LEMBAR 16

1279 Words
“Pujiannya bagus - bagus.” Kata Haikal setelah sampai di kafe yang bahkan Ariska baru saja masuk ke sana. Ariska mengangguk sambil membaca beberapa lembar penilaian yang di berikan pengunjung pameran seni kemarin siang itu. Mereka memang tidak di wajibkan untuk mengisi apresiasi. Apresiasi seperti ini di perlukan untuk pelukis pemula seperti Ariska. Dan, Ariska menyukai semuanya. Walaupun sebagian ada yang bilang jika lukisannya terlalu sederhana, tapi Ariska menikmati semuanya. Ariska menyukai rasanya. Rasa akan bangga untuk dirinya sendiri. Rasa dimana Ariska menuai senyuma ketika melihat smeua komentar yang menjadikan dirinya untuk lebih baik ke depannya. Dan rasa dimana Ariska merasa dihargai. Dan semua itu dirasakan oleh Ariska karena usaha dari Haikal. “Ga ada yang boleh bawa kamera juga tadi. Jadi lukisan lo aman hak ciptanya,” ucap Haikal pelan. Sekali lagi, Haikal ini emmang orang yang sempurna jika ada perempuan yang tepat untuknya. Ariska sendiri merasa jika hailal bisa dijadikan topangan. Entah itu untuk kehidupan sehari -hari atau bahkan ketika harinya suram. Dan semoga saja Haikal mendapatkan hal yang terbaik untuknya nanti. Untuk siapapun nanti yang mendapatkan hatinya. Ariska tersenyum dan berdoa juga mengamininya dalam hati. “Lo mau apresiasi dari gue ga ?” Ariska lagi - lagi di buat tersenyum oleh seorang Haikal. Ariska mengangguk lalu menopang dagunya dengan kedua telapak tangan bersiap mendengarkan segala macam bentukan kritikan atau bahkan saran yang akan keluar dari mulut Hailkal. Hal seperti itu membuat Haikal terkekeh. Lihatlah, betapa mudahnya melihat Haikal tersenyum. Ariska juga mendapat beberapa fakta yang sudah dibuktikan oleh dirinya sendiri tentang Haikal. Contohnya saja, Haikal bisa tersnyum dengan mudah. Berbanding terbalik dengan fakta yang di dengar Ariska di luar sana. Bahwa Haikal adalah orang yang sulit dibuat tersenyum. Bahkan sekarang, Ariska merasakan jika Haikal ini tertawa bukan hanya sekedar tersenyum. “Lo ga mau rekam ? Apresiasi dari gue pasti berharga. Ini pertama kalinya gue kasih apresiasi buat pemula kayak lo. Harusnya lo tersanjung,” ucap Haikal menyobongkan dirinya. Dengan cepat Ariska mengeluarkan ponselnya lalu membuka aplikasi rekorder miliknya. Dan berkata, “oh tentu saja. Saya sangat tersanjung dengan penilaian anda Master.” Ucap Ariska pelan. Haikal terkekeh lalu memulai mengapresiasikan hal yang harus di apresiasi. “Lukisan lo, menurut gue sederhana tapi menarik. Lo pakai kuas apa btw ?” kemudian Haikal terkekeh dan menggeleng karena Ariska menggeleng dan menjawab tdiak tau. Karena setahu Ariska, semua kuas sama saja. Hanya beda di bentuk dan ukuran. Tidak ada yang special. Haikal menarik nafasnya, “lo tau, kuas lo di lukisannya kerasa banget. Warna terang yang lo buat yang sengaja lo bikin cerah itu ga bercampur dengan warna latarnya. Itu bagus buat gue. Dan gue jujur, suka. Dan gue ga mau membahas tentang tema romantis. Gue seakan ada di sana. Gue serasa ada di dalam lukisan itu. Liat sebelah kiri dengan terang dengan jejeran pohon dan lampu taman. Dan sebelah kiri hanya ada satu pohon yang daunnya mulai gugur. Lo tau apa yang pertama kali terlintas di pikiran gue ?” Ariska lagi – lagi menggeleng. Selama Haikal berbicara, Ariska memperhatikan dan menyukai suara yang di keluarkan dari mulut orang tampan di depannya. Dan apesnya, Ariska pasti menyesal jika dia tidak merekam suara lembut dari orang pintar ini. “Harmonis,” ucap Haikal tanpa ragu. “Suasana yang lo bikin buat gue bingung antara hangat atau dingin. Tapi lo ngelukisin itu dengan baik di tambah dengan dua orang di tengah yang berjalan pake payung. Itu yang membuat kesan romantisnya datang. Dan jika gue beli lukisan lo itu, gue bakal taro di dalem lemari,” kata Haikal. Ariska mengerutkan keningnya, “kok dalem lemari sih ?” tanya Ariska sedikit kesal. Haikal tersenyum kemudian terkekeh kecil, “gue cuman mau nikmati keindahan itu sendiri. Gue bakal pelit untuk apa yang gue nikmati, dan gue bakal ngelarang orang buat pajang lukisan lo lama - lama di Gedung seni.” Ariska tertawa kecil, “lo gila kalo ya. Lukisan itu dimana - mana di pajang buat di nikmati. Kalo lo nyimpen kenikmatan lo sendiri itu ga adil. Buktinya Tuhan aja adil buat kita yang menikmati semua yang dia buat. Dan bukannya gue mau menyerupai tuhan. Tapi gue adalah mahluk ciptaannya. Gue mau semua orang menikmati semua yang gue buat. Termasuk lukisan gue itu.” “Dan sekali lagi, gue salah ngenilai lo, Ris.” Gumam Haikal. * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * “Gue putus dari Gilang.” Ucap Raniya tanpa ragu kepada Ariska. Satu hal yang ada di dalam benak Ariska ketika mendengar kalimat itu keluar dari mulut Raniya adalah, Gilang lebih memilih dirinya daripada Raniya. Sebelum Raniya mengatakan jika dirinya putus dari Gilang, Ariska sudah mengetahuinya. Gilang yang sudah mengatakannya terlebih dahulu pada Ariska. Dan saat itu, Ariska memilih untuk tidak berkomentar. “Kok bisa ?” Kalimat itu keluar begitu saja dari mulut Ariska. Ariska tahu jika Gilang putus dari Raniya, tapi Gilang tidak mengatakan penyebabnya. Maka dari itu, Ariska menanyakannya pada Raniya secara langsung. “Dia selingkuh.” Ucap Raniya lagi – lagi dengan tanpa ragu dengan ucapannya. Ariska hampir saja memekik jika saja di depannya bukan orang yang sedang putus cinta. Untung saja tidak ada suara apapun yang keluar dari mulut Ariska. “Temennya dia bilang sama gue. Linenya dia penuh sama cewek - cewek. Temennya bilang Gilang suka senyum - senyum sendiri liat roomchat di line. Padahal gue sama dia ga chat di line. Dan berarti itu sama cewek lain dong ?” Ucap Raniya. Sebenarnya, Raniya berbicara untuk dirinya snediri. Terbukti jika Raniya tidak melihat ke arah Ariska dan lebih memilih untuk menatap ponselnya. Tidak berani atau Raniya menangis ? Mati, Ariska. Di antara semua cewek di daftar kontak line milik Gilang pasti ada namanya. “Lo ga tanya baik - baik gitu ?” Raniya mengangguk sambil mengusap air matanya, “udah. Gue minta temennya dia supaya ngasih gue kontak cewek yang sering chat sama dia,” katanya Raniya pelan. Ariska mengangguk pelan. “Terus ?” “Temennya ngasih. Dia ngasih gue kontak IG- nya. Namanya Lestari Putri.” Ariska bernafas lega. Setidaknya bukan kontak miliknya. “Lo tau pas dia udah ACC akun gue ?” Ariska menggeleng pelan. “Ada foto Gilang sama dia. Dan parahnya, yang terbaru di IG- nya dia itu tanggal 27 Juni kemarin. Gue tau persis Gilang kayak apa buat penampilan keluar rumah.” Raniya dan Gilang sudah berhubungan lama. Hampir satu semester ini, Gilang terus menemani Raniya. Dan apakah ada waktu untuk selingkuh dengan, siapa namanya tadi ? “Gilang itu pakai gelang rame banget di tangan kanannya.” Ariska mengangguk sekali lagi. Dia pun tau persis jika Gilang memang seperti itu. Gilang pernah bercerita jika gelang itu salah satunya dibeli dari Malaysia oleh ibunya dulu. “Dan cewek itu dipinggirnya. Emang Gilang ga keliatan mukanya. Tapi gue tau, itu Gilang, Ris.” Ariska bahkan tidak bisa berkata - kata banyak selain mendengarkan. Masalahnya, Ariska tidak memiliki konflik seperti ini dalam hubungannya. Dan dia bingung untuk berbicara seperti apa pada Raniya. Dan Ariska tau, Raniya pasti mengerti jika dia ini adalah tipe teman yang sangat sulit untuk memberikan saran. “Ya udah, tanya Gilangnya aja sih. Siapa tau dia punya penjelasannya sendiri,” pada akhirnya ucapan itu yang keluar dari mulut Ariska. Raniya menggeleng keras. “Gausah ada yang di jelasin lagi kalo menurut gue, Ris.” Raniya terisak, “di tanggal yang ga beda jauh, Gilang posting juga foto itu di tempat yang sama. Dan gue bisa simpulin, itu di foto sama cewek itu.”  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD