Meredam Amarah

2550 Words
"Chris ke mana mereka pergi?" tanya Anna yang tak kunjung melihat Jasmine dan Peter kembali. Memang perkataan Peter tadi, sangat menohok hatinya. Tapi dia bukan wanita lemah yang akan mudah menangis begitu saja. Chris meliriknya kilas lewat kaca spion di depannya. "Entahlah ... " jawabnya kilas. Chris tau Jasmine dan Peter pasti sedang saling melempar kata-kata yang akan semakin membuat hubungan mereka semakin merenggang. Bertengkar, beda pendapat, sama-sama keras kepala. Apa lagi? "Kau baik-baik saja Anna? " tanya Chris saat melihat wajah Anna sudah kembali ceria tak se menyedihkan tadi. Anna tersenyum lebar. "Aku bukan wanita cengeng Chris!" jawabnya kemudian memainkan ponsel di genggamannya. Chris tertawa pelan. Bisa-bisanya Anna memainkan akting yang begitu sempurna di depan Peter dan Jasmine. Dasar penipu! Kau egois Anna. Kau pura-pura menangis di depan Peter hanya untuk menarik perhatian Jasmine. Astaga! Jangan sampai Peter mengetahui semua sandiwaramu ini. Atau kau akan menyesal sudah berani bermain-main dengannya. "Bagaimana hubunganmu dan Jasmine?" Pertanyaan Anna membuat Chris bingung. Dia harus jawab apa? Dia belum mengkonfirmasikan nya dengan Peter ataupun Jasmine jika Anna sampai bertanya perihal hubungan nya dan Jasmine. "Mmm ... Ka-mi ... " Bip! Satu notifikasi pesan muncul di layar Ponsel Chris. Beruntung hal itu membuatnya bisa mengalihkan jawaban untuk pertanyaan Anna. Chris membuka pesan itu. Ternyata dari Peter dan isinya membuat Chris ingin tertawa keras. From: King's Antarkan si Annabelle itu pulang! Chris menutup mulutnya yang hampir terbahak. Dari pesan yang di kirimkan Peter tadi, dia bisa memastikan saat ini Peter pasti sedang kesal. Annabelle? Ya tuhan, Sejak kapan nama Anna berubah menjadi seperti boneka hantu? "Chris." "Ya Anna! " jawab Chris cepat. Kebingungannya masih menjadi teka-teki. Setelah ini, dia akan menanyakan pada Peter sebenarnya apa yang sedang terjadi. Anna melirik ke arah belakang mobil. “Di mana Peter dan Jasmine? Kenapa mereka belum kembali juga?" tanyanya. Chris kembali melajukan mobilnya. "Peter bilang ada urusan mendadak. Jadi dia menyuruhku untuk mengantarmu. Dan Jasmine sudah pulang menggunakan taxi." Hanya itu alasan paling relevan yang bisa dia sampaikan pada Anna dan semoga saja Anna akan percaya. "Oh begitu ...." Anna mendesah kecewa. Kali ini, dia kembali gagal untuk mendekati Peter. Tapi, dia tidak boleh menyerah. Kesempatan masih terbuka luas untuknya. Bukankah Peter belum memiliki kekasih? Pikirnya. Suasana kembali sunyi. Chris memilih mendengarkan lagu lewat earphone-nya. Sedangkan Anna sibuk mengatur rencana untuk aksi berikutnya. "Sepertinya aku punya ide ... " lirihnya sambil tersenyum samar. *** Jasmine mengusap wajahnya kasar. Beberapa menit yang lalu, dia sudah lebih dulu sampai di rumahnya. Jasmine merasa bersalah. Seharusnya dia tidak menghakimi Peter tampa memikirkan perasaannya. Bagaimana pun, Peter hanya mempertahankan hak atas kepemilikan dirinya. Tapi dirinya bisa apa? Dia butuh waktu untuk menjelaskan semuanya pada Anna. Hari sudah hampir malam. Tapi Peter tak kunjung datang. Jasmine khawatir, Peter akan melakukan sesuatu yang berbahaya. Jasmine tau, kuasa apa yang ada dalam genggaman seorang Peter. Peter seorang penguasa seperti kedua ayahnya. Tapi Jasmine masih tidak mengerti makna dibalik lambang tato mahkota hitam dan ukiran huruf P$D di pergelangan tangan beberapa body guardnya. Bahkan Chris dan Justine juga memiliki tato yang sama. Ceklek. "Akhirnya Peter datang!" girang Jasmine. Jasmine bergegas cepat menuju ruang tamu. Tapi, langkahnya terhenti begitu melihat siapa yang datang. "Chris?" ucapnya karna yang didapatinya bukan Peter tapi sahabatnya, Chris. Chris melangkah mendekati Jasmine. “Ada apa? Kenapa kau sangat khawatir? Bahkan kau tak menginginkan keberadaanku ... “ lirih Chris dengan raut wajah sedih. Jasmine memukul bahu Chris pelan. Chris memang selalu bisa menghiburnya dalam situasi apapun. Kebersamaan mereka sejak masih kecil, membuat mereka saling memahami perangai satu sama lain. "Bukan seperti itu Chris. Aku hanya menghawatirkan Peter. Sampai sekarang dia belum sampai,” jawab Jasmine sambil meremas telapak tangannya yang berkeringat. "Apa terjadi sesuatu?" "Kami bertengkar, dan Peter marah." "Karna Anna? " tuduh Chris dengan yakin. Karna penyebab awal mula renggangnya hubungan Peter dan Jasmine, ya adalah Anna. Siapa lagi? Hanya Anna yang menginginkan Peter untuk di milikinya. Queen? Jelas tidak mungkin! Queen sudah berada ditempat yang seharusnya, rumah sakit jiwa. Jasmine Menggigit bibir bawahnya. Membuat Chris tau maksud dari gerak-gerik Jasmine yang sudah dia hafal bentuknya. Sesuatu sudah membuat Jasmine khawatir. “Ceritakan apa masalah kalian. Bukankah aku masih kau anggap sebagai sahabatmu? Siapa tau aku bisa membantu menemukan jalan keluarnya," lanjut Chris. Jasmine mendongak. Dia memang butuh seseorang untuk mendengarkan keluh kesahnya. Jasmine pun menceritakan semua penyebab renggangnya hubungannya dan Peter. Tak lupa perjanjian yang dia buat antara dirinya dan Peter, sampai-sampai membuat Peter marah besar. "Astaga Jasmine, kau keterlaluan. Kau pun tau, Peter sangat mencintaimu. Bagaimana kau bisa melakukan hal itu?” Chris pun tak terima dengan ke keras kepalaan Jasmine. “Apa-apaan kau ini? Sudah pasti Peter akan marah besar,” imbuhnya. Jasmine menunduk. Ya, tidak seharusnya dia melakukan ini. Tapi, Anna. Anna membuatnya tak berdaya. "Bagaimana dengan Anna jika aku egois dengan perasaanku, Chris?" tanyanya dengan lirih. Jasmine bertanya yang diapun sendiri tau jawabannya. Anna pasti akan membencinya. Chris memegang bahu Jasmine. Dia perlu meluruskan pemikiran Jasmine yang menurutnya keliru. "Kau wanita berhati lembut yang pernah aku temui Jasmine. Tapi setidaknya fikirkan kebahagiaanmu dulu sebelum kau memikirkan kebahagiaan orang lain ...." "Aku tidak bisa Chris. Aku tidak bisa menyakiti Anna." "Jika seperti itu, bersiaplah untuk kehilangan Peter! " "A-apa? " Jasmine bungkam. Perkataan Chris tadi menohok hatinya. Siap kehilangan Peter? Tidak! Aku bisa gila! Chris menghela nafasnya kasar. Dia memang perlu memberi sedikit gertakan untuk Jasmine. Jasmine juga harus memikirkan hidupnya, tidak selalu mendahulukan orang lain yang belum tentu benar-benar bersahabat dengannya. Bukannya Chris meragukan persahabatan mereka. Jangan lupa, seseorang bisa berubah dalam sekejap karna sebuah keegoisan, keterpaksaan bahkan ketakutan. Dan Chris merasa, suatu saat Anna akan menghianati Jasmine untuk ke egoisannya. "Aku butuh waktu Chris," ucap Jasmine memecah keheningan yang tercipta. "Pikirkan baik-baik Jasmine. Peter tidak suka seseorang mengatur hidupnya. Nothing impossible in His World!" tegasnya. "Aku hanya ingin Peter mengerti untuk membuat jarak denganku, sampai aku siap menjelaskan semuanya pada Anna. " Chris berdecak malas. Dia bangkit dan melangkah menuju dapur. “Darah D'orion dalam tubuh kalian, membuatku benci. Kalian sama-sama keras kepala!" sungutnya sambil meneguk segelas air putih. Kepala nya rasanya akan pecah mendengar cerita Jasmine. Lantas bagaimana dengan Peter? Peter pasti selalu menahan dirinya untuk tidak mengamuk. "Chris, tolong hubungi Peter. Tanyakan keberadaannya. Ini sudah malam dan dia belum sampai! " "Kenapa tidak kau saja? Kau kan ke-ka-sih-nya." Chris menekankan kata-katanya. Dia perlu membuka pandangan Jasmine seluas-luasnya. Jasmine mengusap wajahnya. "Peter tidak menjawab panggilan ataupun membalas pesanku. Dia pasti sangat marah. Entah sudah berapa kali aku menghubunginya. Tapi, tetap saja Peter tidak menjawabnya.” Chris kembali tertawa malas. “Bukan hanya marah Jasmine. Syukur -syukur dia tidak membunuh seseorang!" "Chris!" "Baiklah. Akan aku hubungi kekasihmu itu, wanita ke-pa-la ba-tu!” sindirnya jelas. Chris mengambil ponselnya. Lalu tak lama, panggilannya tersambung. Peter menjawabnya. "Ada apa?" tanya Peter di seberang sana. "Kau ada dimana? Ini sudah malam," tanya Chris sambil melirik Jasmine di dekatnya, yang menatap khawatir sekaligus penasaran dengan keberadaan Peter. "Aku di club. Aku pun akan menginap, mungkin saja ada yang akan menanyakannya." Klik. Sambungan itu pun terputus begitu saja. Peter mematikannya secara sepihak. Dan perkataannya tadi, membuat Jasmine diam membatu. Peter berada di club. Dan itu artinya... Tidak! Peter bukan pria yang akan sembarangan menyentuh wanita. Peter hanya mencintaiku... Chris menyembunyikan senyumnya. Jasmine perlu diberi sedikit pelajaran. Lihat! Mendengar keberadaan Peter saja ditempat para w*************a itu, sudah membuat Jasmine terdiam bagai boneka. "Ya. Club memang tempat terbaik untuk meredam amarah," ucap Chris, membuat Jasmine juga dibakar api amarah. Cemburu. Jasmine meninggalkan Chris. Dia masuk ke kamarnya dengan pintu yang dia banting keras. Sedangkan Chris tertawa, menikmati keberhasilannya. Dia berhasil membuat Jasmine menunjukkan perasaannya. “Bersiap saja Jasmine. Aku akan menjadi pemantik jika kau tetap dengan keras kepalamu itu ... “ lirihnya. Jasmine menelungkupkan tubuhnya di ranjang. Mendengar keberadaan Peter tadi, membuat hatinya berdenyut sakit. Begitu cepatkah Peter melupakannya? Peter selalu mengatakan jika dia mencintainya. Tapi apa? Baru sehari mereka bersitegang, Peter sudah bersenang-senang dengan wanita lain. Sialan kau Peter! Berengsek! Aku hanya minta waktu untuk bersandiwara di depan Anna, apa sulitnya buatmu? Air mata Jasmine luruh. Peter selalu berhasil membuat perasaannya runtuh. Jasmine yang selalu tegar dalam hidupnya sesulit apapun itu, menjelma menjadi wanita rapuh karna seorang Peter. Ya, inilah Cinta. Cinta akan membuatmu tak mengerti dengan pengaruhnya, walaupun itu pada dirimu sendiri. *** Sebuah ruangan bernuansa putih menjadi tempat pilihan Peter untuk persinggahan nya. Jasmine membuatnya marah dan di sinilah tempat yang cocok untuk meredam amarahnya. Jasmine sangat keras kepala dan dia akan berusaha untuk menghancurkannya. Bahkan jika perlu menggunakan cara licik, Peter dengan senang hati akan melakukannya. Seperti menghamili Jasmine, mungkin. "Tuan, ini sudah malam, apa tidak ... " "Siapa kau berani mengaturku. Lakukan saja tugasmu dengan baik! " ucapnya memotong perkataan wanita berpakaian serba putih di dekatnya. Wanita itu pun memilih menunduk. Entah sudah jam berapa, dan berapa lama pria itu memerintah untuk menemaninya . Tuan dingin ini, membuang-buang waktu saja. Untuk apa dia menghabiskan waktunya disini? Bersama orang gila pula? Batin wanita itu. "Tarik ucapanmu! Atau aku akan membuatmu menyesal! " Kaget. Wanita dengan tinggi semampai itu membulat tak percaya. Pria di depannya itu bisa membaca fikirannya. Astaga apa yang harus aku lakukan ...? "Ma-af Tu-an ... " ucapnya terbata. Bahkan tubuhnya menggigil melihat tatapan sinis Peter. "Katakan itu pada saudaraku. Kau sudah mengatainya gila!" Perintah Peter, membuat wanita itu semakin takut. Aura apa yang di milikinya, hingga mampu membuat orang lain kalang kabut? Pikirnya. "Maafkan saya Tuan Luxander." "Sekarang pergilah!" Wanita yang ternyata perawat itu, melangkah lebar dan terburu meninggalkan ruangan. Bisa-bisa dia mati muda jika terus berada di sekitar pria menakutkan tadi. “Ya Tuhan, beruntung aku selamat ...” lirihnya. "Kau ma-sih saja licik! " Suara yang Peter tunggu selama beberapa jam, akhirnya bisa dia dengar. Ya, Peter membohongi Chris. Lebih tepatnya Jasmine. Peter tau, Chris sedang berada di dekat Jasmine dari sinyal ponsel Chris, yang sengaja Chris hidup kan. Sinyal itu, menunjukkan letak rumah Jasmine. Peter pun berbohong. Sebenarnya, dia tidak sedang berada di club. Dia berada di tempat Luke. Ya, memang lebih tepatnya, berada di rumah sakit jiwa. Luke dan Queen sudah turut serta dia pindahkan ke Paris untuk mempermudah pemantauannya. Mereka pun berada di tempat yang sama. Peter menyiapkan ruang perawatan khusus untuk mereka berdua layaknya rumah. Tragedi itu, membuat mereka hilang akal, alias gila. Bagaimanapun liciknya Luke dan Queen, mereka tetaplah saudaranya. Seperti janjinya pada Rose, ibunya. Peter tertawa pelan. Dia menghampiri Luke yang sejak tadi sibuk dengan dunianya sendiri. "Bagaimana keadaanmu?" tanya Peter berbasa basi, dia juga ingin membantu perkembangan psikis Luke. Mengatainya licik, juga termasuk kemajuan besar. Luke mengingatnya, dan itu berarti sebentar lagi, Luke pasti akan sembuh seperti sedia kala. Luke menatapnya, lalu tiba-tiba dia menjulurkan tangannya yang kehilangan 5 jarinya. Peter menghela nafasnya pelan, dia pun melangkah mendekat. Memegang tangan Luke yang sudah tak sempurna. “Kau akan mendapatkanya lagi.” Setelah mengucapkannya, Peter mengambil sesuatu dari saku jasnya. Sebuah sarung tangan berwarna hitam mengkilap. Luke menarik tangannya kuat. "Apa itu? Kau ingin membunuhku dengan itu?" ucapnya turun dari ranjang dan meringkuk di sudut ruangan. "Jangan! Aku masih ingin hidup. Jangan bunuh aku!” teriaknya tak terkendali. Peter menghampiri Luke. Kondisi Luke tidak seperti perkiraannya, kondisi mentalnya masih sangat tidak stabil. "Luke jangan takut. Ini aku, aku saudaramu. Kita saudara. Kau kakakku dan aku ... adikmu.” "A-adik? Be-narkah? " Peter duduk bersila di depan luke. Tangannya terulur mengambil tangan Luke yang tidak sempurna dalam genggaman tangan kirinya. "Ya. Sekarang lihat. jarimu sudah kembali,” ucap Peter setelah memakaikan sarung tangan yang khusus dia buat untuk Luke. Sarung tangan yang memiliki titik-titik yang berfungsi sebagai pengendali otot jari Luke yang terputus. Luke berbinar senang. Dia membuka tutup tangannya yang seolah memiliki jari-jari lengkap. "Ta-ngan-ku. " "Bukankah sekarang kita bisa makan?" tanya Peter sambil mengambil bungkusan yang dia bawa. 2 buah hamburger yang tadi sengaja dia beli untuk dirinya dan Luke. Senyuman tipis juga terbit di bibirnya, melihat bagaimana bahagianya Luke yang kembali memiliki jari tangannya walaupun tak permanen . "Ya. Aku la-par. " Peter memberikan satu hamburger untuk Luke tapi, "A-ku tidak suka to-mat! " ucap Luke lantang. Dan Peter kembali tersenyum. Luke masih mengingat apa yang dia suka dan tidak. Artinya luke tidak sepenuhnya gila. "Aku tau. Hamburger milikmu tidak ada tomatnya. Sekarang Makanlah ... " Luke pun mengambil hamburger itu dan menggigitnya dalam gigitan besar. Matanya berkilat senang. "I-ni ma-kanan fa-voritku Pe-ter. " Deg. Peter meletakkan hamburger yang akan dimakannya. Hati nya tersentuh. Luke mengingatnya. Saudaranya tidak gila! "Ini juga untukmu saja. Aku sudah kenyang,” ucap Peter. Melihat Luke yang begitu menikmati hamburger nya, Peter tidak rela untuk memakan hamburger miliknya. Jangankan hamburger, bahkan perusahaan miliknya akan dengan senang hati Peter berikan asalkan Luke sembuh dari kegilaannya. "Kau a-kan me-nginap, ‘kan?" tanya Luke di tengah kunyahannya dan Peter hanya mengernyit, heran. "A-ku ta-kut. Se-ring ada mos-ter di-sini. " Mendengar ucapan Luke, Peter pun mengangguk. “Baiklah," jawabnya. Dan kembali, Luke tertawa senang untuknya. “Peter, aku ingin minum.” Mendengar permintaan Luke, Peter bangkit kemudian mengambil air minum yang tersedia di atas nakas di samping tempat tidur Luke. “Kau ingin lagi?” tanya Peter saat melihat hamburger yang di makan Luke sudah habis. Luke menggelengkan kepalanya. Tangannya terangkat mengusap sudut bibirnya yang basah. “Tidak. Aku sudah kenyang,” jawab Luke. Peter menunduk. Menatapi ibu jarinya yang bertumpang tindih satu sama lain. Nyaris seperti nasib hubungannya dan Jasmine. Tidak pernah lurus dan sejajar di poros yang sama. Perbedaan pendapat dan kekeras kepalaan mereka, membuat hubungan mereka tidak berjalan damai. “Apa yang membuat mu sedih?” “Hm?” Peter mendongak. Luke saja bisa memahami bagaimana kacaunya perasaanya sekarang. Kenapa Jasmine tidak? “Tidak. Aku baik-baik saja,” jawab Peter dengan senyuman tipis di bibirnya. Luke menarik nafas nya pelan. “Kau keras kepala. Karna egomu yang selangit itu, kau tidak mau orang lain tau, jika pria sepertimu juga bisa terluka.” Deg. Peter mendongak. Melihat ke arah Luke yang menatapinya dengan pandangan meremehkan. Sialan! Bagaimana bisa, Luke menyimpulkan demikian? Mengatakan sesuatu yang memang benar adanya. Rasa ego dan kekuasaan yang di kendalikannya, membuat Peter tak ingin jika oran lain tau, seperti apa isi hatinya yang juga memiliki sifat alamiah sebagai manusia. “Kau—“ “Tidak perlu mengelak!” potong Luke cepat. “akui saja,” lanjutnya. Peter menghela nafasnya kasar. “Sepertinya, kau akan menjadi salah satu orang yang menyebalkan dalam hidupku.” “Hahaha... “ Luke tertawa lebar. Kemudian bangkit dan berbaring di tempat tidurnya. Mata Luke terpejam, walaupun jari-jari tangan yang di berikan Peter tadi masih bergerak buka tutup dengan aktiv. Maaf. Hanya ini, yang bisa aku lakukan untukmu, Luke. **** Malam harinya... Jasmine melangkah terburu begitu mendengar ketukan pintu. Dia yakin, itu pasti Peter. Sejak sore Peter tidak pulang. Tadi, saat Chris mencoba menghubunginya, Peter berada di club. Dan semoga saja, Peter tidak melakukan hal yang akan membuatnya kecewa. Jasmine membuka pintu dan, "Peter ... " lirihnya. Tapi setelah melihat jelas, ternyata bukan Peter yang berada di depan pintu. Melainkan, sahabatnya Anastasia. Untuk apa Anna malam-malam kesini? "Hy Jasmine ...." "Ada apa Anna? Kenapa kau malam-malam kemari? " tanya Jasmine langsung pada intinya. Anna tersenyum manis. "Bolehkah aku menginap di sini untuk beberapa hari ke depan? Orang tuaku sedang tidak ada. Aku kesepian ... " Jasmine menghela nafasnya pelan. Ini kelemahannya. Dia tidak bisa menolak permintaan seorang Anastasia. Oh Tuhan. Kenapa Anna semakin menyulitkanku?  *** Tinggalkan jejak..
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD