Semua panik

1560 Words
Shena adalah yang sampai di rumah sakit paling awal, ia memarkirkan mobilnya asal dan segera berlari kecil menuju unit gawat darurat. Sore tadi, gadis cantik itu mendapatkan telepon dari sang ibu secara mendadak. Shena sangat khawatir saat Wulandari meneleponnya sambil sesenggukan, dan mengabarkan bahwa Aldi mengalami kecelakaan di jalan menuju ke rumah. Wulandari ditelepon oleh orang yang tidak dikenal, kemungkinan warga setempat yang menemukan sang putra tengah sekarat di tengah jalan. Karena posisi wanita itu yang tengah ikut meninjau proyek sang suami di Bali, keduanya tidak bisa segera menuju alamat rumah sakit tempat Aldi dirujuk. Tapi, keduanya sudah memesan penerbangan paling cepat untuk kembali ke Jakarta. Unit Gawat Darurat, tempat itu sangat sibuk dan ramai, Aldi langsung dirujuk ke rumah sakit terdekat dan memang rumah sakit besar. Jadi, sangat wajar jika UGD terlihat seperti sebuah kekacauan. Shena melihat banyak pasien baru datang yang dibawa ambulance, beberapa orang berteriak panik, beberapa lagi merintih kesakitan, dan beberapa menangis melihat anggota keluarganya terlibat kecelakaan. Shena membekap mulutnya, ia lupa membawa masker tadi, ia paling tidak tahan melihat darah. Dan tempat itu tidak mungkin lepas dari darah. Shena menoleh ke kanan dan kiri, memastikan dimana sang adik dirawat. "Maaf suster!" Shena menghentikan langkah seorang wanita yang berpakaian seperti suster. "Ya mbak, ada yang bisa dibantu?" "Saya mau cari pasien atas nama Reynaldi, Aldi." jawab Shena, "Anak SMA, korban kecelakaan siang ini, sus." Sang suster mengangguk-angguk, ia pun mengantarkan Shena menuju bangsal perawatan yang berada di sisi kiri ruangan besar itu. Disana ada banyak sekali ranjang yang ditutup dengan tirai berwarna biru langit. Suster itu menunjuk sebuah bangsa nomor dua, dan Shena segera mengangguk paham. "Terima kasih, sus!" "Ya, sama-sama." Shena membuka tirai yang menutup bangsal itu perlahan, bukan takut mengagetkan Aldi, tapi takut salah orang. Gadis itu membuka sedikit tirai itu dan menemukan Aldi tengah berbaring dengan tangan kanan menutup mata, dan tangan kiri yang di gips seluruhnya. Shena melangkah masuk dengan hati-hati lalu menutup kembali tirai bangsal itu. "Di?" panggilnya sambil mengusap kepala sang adik pelan. Kondisi Aldi tampak mengenaskan, ada banyak lebam di tubuhnya, tangan kiri dan tulang kering kaki kanannya diberi gips. Niat hati ingin marah pun jadi tidak tega melihatnya, Shena meletakkan tasnya di nakas, ia duduk di kursi samping ranjang Aldi. "Aldi? Tidur ya?" panggilnya lagi. Hening, tak ada jawaban dari pemuda itu. Sepertinya sang adik benar-benar tidur. Shena menaikkan selimut dan mencoba menyingkirkan tangan Aldi yang menutupi matanya. Pasti sangat tidak nyaman saat bangun setelah posisi tidur yang buruk. "HYAAAAA!!!" "Astaga!" pekik Shena, gadis itu menghela napas kasar. Ia kaget setengah mati, jika saja tidak sadar bahwa ini rumah sakit dan Aldi sedang sakit. Shena pasti sudah menampol adiknya agar kapok. "Ya Tuhan, kamu gila ya?! Kalo mbak kena serangan jantung gimana, bukan kamu yang dirawat tapi malah mbak tahu." "Ahahahahh..... santai dong mbak, serius amat!" canda Aldi. "Ya Tuhan, apa sih salahku punya adik seperti ini." keluh Shena. Gadis itu kembali duduk sambil mendelik tajam ke arah Aldi, ia masih mencoba menenangkan detak jantungnya sendiri. Tahu, kan perasaan ini? Ingin memberi pelajaran tapi tidak bisa karena sang adik sedang sakit. Ia tidak mau tindakan gegabahnya berakibat buruk kepada Aldi yang baru saja mengalami musibah. Masih belum jelas apa yang menjadi keluhan Aldi, karena Shena bahkan belum bertemu dokter dan melunasi biaya rumah sakit. "Gimana bisa?" "Apanya?" tanya Aldi, ia dengan santai memencet remote kontrol untuk ranjangnya. Ia ingin setengah terduduk, sekalipun saat ranjang itu mulai naik beberapa titik tubuhnya masih terasa sakit. "Kenapa bisa kecelakaan?" Aldi terdiam sejenak, "Tadi ada kucing lewat." "Kok bisa?" "Ya bisa atuh, itu kan jalanan." "Iyaa, tapi kalau kucing lewat kenapa bisa sampai jatuh, mana parah banget gini." ujar Shena. "Ya, kan namanya juga pembalap. Pas jalanan sepi, aku gas poll aja terus ada kucing nyeberang jalan, ngeeeng!" Aldi bercerita sambil memperagakan dengan tangan kanannya. "Nah, aku kaget kan, ga sempet rem, akhirnya aku banting aja ke kiri eh malah nabrak pembatas jalan." "Beneran ini?" tanya Shena masih penasaran, terlalu banyak omong kosong yang pemuda itu sampaikan kepadanya, terkadang kejujuran pun lebih terdengar seperti kebohongan, begitu pun sebaliknya. "Ini bukan kamu iseng balapan di jalanan sama temen-temen, atau kamu diganggu orang, kan?" Sang adik mengangguk dua kali, "Beneran kucing ini penyebabnya, si cupang!" "Enak aja, si cupang ga pernah keluar dari rumah ya!" balas Shena tidak terima. "Yee, ga percaya." "Gak lah." Cupang adalah nama dari kucing kecil yang gadis itu temukan di tempat sampah sekolah tempo hari, Shena memutuskan untuk memelihara kucing kecil itu karena tidak sampai hati untuk membuangnya kembali. Setelah diskusi alot dengan sang ibu, akhirnya Wulandari mengizinkan sang putri memelihara kucing dengan catatan harus bertanggung jawab. Pada hari kucing itu bertemu dengan anak-anak Darsono, pada hari itu pula Shena membelikan semua perlengkapan kucing untuk Cupang. Mulai dari kandang berukuran besar, makanan, tempat bermain, keranjang tidur, tempat untuk pup, mainan, dan masih banyak lagi. Shena bahkan memesankan kalung khusus yang diberi inisial C, nama kucing itu dan alamat rumah Keluarga Darsono, gadis itu juga memesan sebuah harness dengan design yang serupa. Tujuannya agar kucing itu tidak hilang, dan lebih mudah diajak berjalan-jalan keliling kompleks. "Omong-omong, gimana? Masih sakit?" tanya Shena pada sang adik. Aldi menggeleng, "Cuma kecelakaan kecil gini aja ga sakit, cupu banget dong jatuhnya nanti." "Terus siapa yang nolongin kamu?" "Aduh, kalo itu ga tau, aku tadi pingsan terus bangun-bangun ga ada siapapun." ujar pemuda itu. "Apa mungkin mereka ninggalin aku gitu aja ya? Apa mereka ga tahu kalau aku tuh Reynaldi yang tampan menawan? Padahal aku juga pengen mengucapkan terima kasih sama mereka." "Berarti biaya rumah sakit belum dilunasin?" Aldi menyengir lebar lalu menggeleng, "Ya belum lah mbak, tadi susternya kesini terus aku bilang aja kalau papa sama mama belum datang. Dan aku, tak punya uang." Shena memutar bola matanya malas, ia bangkit dan mengambil tasnya di nakas. Biaya rumah sakit harus segera dilunasi dan juga untuk penanganan lainnya nanti. Sang adik juga harus dipindahkan ke ruang rawat inap yang lebih baik, jika perlu VIP dan rontgen untuk melihat apakah ada luka yang dalam yang lebih serius. Setidaknya, itu lah pesan dari kedua orang tuanya tadi. "Mau kemana mbak? Woi!" "Ck, diem deh!" "Nitip makanan ya, seblak level lima, atau mie abang adek tapi bawa adeknya aja." ujar Aldi sebelum Shena pergi meninggalkannya bangsalnya. Setelah tirai itu kembali tertutup rapat, Aldi mengeluarkan ponselnya yang sedari tadi terus berdering. Rasanya ia ingin membanting ponsel itu ke lantai sekarang juga, tapi urung karena harganya yang sangat mahal. Lagi-lagi para anggota perkumpulan gila itu mengiriminya berbagai pesan untuk masuk ke dalam kegilaan mereka. Sayangnya tidak bisa, ia masih waras dan tidak tertarik dengan rayuan maupun teror yang mereka lakukan kepadanya. Tapi, tindakan mereka kali ini benar-benar keterlaluan, ia tidak bisa membiarkan mereka lolos begitu saja. Kalau hari ini dirinya yang menjadi korban, besok besok siapa lagi yang harus menelan nyawa. Aldi kembali menatap layar ponselnya, ia menghapus pesan-pesan itu dan memblokir nomor yang masuk. Ia butuh istirahat setelah mengalami hal yang tak terduga siang tadi, tubuhnya sangat lelah dan penuh lebam di beberapa titik. Aldi berdecak karena tersadar masih mengenakan seragam SMA, yang sudah compang-camping robek sana robek sini dan sangat kotor. Ia harus segera mengabari sang kakak agar membawakannya baju ganti, jika tidak ada baju pasien di rumah sakit nanti. Memilih mengistirahatkan diri, Aldi memejamkan matanya untuk segera tidur. "Stt... sttttt... Aldi!" "Udah tidur kali dia." "Kenapa sih, orang tinggal masuk aja." "Jangan, Do, nanti ganggu Aldi istirahat. Lo kan kembarannya, gimana sih, lo ga sedih apa? Ga ngerasa sakit gitu?" "Yang kecelakaan Aldi bukan gue." "Lo berdua bisa diem ga sih, kasihan Aldi tuh tidurnya terganggu." "Terus ini gimana? Masukin apa keluar?" "Apa deh lo Mal!" kesal Aldo. Menghela napas pelan, Aldi kembali membuka mata, bagaimana ia bisa tidur saat ada yang berbisik dengan kencang di luar tirai bangsalnya. Saat ia melirik, ada Malik dan Rando yang mengintip di balik tirai, satu lagi pasti Aldo karena siluetnya sangat jelas. "Woi! Lo pada ngapain sih." kesalnya. "Eh, lo ga tidur?" tanya Rando sambil membuka tirai itu sepenuhnya. "Gimana bisa tidur kalo lo berisik banget." Malik dan Aldo ikut masuk, mereka berdiri mengelilingi Aldi sambil menatapnya aneh. Mengamati pemuda itu dari atas sampai ke kakinya. Malik mengetuk gips yang terpasang di betis kanan Aldi. "Sakit ga?" "Ya sakitlah, bego!" jawab Rando, ia menjitak kepala Malik dan menjauhkan pemuda itu dari Aldi. "Kalo si Aldi makin parah, lo lihat aja nanti." "Gue cuma tanya." Ketiga pemuda itu langsung datang dari tempat asal mereka masing-masing, pertemuan ketigannya pun di parkiran rumah sakit tadi. Setelah mendapat kabar dari Shena, Aldo langsung bergegas menuju koordinat yang dikirimkan sang kakak. Pantas saja sejak tadi hatinya terasa tidak nyaman dan pikirannya kurang fokus, rupanya ikatan persaudaraan sekandungan mereka masih sangat erat. Hanya saja untuk mengakuinya terhalang gengsi yang tinggi. Aldo mengamati sang kakak yang terbaring dengan mengenaskan, "Kok bisa kecelakaan lo? Katanya pembalap." "Yaelah, Do!" Aldi memutar bola matanya, "Sekelas Lorenzo sama Rossi aja masih bisa jatuh, masa pembalap kampung kayak gue ga bisa jatuh." "Iya sih." setuju si bungsu, "Tapi, gimana ceritanya?" "Panjang deh ceritanya, ga akan cukup satu lagu buat ceritainnya." "Lawak lo, Mail!" ledek Rando. "Omong-omong nih ya." ujar Aldi. "Lo bertiga bawa apa kesini?" Aldo, Rando dan Malik pun saling tatap. Mereka malah mengeryit bingung saat ditanya demikian. "Lah, emangnya harus bawa apa?" "Ck, kalo besuk orang sakit tuh biasanya bawa-bawa, makanan kek, kue, atau buah. Lah ini? Cuma bawa diri."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD