LEMBAR 22

541 Words
"Kenapa ga langsung lo terima aja ?" Ariska mendesah ketika Haikal bertanya seperti itu. Sama saja edngan Raniya yang bertanya seperti itu. Mereka hanya bisa berfikir untuk langsung menemui siapa yang akan memperkejakan Ariska dan tidak perduli rasanya jadi Ariska. Ariska sendiri tidak bisa terus menerus melukis. Ariska harus punya inspirasi dan itu tentu saja tidak semudah itu. Maka dari itu Ariska perlu berfikir lebih baik lagi untuk pekerjaan ini. Apalagi untuk urusan uang dan tentu saja Ariska harus meminta izin kepada siapapun yang Ariska rasa perlu sangkut pautkan dalam kehidupannya. "Gue perlu waktu buat mikir." Kata Ariska kemudian, "gue ga pernah nerima kerja dan kebiasaan gue hanya menerima hasil dari orang tua gue." Haikal mengangguk, "lo perlu izin dari orang tua lo ?" Gerakan kuas Ariska di atas kanvas di depannya itu berhenti tiba - tiba. Jujur saja, Ariska sebenarnya memikirkan untuk izin dari Iqsa bukan kedua orang tuanya. Ya walaupun kedua orang tuanya yang memberikan uang setiap minggu kepada Ariska. Kemudian Ariska menggeleng pelan, "kayaknya iya." "Kok kayaknya ?" Ariska terkekeh, "ya kayaknya. Soalnya tadinya gue ga bakal minta izin sama mereka." "Loh kenapa ?" Tatapan Ariska kini beralih kepada Haikal yang sama sedang menatapnya, "orang tua gue juga kalo ditanya semester yang gue ikutin sekarang ga bakal tau." Sepertinya Haikal mengerti karena pandangannya jadi beralih kepada lukisan Ariska yang menampilkan warna tidak secerah itu. Mengingat lukisan Ariska, kemarin waktu di galeri seni, lukisannya tidak memakai warna yang cerah. Hanya beberapa titik namun kuat. Sepertinya, Haikal juga menyadari jika Ariska kurang memainkan warnanya. Ariska hanya pandai memainkan kaus namun kurang dalam memainkan warna. Enath, namun dalam ilmu psikologi yang sepintas di pelajari oleh Haikal, kelakuan seperti itu bisa jadi orang yang punya lukisan memang tidak pernah mewarnai hidupnya. Apa segelap itu kehidupan Ariska ? Tidak ada yang pernah tau. Hanya Ariska dan tentu saja Tuhan. "Kak Haikal bukannya ngelukis juga tadi pagi ?" Tanya Ariska kepada Haikal yang hanya diam memperhatikan lukisan Ariska. Haikal menggeleng, "malu gue diliatin sama pelukis pro." Ariska tertawa, "enak aja. Gue ga se pro itu. Ini cuman hobi yang gue salurkan. Tadinya gue ga pernah mau mempublikasikan." Haikal tersenyum melihat tawa Ariska yang lepas, "gue kagum ketika nemu orang yang pinter lukis kayak lo." "Iya sih, gue mengagumkan." Kata Ariska percaya diri kemudian tertawa, "engga lah. Gue ini orangnya sebenernya ga terlalu pede sama yang ginian." Tunjuk Ariska kepada lukisannya sendiri. "Kenapa ga pede ?" Ariska menarik nafas, "gue ga bisa setiap saat ngelukis, lo tau itu." Haikal mengangguk, "gue juga harus diem di kamar terus kalo lagi ngelukis." "Kenapa ?" Tanya Haikal. Ariska berdecak, "gue belom selesai ngomong, bro." Haikal terkekeh begitu dia memanggilnya seperti itu. "Karena ga pede. Terus gue harus fokus menuangkan apa yang ada di pikiran gue." Kata Ariska, "sebenernya, jujur gue ga bisa ngelukis kalo ada yang liatin gue." Haikal merasa tersindir dengan kalimat di akhir yang di keluarkan oleh Ariska. Dia berdiri dengan cepat membuat Ariska tertawa. "Duduk dulu sih, Kak." Kata Ariska, "gue belum coba kalo gue diliatin lagi ngelukis sama orang yang bisa ngerti lukisan yang gue buat. Apa akan nyaman atau tidak." Haikal tertawa,  "terus lo ngerasa nyaman atau engga di liatin sama gue ?" Ariska berfikir sebentar, "ga terlalu buruk." Kata Ariska tersenyum manis
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD