LEMBAR 17

1191 Words
“Jadi lukisan kamu masih di pajang di pameran seni ?” Ariska mengangguk pelan, “kenapa ?” Iqsa dan Ariska kini duduk di teras kos sambil bercengkrama. Ariska tidak sepenuhnya memperhatikan Iqsa. Dirinya di kejar waktu untuk tugas ini. “Aku besok ke sana, Ris.” Ucap Iqsa. Tamara menatap Ariska. “Hm ? Mau ngapain ?” Iqsa menyeruput teh hangat yang sudah di buatkan Ariska tadi. Lalu menatap Ariska pelan sambil tersenyum. Ariska di depan Iqsa saat ini mengikat rambutnya di atas puncak kepalanya. Mengumpulkannya jadi satu dan membuatnya terlihat menggemaskan. “Kejar waktu ya, Ris ?” Ariska mengangguk, “lusa dikumpulinnya sih. Tapi supaya enakan aja gitu di kerjain dari sekarang. Besok aku ada acara di Bandara.” Iqsa kini mengerutkan keningnya, “acara apa di Bandara ?” “BB mau ada konser. Aku pengen liat. Walaupun ga nonton kayaknya liat aja udah puas,” ucap Ariska semangat. Namun, Iqsa mendecakkan lidahnya sebal. “Sa, aku tuh udah menuhin kewajiban aku juga ‘kan sebagai mahasiswa. Aku juga udah mau ketemu kamu walaupun kamu aku cuekin karena tugas. Aku sekali - kali pengen hiburan. Memuaskan mata melihat hal yang mungkin ga bisa di lihat dua kali.” Kata Ariska menimpali sekaligus menjawab decakan sebal dari Iqsa tadi. “Iya aku tau dan paham. Hati - hati aja kamu disana. Jangan sampai di pinggir kamu itu cowok. Apalagi di sana pasti desak - desakkan ‘kan ?” Walaupun Iqsa berkata demikian, ada nada marah di kalimat cukup panjangnya tadi. Dan Ariska tidak peduli. Ariska sekarang sudah mulai terbiasa dengan Iqsa yang seperti itu.   “Sa, aku ngerti batasan aku.” Iqsa tersenyum. Lalu mengaduk tehnya pelan, “aku ada acara di pameran seni itu. Kemaren anaknya direktur ke sana, liat lukisan kamu. Kalau direktur juga suka kayaknya lukisan kamu bakal di beli.” Kata Iqsa menjawab pertanyaan Ariska yang bahkan Ariska saja sudah lupa dengan pertanyaan itu. Namun sekarang, Ariska berhenti menari-narikan penanya di atas kertas. Mata bulatnya menatap Iqsa kaget. Iqsa hanya memasang wajah biasa saja ketika Ariska memandangnya. Sialan. Bahkan Iqsa bisa sedatar itu ? “Sa. Kamu serius kan ?” Iqsa mengangguk lalu tersenyum, “aku juga bilang sama direktur kalo yang ngelukis kenalan aku. Nah dia minta jadwal kosong buat ketemu kamu.” Kata Iqsa lagi. Perkataan Iqsa baru saja membuat jantung Ariska berhenti beberapa detik saking kagetnya. Dia tidak bisa mengekspresikan keterkejutannya kali ini. Seorang direktur ingin menemuinya ? Apalagi yang lebih bagus dari ini ? “Anaknya suka banget lukisan kamu. Katanya, mau dia pasang di kamar. Supaya bisa dia nikmatin sendiri. Oh, aku belum bilang kalau anaknya itu pelit banget ?” Ariska de javu dengan perkataan Iqsa barusan. Menikmati sendiri ? Sepertinya Ariska pernah mendengar kata itu. Namun Ariska lupa dimana tepatnya dia mendengar kalimat itu. Ariska menatap Iqsa, “aku rasa ada yang belum kamu omongin ?” Iqsa mengangguk, “setelah obrolan di pameran nanti, kemungkinan aku bakalan pergi, Ris,” kata Iqsa pelan. “Pergi ? Kemana ?” Iqsa mengangguk, “kalo orang naik jabatan enaknya pergi kemana ya ?” Damn! Ariska tahu apa artinya ini. Artinya Iqsa naik jabatan dan mengajaknya pergi liburan. Namun entah kapan. Yang penting, Ariska sudah akan memilih kemana Ariska dan Iqsa akan pergi. * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * * ** * * * * * * * * * * Ariska tengah memainkan kuas lukis ditangannya sambil berpikir keras tentang lukisannya kala itu saat ponselnya bergetar. Nomor tidak dikenal menelponnya. Setelah keningnya berkerut sebentar, Ariska kemudian menggeser tombol hijau di layar ponselnya lalu menempelkam ponsel itu di telinganya. “Hallo ,” sapa Ariska pelan “Nona Ariska ?” Ariska sempat bergumam tak jelas ketika seseorang di sebrang teleponnya memanggil nona sebelum namanya. Pasalnya, Ariska merasa jika panggilan itu terlalu tinggi untuknya. Dan kemungkinan, orang yang meneleponnya adalah orang tinggi yang akan membuat Ariska tinggi di kemudian hari. Ariska mengaminkannya di dalam hati.   “Iya, saya sendiri,” jawab Ariska ketika dia menyadari sudah telalu lama Ariska bergumam di hatinya. “Maaf Nona, kami dari perusahaan yang kemarin Nona datangi. Saya mau mengabarkan jikalau direktur utama menanyakan bagaimana hasil dari pemikiran Nona setelah kemarin datang ke kantor pusat.” Ariska mengerejap. “Bisakah saya langsung berbicara dengan Direktur Utamanya ?” “Tentu Nona. Saya akan menjadwalkan pertemuan anda dengan beliau. Anda bisa besok lusa ? Jadwal dirut besok lusa agak sedikit longgar.” Katanya secara tidak langsung mengatakan jika Direktur Utama memang sibuk. Ariska mengangguk, “Baiklah. Besok lusa,” kata Ariska pelan. Setelah itu telpon di tutup. Direktur Utama itu bernama Pak Satrio. Jika harus dikatakan direktur ini sedikit pemaksa untuk urusan pekerjaan. Tapi Ariska meminta kelonggaran untuk pekerjaan seperti dirinya yang masih harus berkuliah dan belum bisa fokus kepekerjaan seperti saat ini. Kanvas yang ada didepannya sudah tidak kosong memang. Tapi Ariska sendiri tidak terlalu menyukainya. Itu semacam lukisan abstrak yang mengambarkan sisi keburukan untuk Ariska. Semua warna di kanvas itu hanya berdominasi hitam dan abu-abu. Walapupun sedikit ada warna kuning di dalamnya. “Jadi lo nerima job itu ?” Raniya menanyakan hal ini setelah Ariska bilang jika dirinya baru saja selesai menemui direktur di kantor Iqsa waktu itu sebelum Ariska menerima telepon dari sekertaris direktur utama tadi malam. Direktur itu menawarkan pekerjaan yang cukup baik untuk Ariska. Ariska tidak langsung menjawab iya ataupun tidak langsung menolak. Ariska tentu saja harus meminta izin pada orang tuanya. Hanya saja Ariska takut. Apapun yang berhubungan dengan pekerjaan, orang tua Ariska selalu menolak mentah - mentah untuk Ariska. Alasannya karena orang tua Ariska merasa tidak dihargai jika Ariska ikut bekerja untuk dirinya sendiri. “Belum tau gue. Bisa aja sih gue terima tapi kayaknya kuliah gue ga bakal bener deh,” jawab Ariska. “Lah kenapa ? Bukannya kerjaannya bisa disesuaikan sama jadwal kuliah lo ?” Ariska mengangguk kecil. Dia tau, jadwal pekerjaannya bisa disesuaikan. Tapi kecintaannya dalam dunia melukis bisa jadi membuat dirinya lupa tentang pelajaran kuliahnya. “Tunggu apa lagi coba, Ris ?” Ariska hanya tersenyum. “Ngomong - ngomong, Gilang nih kayaknya masih mau sama gue,” ucap Raniya pelan. Tiba - tiba saja Ariska tertarik akan omongan Raniya yang satu ini. Pasalnya, Gilang belum lama ini menghubunginya kembali. Bahkan kali ini lebih dekat. Gilang sudah menganggapnya sebagai prioritas. Itu yang Gilang katakan. “Ya gitu. Dia masih suka manggil gue sayang, bilang kalo dia kangen sama gue. Malahan nanti sore katanya dia mau ngajak gue jalan.”  Ariska diam mendengarkan. Janjinya Gilang padanya, dia juga akan mengajaknya jalan. Tapi Gilang juga membuat janji pada Raniya ? Maksudnya apa ? “Ris, lo dengerin gue ga sih ?” Ariska mengerjap, lalu tersenyum seraya pamit untuk masuk ke kamarnya. Anehnya, Ariska justru merasa kecewa terhadap pernyataan Raniya tadi. Gilang mengajaknya terlebih dahulu apa Gilang justru mengajak Raniya terlebih dahulu ? Entahlah. Ariska tidak mau berharap lebih. Apalagi pada seseorang seeprti Gilang. Tapi, gimana ya ? Perasaan Ariska juga serasa di mainkan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD