sinta terasa tercabik-cabik mendengar julukan itu, apakah salah jika dia ingin berubah seperti mereka? Bisa saja 'kan setelah berubah seperti sekarang ini dia bisa mendapatkan apa yang tidak bisa dia dapatkan saat menjadi gendut dan jelek. Sinta menuju ke toilet tidak sanggup lagi menahan air mata yang akan segera tumpah. Sesampainya di toilet dia mengunci pintu utamanya agar tidak ada yang masuk. Dia terduduk di salah satu bilik sambil terisak, padahal dia hanya ingin seperti orang lain. Bisa mendapatkan teman, bahkan pacar dia ingin bahagia bukannya selalu dihina. Semua orang yang dia tau hanya memandang fisik saja tanpa peduli hal lain, mereka menilai hanya berdasarkan seberapa bagus kulit mereka, dandanan mereka, pakaian mahal mereka, sampai kendaraannya. "Aku gak akan nyerah!" seru Sinta setelah tangisnya reda kurang lebih hampir setengah jam, dia akan mencari cara lain agar bisa disukai dan diakui orang lain. Kembali Sinta mencari cara. Kali ini dia belajar mekap, memadukan baju, sepatu, dan tas yang pas dan tidak lupa untuk merawat dirinya lebih lagi. Setelah semua usaha yang dia lakukan Sinta tetap tidak pernah dianggap dan terus dijuluki monster plastik, tidak hanya itu saja semua orang terkadang terang-terangan membicarakan dirinya. Pagi ini, Sinta sudah dibuat jantungan karena Wiryo--direktur utama perusahaan tempat Sinta bekerja memanggilnya. Jarang sekali atasannya itu memanggil dirinya, terakhir kali mereka bertemu adalah saat Sinta diangkat menjadi karyawan tetap di divisi pemasaran. Setelahnya Sinta jarang bahkan tidak pernah bertemu Wiryo. Sinta mengembuskan napas sejenak, kemudian mengetuk pintu ruangan Wiryo. "Masuk," ucap sebuah suara berat dari dalam. Sinta membuka pintu perlahan "Permisi, Pak." Dia langsung masuk ke dalam. Di sana ternyata juga sudah ada Judith yang menatapnya dengan tatapan sinis sekaligus mengejek. "Silakan duduk." Wiryo berdiri dari kursi kerjanya dan menuju ke sofa tamu yang tidak jauh dari sana dan duduk. Sinta menyusul duduk di depan anak dan ayah itu. "Langsung saja ke intinya alasan kenapa saya memanggil kamu ke sini karena saya tidak punya banyak waktu." Wiryo meminum teh yang tersaji di hadapannya, "jadi saya mendapatkan banyak laporan dan keluhan tentang penampilan kamu itu. Memang sekarang kamu sudah jauh lebih cantik berkat operasi plastik, tapi ... harap tau diri sedikit. Sadari posisi kamu, jangan hanya karena penampilan berubah kamu sudah berani menggoda para karyawan saya," ungkap Wiryo yang sama sekali tidak Sinta mengerti. "Saya tidak pernah melakukan itu, Pak," bantah Sinta tegas. "Saya lebih percaya laporan Judith daripada kamu," tegas Wiryo. Sinta melihat Judith sekilas dan ternyata dia menyinggungkan senyum licik. Terkadang dia bingung apa salahnya pada Judith, Fanny, Nindya dan seluruh karyawan kantor sampai mereka semua membencinya seperti itu. "Ada lagi yang mau kamu sampaikan? Kalau tidak ada silakan ke luar." Wiryo menunjuk ke arah pintu ke luar. Sinta berpikir sejenak mencoba untuk membantah tudingan kejam itu. "Saya ini dijuluki monster plastik sama mereka semua, Pak. Jadi, mana mungkin mereka mau dengan saya apalagi sampai saya goda. Saya sakit hati dengan mereka jadi untuk apa saya goda mereka," tutur Sinta akhirnya menemukan alasan yang cukup bagus menurutnya. "Bisa saja 'kan karena kamu dendam dikatakan seperti itu kamu terus menggoda mereka agar mereka terpancing," balas Judith. "Benar apa yang Judith katakan. Pokoknya saya tidak mau tau, sekali lagi saya menerima laporan ini kamu akan tanggung resikonya. Sekarang ke luar kalian berdua!" Sinta dan Judith berdiri kemudian ke luar dari ruangan itu. Mereka berjalan sampai ke depan pintu lift. "Kenapa kamu sampai segitunya, apa salah aku sampai kamu dan yang lain benci sama aku?" tanya Sinta akhirnya memecah kesunyian diantara mereka. "Karena itu memang tempat loe!" jawabnya tanpa rasa berdosa, kemudian pintu terbuka dan Judith ke luar lebih dulu. Untuk kesekian kalinya usaha Sinta tetap gagal. *** Cara terakhir yang Sinta pikirkan adalah memasang susuk. Dari yang dia dengar dulu, susuk membuat orang suka kepada orang yang memasang susuk itu. Selain itu juga susuk ada berbagai macam, ada susuk wibawa, susuk pemikat dan pengasihan. Sinta bekerja kerasa kembali seperti saat dia ingin melakukan operasi plastik, uang ini akan dia gunakan sebagai mahar. Karena hal seperti mahar atau bayaran juga syarat-syarat tertentu sudah pasti ada. Dia sengaja menggunakan baju yang seksi ke kantor karena kesal dituduh menggoda para karyawan, akan dia wujudkan saja apa yang Judith katakan kepada Wiryo walau ujung-ujungnya Sinta kembali dipanggil dan diberikan surat peringatan terakhir sebelum akhirnya akan dipecat jika mengulangi hal itu sekali lagi. Siksaan dari trio kucing garong juga semakin ganas, tapi Sinta mencoba melawan melindungi wajah dan tubuhnya yang cantik karena hal itu dia dapatkan dengan susah payah. Setelah beberapa bulan akhirnya dia bisa mengumpulkan uang itu, dan segera meminta izin dua hari dengan alasan sakit. Sinta segera menyewa mobil dan membawanya sendiri ke lokasi yang dia tuju. Sinta sudah mencari tau tempat beberapa dukun yang bisa memasangkan susuk. Setelah sampai di kota dan mencari pekerjaan, pekerjaan pertamanya adalah menjadi pengantar makanan dan itu membuat Sinta harus mengambil kursus mengemudi baik sepeda motor atau mobil kemudian mendapatkan SIM, maka dari itu dia bisa pergi sendiri. Mobil dia parkirkan agak masuk ke dalam hutan dekat jalan tol, kemudian Sinta mengambil ranting pohon dan dedaunan untuk menutupi mobil yang dia sewa itu. Santi kemudian terus berjalan di tengah kegelapan hutan dan hanya dibekali senter kecil. Suara burung hantu yang nyaring menemani langkahnya, perlahan dia melangkah menginjak ranting pohon kering menimbulkan suara di tengah kesunyian. "Serem banget," gumam Sinta saat masuk lebih jauh, hawa dingin menusuk. Dia merapatkan jaket hitam sekalian memeluk tubuhnya sendiri. "Akhirnya!" seru Sinta senang setelah menemukan rumah di tengah hutan yang dia cari. "Pergi aku tidak menerimamu, pergi!" jerit seseorang yang hanya terlihat hitam saja. Cahaya bulan purnama perlahan menerangi membuat Sinta jadi bisa melihat sosok lelaki berjenggot tipis yang beridiri di depan pintu rumah tujuannya itu. "Sa ... saya sudah bawa maharnya Mbah, tolong jangan usir saya. Saya ke sini perlu pertolongan Mbah untuk pasang susuk," mohon Sinta sambil mengambil uang dari dalam tas dan menunjukkannya. "Tidak, aku tidak butuh uangmu. Aku tidak mau berurusan dengan makhluk itu!" Tunjuk si lelaki berenggot, sontak Sinta langsung melihat ke belakang tubuhnya. Tidak ada apapun di sana, dan saat Sinta berbalik lelaki itu sudah menghilang. Perlahan dia merasa merinding dan memutuskan pergi dari sana. Dukun pertama gagal, Sinta harus semakin jauh pergi karena hanya rumah dukun itu yang paling dekat. Jam sudah menunjukkan pukul tiga dini hari, dia memutuskan tidur di dalam mobil untuk meneruskan perjalanan esok pagi. Pagi menjelang, Sinta meneruskan perjalanan. Dia tidak punya banyak waktu karena besok dia sudah harus kembali bekerja. Dukun kedua menolak mentah-mentah Sinta dengan wajah ketakutan sampai melemparinya dengan kerikil. Kembali Sinta menuju ke tempat ketiga yang lebih jauh lagi. Di tempat ketiga yang dekat dengan gunung akhirnya Sinta sampai, dia langsung turun dan mengusap kedua tangannya, hawa di sini jauh lebih dingin lagi. Setelah bertanya pada beberapa warga setempat akhirnya dia menemukan sebuah rumah yang terpencil dan jauh dari rumah warga lainnya. "Permisi." Sinta mengetuk pintu kayu di hadapannya. "Halo, permisi saya butuh bantuan," tambahnya lagi. Setelah cukup lama menunggu dan mengetuk pintu, pintu itu terbuka. Seorang wanita tua bungkuk memakai tongkat muncul. "Permisi apakah Nyai orang sakti di sini?" tanya Sinta. Wanita keriput berambut putih hampir seluruhnya itu melihat Sinta dari ujung kaki ke ujung rambut. "Kau ke sini mau bertarung denganku?!" tanyanya dengan tatapan mata tajam. "Tidak, Nyai. Saya ke sini mau minta tolong bukan bertarung. Saya ingin pasang susuk biar banyak orang suka sama saya," jelas Sinta. "Terus kenapa kau bawa pasukan?" Matanya yang hitam dan tajam melihat ke arah belakang tubuh Sinta. "Pasukan?" Sinta malah balik bertanya karena bingung. "Kalau kau ke sini tidak ingin bertarung maka masuklah. Ucapakan pada pasukanmu itu jangan masuk." Nenek yang dipanggil nyai itu kemudian masuk ke dalam. Sinta menurut saja walau menurutnya tidak mengerti. "Jangan ikut masuk!" serunya sambil melihat ke arah belakang, dia kemudian membuka alas kaki dan masuk. "Duduklah," kata si nenek mempersilakan. Sinta duduk di depan sebuah meja kecil, di tengah mereka ada lilin. Bau dupa begitu menyengat di seluruh ruangan itu. "Jadi, tadi katamu kau mau memasang susuk agar banyak orang suka padamu?" tanya kembali si nenek memastikan. Sinta mengangguk mantap sampai tanpa sadar tangannya menyentuh meja beralaskan kain merah itu. "Baik, akan aku kabulkan." Si nenek mengangguk, Sinta sangat senang mendengar jawaban itu, "maharnya sudah kau bawa?" tanyanya kembali. Dia langsung menujukkan tas hitam yang sedari tadi dia bawa dengan setia dan dipegang dengan hati-hati itu. "Bagus, kalau begitu mari kita mulai pemasangan susuknya." Sang nyai tersenyum miring.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD