LEMBAR 6

1044 Words
Bukan hanya sekedar menyapa, tapi Ariska ingin waktu Iqsa bisa lebih banyak dari pada ini. Ariska tidak tahan jika Iqsa mengabarinya selalu mepet dengan waktu saat dia bekerja. Menyapanya saat makan siang dan meninggalkannya setelah itu. Dalam sehari, dapat dihitung dengan jari berapa pesan yang dikirim oleh Ariska pada Iqsa. Begitu pula dengan Iqsa yang membalasnya dengan manis seperti kata 'aku sayang kamu' ketika dia akan meninggalkan Ariska dan kembali untuk bekerja. Satu hal yang perlu Ariska simpan dalam pikirannya adalah dimana ketika Ariska sedang ada masalah dengan keluarga, teman dan bahkan dengan dirinya sendiri ada Iqsa di sampingnya. Walaupun Iqsa tidak di sampingnya secara langsung, tapi Iqsa selalu ada untuk Ariska. Dia biasanya langsung menelepon atau bahkan sekedar menuliskan pesan agar Ariska tetap punya semangat hidup. Dulu. Tapi itu Iqsa yang dulu. Iqsa yang sangat memperhatikan Ariska dengan caranya. Iqsa dengan kekonyolan yang membuat Ariska tertawa sampai mengeluarkan air mata. Iqsa yang biasanya merangkul bahunya saat Ariska ingin ditenangkan. Dan Iqsa yang seperti itu yang di rindukan Ariska. Selalu. Selalu di rindukan. "Sa, kemana aja seminggu ini ?" Ariska membuka sapaan malam itu dengan kalimat yang langsung pada intinya. Iqsa mendongkak menatap Ariska di depannya. Kini mereka sedang makan malam di salah satu restoran yang sama sekali bukan yang Ariska mau. Restoran itu adalah restoran mahal. Dan yang seperti ini bukan style seorang Iqsa. Bukan Ariska tidak menyukai itu, hanya saja, Iqsa sekarang benar – benar bukan Iqsa yang dulu. Yang membawa Ariska ke tempat ramai orang dan makanan sederhana. Dan sekarang, Iqsa tidak seperti itu. "Proyek yang aku jalani sukses, Ris. Kamu jangan komen aku bawa ke restoran ini. Sekali - kali bolehlah nongkrong di sini," kata Iqsa. Ariska diam lalu mengangguk kecil. Makanan di depannya memang menggugah selera jika dilihat, bahkan membuat Ariska kelaparan. Tapi tidak, Ariska tidak ingin memakannya. Bukan tidak ingin. Tapi ini hanya makanan yang seharga dengan uang mingguan miliknya yang ia tabung setiap minggu. Walaupun kebanyakan uangnya disimpan di tabungan yang diketahui orang tuanya, tapi Ariska setiap minggu mengambil uang untuk kebutuhan sehari - hari. Dan uang itu, seharga dengan daging di hadapannya saat ini. "Kenapa ga di makan ? Gak suka ?" Tanya Iqsa, “atau mau yang lain ?”   Ariska kini menatap Iqsa, "Kamu tau ga sih ? Kamu tuh beda banget sama Iqsa yang dulu - dulu." "Beda gimana ? Ini aku. Abraham Iqsa. Kamu mau aku gimana ? Sama aja kayak dulu," jawab Iqsa cepat. "Beda tau. Ini tuh bukan kamu banget. Biasanya kamu kalo dapet proyek gini, uangnya di tabung. Katanya buat ngelamar a- " "Ariska. Uang aku udah cukup buat ngelamar kamu. Tapi aku belum siap aja buat nikah sama kamu," potong Iqsa. Jawaban seperti biasa. Belum siap. "Aku tau kamu nunggu aku lulus, tapi kan seengganya kamu bisa ngiket aku ke jenjang yang lebih serius. Orang tua kamu, orang tua aku udah pada kenal. Dan ya, tunggu apalagi ?" Sebenarnya, Ariska hanya ingin memastikan semuanya aman. Iqsa akan selalu ada di sampingnya jika diikat dengan serius. Dan Ariksa akan selalu terbuka kepada Iqsa sama seperti biasanya. Namun, melihat sikap Iqsa yang tidak mneganggap serius hubungan ini, rasanya Ariska akan mulai sedikit menutu dirinya dari Iqsa. Ariska akan memberikan jarak, walau tidak besar. Kali ini Iqsa meletakkan garpu dan pisau makannya. Mengelap sedikit kotoran di bibirnya dan menarik nafasnya. "Ris, bukan gitu. Aku hanya belum siap ada yang ngatur - ngatur aku. Kamu tau sendiri aku ga suka diatur siapapun- " "Tapi, Sa. Aturan itu buat kebaikan kamu juga. Aku suka ngatur kamu buat tata rambut kamu. Aku suka ngatur buat cukur kumis kamu, itu buat kamu juga. Kamu jadi keliatan rapi sama aturan - aturan dari aku yang kamu pake bahkan sampe sekarang," ucap Ariska cepat memotong pembicaraan Iqsa. "Iya. Dan aku selalu ga suka kamu atur. Aku udah bilang beberapa kali kalau aku itu ga suka kamu atur. Aku bisa ngatur aku dan diri aku sendiri. Aku ga perlu di atur pun aku bisa ngatur apapun yang aku mau, Ris," kata Iqsa pelan. Ariska yang kini menahan nafasnya diam sambil memejamkan matanya. Ariska sama sekali ga pernah berfikir jika aturan - aturan yang ia buat malah tidak menyenangkan dan tidak di sukai oleh Iqsa. Bahkan Iqsa selalu memberlakukan aturan yang Ariska keluarkan. Dan tidak ada penolakan. Dan seklai lagi, itu dulu. "Ariska. Aku tau kamu pasti ga suka sama perkataan aku tadi. Dan kamu juga harusnya ngerti sama prinsip aku. Dan aku tekankan lagi, kalo aku bisa atur hidup aku sendiri, Ris. Kamu ga perlu khawatir." Ariska kini mengangguk kecil setelah menahan nafasnya, "kita bisa pulang sekarang ga ? Aku ada tugas buat besok." Ariska berdiri lalu meninggalkan tempat duduknya begitu saja. Ariska tidak tau Iqsa menarik nafasnya berat. "Ris, aku anterin kamu pulang ya ?" Sebenarnya, ariksa sudah mendengar tadi bahwa, Iqsa tidak bisa mengantarkannya pulang setelah ini. Ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan. Dan sekarang apa ? Basa basi ? Ariska tidak bisa seperti ini. "Gue bisa pulang sendiri. Lagian bukannya lo bilang lo ada kerjaan abis ini ?" Ariska rasanya ingin tertawa. Sudah lama dia tidak memakai kata 'gue - lo' pada pria di depannya. Bahkan Ariska tidak bisa menahan senyumannya saat Iqsa menatapnya bingung. "Aku bercanda. Aku bisa pulang sendiri. Kamu ga usah khawatir. Bukan, bukan khawatir sama aku," Ariska menarik nafasnya, "jangan khawatir, karena mulai detik ini aku ga bakalan ngatur - ngatur kamu lagi. Semuanya terserah sama kamu. Kayak yang tadi kamu bilang, kamu bisa ngatur kehidupan kamu sendiri." Iqsa terus menatap Ariska seakan mengerti kalimat terakhir yang keluar dari mulut Ariska bukan kalimat terakhir untuk malam ini. "Dan sebagai gantinya, aku mau kamu juga ngerti aku. Ngerti aku dan jangan ngatur aku. Kita sama - sama mengerti apa yang jadi hobi kita. Kamu sama pekerjaan kamu itu dan aku sama hobi aku. Selain melukis yang kamu tau. Aku juga punya hobi nontonin apapun tentang Korea. Dan aku tau kamu ga suka itu." Ariska masuk ke dalam taxi yang sudah diberhentikannya. "Ah satu lagi, semangat kerjanya sayang," satu kecupan singkat dipipi Iqsa membuat Iqsa sadar jika Ariska sudah masuk kedalam taxi dan pergi meninggalkannya. Rasanya, hanya Ariska sendiri yang berjuang untuk hubungan ini. Walau Ariska tidak tahu jika Iqsa akan berjuang sama – sama. Nyatanya, Iqsa tidak bisa di ajak untuk serius.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD