Sang penerus tahta

1122 Words
Arsenio Putra Darsono, panggil saja Arsen, karena dia tidak mau dipanggil Nio. Alasannya klise, seperti nama merk sepeda motor matic itu, ya kalian pasti tahu. Cowok tampan menawan, tinggi semampai 185cm , badan atletis dan hobi olahraga. Arsen tergabung dalam tim inti basket di sekolah, hari senin dan rabu adalah hari tim itu berlatih. Jangan lewatkan! Karena sesi latihan belum dimulai pun, banyak siswi mengantre untuk melihat Arsen bermanuver dengan bola basketnya. Yang sangat disayangkan adalah Arsen itu irit bicara, jika tidak penting maka ia tak akan bicara. Arsen selalu menampilkan raut wajah datar dan dingin, bukan sok cool, ia hanya tak mau terlalu ramah terutama pada wanita. Beramah tamah dengan wanita, itu keahlian Aldi, bukan keahlian Arsen yang kaku. Tapi, semua itu tak berlaku saat bersama keluarga dan sahabat karibnya. Percayalah Arsen bisa menempatkan dirinya dengan baik. Wajah dingin si sulung Darsono ini memang menjadi daya tarik utamanya, begitulah penuturan para gadis penggemar sang putra mahkota. Arsen adalah putra sulung kebanggaan Keluarga Darsono, panutan untuk adik-adiknya, dan calon penerus kerajaan bisnis. Sejak belia, dia sudah dipersiapkan untuk menjadi pembisnis hebat seperti ayahnya. Galih Darsono sendiri yang turun tangan menempa putranya menggeluti dunia bisnis. Mulai dari mempelajari ekonomi dan bisnis dari kecil, sering ikut dalam rapat pimpinan, ikut survei meninjau lokasi pembangunan, survei pasar, membaca pasar saham dan modal, menyusun perencanaan bisnis jangka pendek maupun jangka panjang. Semua sudah biasa si sulung pelajari dengan susah payah. Di sekolah, nama Arsenio tak kalah bersinar terang. Arsen ditunjuk menjadi ketua eskul basket, menggantikan Erlangga yang harus fokus pada ujian. Sepak terjangnya di pertandingan basket antar sekolah begitu ngeri. Jabatan kapten melekat erat padanya, meski saat itu masih duduk di kelas sepuluh. Dan tahun ini, saat dirinya naik kelas sebelas, tentu saja akan menjadi tahun keemasan bagi seorang Arsen. "Sen, bulan depan kita ikutan tournament tahunan." ucap Dio, salah satu anak basket dan sahabat karib Arsen. Pemuda itu menghampiri Arsen yang baru saja menginjakkan kaki di sekolah. "Mulai minggu depan berarti kita latihan tiga kali seminggu. Senin, Rabu, sama Jumat sepulang sekolah. Umumin ke anak-anak, terutama tim inti wajib hadir. Dan buat anak-anak yang ga masuk tim inti suruh hadir, siapa tahu Bang Ben reshuffle anggota." perintah Arsen segera dilaksanakan oleh Dio. Cowok itu segera mengetikkan pengumuman di ponsel mahal kebanggaannya, hadiah dari sang ayah di ulang tahun minggu lalu. "Eh, Sen, kelas dua belas ikutan ga tuh?" tanya Dewa. Salah satu teman Arsen yang berjalan beriringan dengannya, tas kosong pemuda itu bahkan sudah entah pergi kemana, baju dikeluarkan, dan atribut tidak lengkap. Dewa sang berandal sekolah. Arsen mengendikkan bahunya, "Ntar deh, gue tanya Bang Erlang." Arsen berjalan sambil mengamati deretan siswa baru berseragam SMP di sekolahnya, beberapa dari mereka tampak punya body pemain basket. Yaa, sekalipun body bukan jaminan kalau skill sudah bicara. Ini tentunya akan menjadi peluang yang bagus untuk merekrut anggota baru dan mencari mewariskan tahtanya tim basket. "Wa, nanti lo ke kelas-kelas deh, tanyain anak baru, siapa tau mereka ada yang oke buat gabung di tim. Cari yang udah ada skill sama pengalaman tanding dulu, Wa. Kita kan butuh buat tournament juga, buat yang tertarik gabung tapi belum bisa main, nanti kita seleksi lagi abis tournament." "Siap!! Laksanakan." Langkah kaki tiga pemuda itu membawa mereka menuju kantin sekolah, meja pojok dekat lapangan menjadi tempat favorit. Alasannya, tentu saja dekat dengan lapangan dan jauh dari lirikan para gadis yang mencuri pandang pada mereka. Maklum saja, tak ada satupun dari mereka yang tidak tampan. Menjadi pacar anak tim basket, siapa yang tidak ingin. Affan datang dengan wajah acak-acakan khas bangun tidur, cowok berhoodie hitam itu langsung duduk tepat di samping Arsen. Dio merotasikan bola matanya, "Buset dah! Masih pagi, lo pasti ga mandi kan." tudingnya. "Enak aja!" sanggah Affan, "Gue mandi tau, Bambank. Di rumah gue banyak air, kalo males pake shower pake bath up." "Kayak lu pernah aja pake bath up." "Ya enggaklah." jawab Affan cepat. Pemuda itu bergidik ngeri, bath up, yang benar saja ia harus mandi di dalamnya. Terlalu lama dan ribet, untuk Affan yang terkenal jarang mandi. "Ngantuk banget lo!" ujar Dewa, melihat lingkaran hitam samar di kelopak mata Affan. Affan mengangguk, "Gue semalem tidur jam tiga, nemenin mak gue begadang." Arsen, Dio, dan Dewa mengeryit heran. "Kenapa mak lo begadang? Jangan bilang, Tante Kinasih nonton serial drama India." tanya Dewa dengan tatapan tak percaya. "Acha...achaaa....nehii....nehiiii......" timpal Dio. Kedua pemuda itu sontak tertawa. Affan hanya menatap mereka malas. "Nungguin kucingnya lahiran." ucap Affan seadanya dan kembali memejamkan matanya, ia menenggelamkan wajahnya pada lipatan tangan yang bertumpu di meja kantin. Arsen hanya geleng-geleng kepala, "Anak kucing mak lo sehat kan?" "Sehat sih sehat, gue yang nggak" jawab Affan bergeming di posisinya. "Kan emang dari dulu lo ga sehat." ucapan Dewa membuat Affan mendongak. Baru saja ingin memejamkan mata sudah diganggu, memang lebih baik jika ia tidak pergi ke kantin tadi. Niat awal adalah untuk mengisi perut, tapi pemuda itu malah bertemu dengan komplotannya. "Maksud lo gue sakit gitu? Gila?" "Lo kan kena Down Syndrome!" "Cihhh! Sembarangan lo, amit-amit." Affan sudah berancang-ancang untuk melepas sepatunya, tapi Dewa lebih sigap untuk berlindung di balik tubuh Arsen. Affan tidak akan berani macam-macam dengan Arsen. "Sini lo! Jangan ngumpet lo!" Dio menyuap bakso aci pedasnya, melirik Affan dan Dewa tanpa minat. Seperti itulah jika mereka bertemu, ada saja hal-hal aneh yang mereka ributkan. "Kucing mak lo ada berapa sih, Fan?" Cowok berhoodie hitam itu berhenti sejenak, mengingat kembali ada berapa kucing yang dirawat oleh sang ibu dengan penuh kasih, "Emm, Dua belas apa ya, lima belas. Oh iya, delapan belas kucing." "BUSET!!" jawab ketiga temannya kompak. Affan sampai berjingkit kaget, ia mengelus d**a bidangnya perlahan. Affan memamerkan deretan giginya yang rapi saat siswa lain di kantin memperhatikan mereka. "Biasa ada dong lo pada!" ketusnya Affan. "Mak gue emang baik hatinya, nemu kucing di jalan aja dia bawa pulang, buat direscue, rencananya mama emang mau bikin shelter kucing sih." jelas Affan, cowok itu sibuk membuka hoodienya dibantu Arsen. Ketiga temannya hanya mengangguk paham, mama Affan memang lembut hatinya. Tante Kinasih tidak pernah marah saat mereka datang mengacak-acak kamar Affan ataupun menghabiskan makanan di rumah besar Keluarga Affan. Wanita berhijab itu malah senang saat teman-teman putra semata wayangnya berkunjung, maklum sajalah jika rumah besar mereka selalu sepi. "Terus kemaren kan lahiran, jadi sekarang berapa?" Affan mulai menghitung dengan jarinya, sesekali menerawang mengingat-ingat jumlah kucing sang ibu. "Kayaknya sih, ada, dua tujuh kucing sekarang." Dio sampai melongo mendengar penuturan sahabatnya, kucing sebanyak itu tentu tidak akan mudah merawatnya. Arsen segera menepuk-nepuk punggung Affan, turut berbela sungkawa. "Pantesan lo sibuk ya semaleman." "Kok jadi banyak banget dah, tadinya kan cuma delapan belas, kenapa sekarang banyak banget jadi dua tujuh?" Dewa bertanya keheranan. Pemuda itu pun turut menghitung dengan jarinya. "Iya, soalnya semalem yang lahiran ada empat kucing." "BUSET!!!!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD