Teror semakin nyata

2021 Words
Bel pulang telah berbunyi sebagai tanda bahwa kehidupan di dalam sekolah itu akan segera berakhir, Aldi meraih tasnya dan bangkit, ia menunggu anak-anak lain di kelasnya keluar lebih dulu barulah ia akan keluar. Pemuda itu hanya tersenyum tipis saat beberapa siswi di kelas itu menyapa dirinya. "Eh, apa nih?" tanya Aldi saat seorang siswi di kelasnya memberinya cokelat. "Emm....... buat kamu." balasnya malu-malu. Mereka berdua pun mendapat sorakan dari Malik dan Rando yang kebetulan masih di dalam kelas, tapi Aldi mengabaikan mereka, ia tersenyum ramah. "Makasih, Lalita." ucapnya. Gadis itu pun mengangguk dua kali, ia menunduk guna menyembunyikan rona merah di pipinya yang muncul setelah melihat senyum itu. Hatinya menghangat padahal sang putra Darsono hanya mengucapkan terima kasih. Gadis bernama Lalita itu adalah salah satu pengagum rahasia Aldi yang mulai menunjukkan eksistensinya, ini pertama kali ia berinteraksi dengan Aldi sekalipun mereka berada di kelas yang sama. Tidak mengherankan memang, setiap kali melihat Aldi gadis itu langsung salah tingkah. "Suka?" tanya Lalita. "Apanya?" "Cokelatnya." Aldi mengerjap pelan lalu mengangguk, "Iya, suka lah, kan dikasih gratis." jawab pemuda itu. "Ga bayar, kan ini?" tanyanya lagi untuk memastikan, siapa tahu Lalita seller cokelat dan ini adalah salah satu strategi marketingnya. Edisi spesial Valentine, Aldi melirik sekilas bungkus cokelat itu yang khas dengan warna ungu dan lambang cinta. Lalita terkekeh pelan, "Gak kok, ini free buat kamu." Drrrtt....... Drrrrrttttt....... Merasakan getaran dari ponselnya, Aldi pun meraih ponsel itu dari sakunya. Ia hanya mengangguk saat Lalita berpamitan untuk pergi, gadis itu bergabung kembali bersama teman-temannya yang menunggu di depan kelas. Ternyata sebuah notifikasi pesan dari nomor tidak dikenal, Aldi menggulir layar ponselnya untuk memeriksa isi pesan itu. Detik selanjutnya ia membulatkan mata, pesan itu lagi-lagi datang dari sekte sialan milik Candra. Isinya, sudah jelas mengajak Aldi untuk bergabung lagi di pertemuan mereka pada hari Minggu nanti. Malas menanggapi hal itu, Aldi pun mengacuhkannya. "Ayo, Di!" ajak Rando yang masih sibuk dengan game onlinenya, fokus pemuda itu adalah layar ponselnya saat ini. "Iya." Aldi pun beranjak, mengikuti langkah Rando dan Malik yang sudah keluar dari kelas mereka. Malik menatap sekeliling memastikan bahwa lingkungan sekolah sudah sepi, "Nanti malam ada acara gak?" tanya pemuda itu. "Kenapa emangnya?" tanya Rando. "Biasa lah, malam minggu loh ini." "Lo mau ajak gue kencan? Sorry to say, Mal. Gue ga minat sama lo." Malik pun menampol kepala belakang Rando pelan, pemuda dengan game di tangannya itu hanya mengaduh kecil dan kembali fokus. Rando salah satu maniak game online, tapi pemuda itu tak hanya bermain untuk menuruti hobi melainkan juga mencari cuan. Kata Rando, bermain game itu ibarat sambil menyelam minum air, ia bisa terus menekuni hobi tapi tetap menghasilkan uang. Tidak mengherankan karena pasar game online sudah semakin berkembang di era modern seperti sekarang, banyak orang yang memilih menjadi gamers dan mendapatkan keuntungan dari sana. "Kemana, Mal?" tanya Aldi. "Ke tempat biasa." ujar Malik. "Ada balapan lagi?" "Bukan itu." Aldi mengerutkan keningnya, jika bukan balapan lalu apa, pasalnya Malik ini bagaikan sumber informasi, ia tahu semua jadwal balapan mulai dari yang resmi hingga liar. "Terus apaan?" Malik memberi kode aneh yang Aldi tidak bisa mengerti, pemuda itu mengarahkan jempolnya ke mulut lalu bergerak sempoyongan. "Gini-gini!" ujarnya. "Lo mau ngajak....... narkoboy?" "Buset!!" pekik Malik, ia menendang angin untuk menyalurkan kekesalannya. Sejak tadi tidak ada satu pun tebakan kedua temannya yang benar, Malik mulai berpikir apakah mereka masih belum bisa memahami dirinya padahal sudah berteman cukup lama. Ia menghela napas sejenak, "Bukan itu, Di. Ya kali sih mau narkoboy, ditangkep BNN baru tahu rasa." "Ya terus?" "Minum." ujarnya. Aldi dan Rando sontak tertawa, cukup lama hingga membuat Malik kesal. "Ketawa teross." "Ya habis lo ngadi-ngadi mau minum segala, baru nyium baunya aja udah muntah-muntah lo." Aldi mengingat kembali saat mereka pertama kali melakukan hal yang melanggar hukum itu. Awalnya hanya coba-coba, sungguh, mereka terkena pengaruh buruk Yudistira, sahabat Erlangga. Yang notabene adalah sepupu dari Malik. Saat ini mereka baru saja merayakan kelulusan ala anak SMP, dan malam harinya diadakan pesta kecil-kecilan semalam suntuk. Malam itu, entah bagaimana Yudistira bisa menemukan mereka yang asik mencari angin di luar tempat terselenggaranya acara. Yudistira datang dengan botol kaca yang di dalamnya berisi cairan bening, ketiga anak polos itu tentu mengira botol itu berisi air mineral. "Loh, bukannya ada pesta kelulusan ya?" tanya Yudis kala itu, ia menyembunyikan botol misterius itu di belakang tubuhnya. Malik mengangguk, "Iya, bang." "Terus kenapa pada nongkrong disini?' tanya Bayu yang saat itu datang bersama Yudis. "Di dalam ga seru, bang!" jawab Aldi. "Kenapa?" "Ini pesta kelulusan, kan ya, masa isinya pesta dansa." keluh pemuda itu. "Tuh, di dalam lagi pada dansa, sok-sokan banget deh." Yudis dan Bayu pun tertawa pelan, "Halah, bilang aja kalian ga punya pasangan, ya kan?" "Ya, iya sih." jawab mereka bertiga bersamaan. "Tuh, apa bang?" tanya Rando, mengode dengan dagunya pada botol minum yang coba sang kakak kelas sembunyikan. Yudis pun menatap Bayu, dan pemuda itu menggeleng keras. Tentu saja menggeleng, bisa gawat jika mereka sampai mendapat masalah karena memberikan air misterius kepada anak di bawah umur. Yudis menggeleng, "Bukan apa-apa." "Masa sih." Malik mengeryit, "Kalo bukan apa-apa kenapa disembunyiin gitu?" "Suka-suka dong." "Apaan sih, bang? Air putih?" tanya Aldi ikut penasaran. "Iya, anggap saja begitu." Mereka bertiga mengangguk-angguk, ketiganya saling tatap, sama seperti anak ABG lain yang baru saja beranjak dewasa. Rasa penasaran mereka masih sangat tinggi, begitu dilarang, tentu akan semakin ingin mengetahui lebih. Malik bangkit, karena posisinya paling dekat dengan Yudis, ia dengan lihai dapat mengambil botol itu dari sang kakak sepupu. "Yhaaa, dapat deh!" soraknya. "Waduhh, balikin Mal, gila lo!" pekik Yudis. Ia mengejar Malik dan mencoba untuk meraih kembali botol itu dari tangan nakal sang adik, "Bay, bantuin woy!" "Eitts, ga kena." Malik melempar botol itu, dan happ! Beruntung sang putra Darsono mampu menangkapnya dengan baik. Mengikuti permainan, Aldi dan Rando bangkit. Tiga lawan dua dalam permainan lempar-melempar botol kaca misterius yang sangat menyenangkan, menyenangkan bagi ketiganya, tapi meresahkan bagi keduanya. Aldi mengoper pada Rando, Rando meneruskan kepada Malik. Begitu terus hingga malam yang dingin itu menjadi sangat menyenangkan. Bayu dan Yudis mengangkat tangan, mereka tidak sanggup lagi melawan ketiga bocil yang menyebalkan itu. "Oke! Gue nyerah, kita damai aja." jawabnya. "Damai? Apa itu damai?" ledek Malik. Yudis mengadahkan tangannya, "Balikin Mal, itu sangat berharga." "Emang ini apaan sih?" "Penasaran banget sih lo bertiga!" kesal Bayu. "Nyobain aja gimana?" ceplos pemuda itu, Yudis langsung menepuk keras punggungnya sambil melotot tajam. "Jangan gila lo!" "Daripada mereka penasaran, kan." Yudis pun terdiam sejenak, "Biar cepet kelas, Gio sama Erlang udah nungguin tau! Kita kasih nyicip aja sedikit." Para pemuda berbeda generasi itu sama-sama diam untuk waktu yang lama, karena botol itu berada di tangan Malik, ia bisa bebas mengamatinya. Tidak ada yang spesial, tidak ada nama brand, logo atau sebagainya. Malik bahkan mengira itu air minum biasa yang ditaruh di botol sirup lebaran. "Kalian mau coba?" tanya Yudis. Ketiganya saling tatap, lalu mengangguk, "Boleh, emang apaan sih ini?" "Sedikit aja ya." Begitulah awal mula mereka mengenal minuman yang pahit tapi mampu membuat akal sehat melayang, di usia yang tidak sama sekali diperbolehkan oleh hukum. Dua oknum yang memberikan minuman itu pada mereka pun hanya pergi tanpa rasa bersalah, memang hanya mencicipi tak lebih dari sececap tutup botolnya saja. Kembali ke mereka sekarang, Rando dan Aldi masih meledek Malik tanpa henti. "Iya iya, gue cupu! Iya." ujar Malik menyerah. "Hahahaha, lo mau sok-sokan minum emang udah pernah minum berapa gelas sih?" tanya Rando, pemuda itu menyimpan ponselnya di saku celana, karena perjalanan mereka telah sampai di parkiran sekolah. Rando langsung menghampiri motor vespa antik peninggalan sang kakek, untuk pergi ke sekolah, Rando sengaja tidak mengajak si biru, motor sport kesayangannya. "Yaa, paling seperempat gelas." "Halaah, gitu mau ngajakin minum lo!" "Biarin lah, orang cuma nyicip aja gapapa, yang penting pergi malam mingguan." Mendengarkan kedua sahabatnya, Aldi hanya tersenyum samar. Pagi ini ia membawa Don Juan ke sekolahnya karena ia terlambat mengejar Shena. KLX 101 fanta black itu tampak paling gagah bersanding dengan motor-motor lain di parkiran sekolah. Aldi mengeluarkan kunci dari saku celananya dan menyalakan motor itu, baru saja hendak mengoper gigi, ponselnya kembali berdering. Ada sebuah pesan masuk, dari nomor yang beberapa waktu lalu menghubunginya. "Lihat ke seberang jalan." Begitu isi pesan yang dikirimkan oleh nomor tidak dikenal. Aldi pun sontak menoleh, di seberan jalan, tepat di depan gerbang masuk sekolah. Ada sekumpulan pemuda berjumlah sekitar lima orang, mereka membalas tatapan Aldi. Meskipun mengenakan masker dan topi hitam, tapi Aldi tidak buta untuk menyadari bahwa kelimanya adalah anggota dari perkumpulan gila itu. Lihat saja simbol aneh yang tertempel di motor mereka masing-masing. Tak mau menghiraukannya, Aldi memilih menyimpan kembali ponselnya. Ia mengenakan helm dan melajukan motornya mengikuti Rando dan Malik. Lima menit berlalu, keadaan masih sangat normal, Aldi berjalan dengan pelan bersama kedua sahabatnya. Menikmati lalu lintas yang cukup padat siang ini. Lampu lalu lintas berganti hijau, dan ketiganya berpisah di persimpangan jalan, Aldi mengambil kiri karena jarak yang dekat dengan rumahnya. Sedangkan Rando dan Malik mengambil kanan karena ingin membeli sesuatu di toko alat untuk memancing. Tapi, ada yang aneh dengan jalanan yang Aldi lalui hari ini, terasa lebih lengang dari biasanya. Apakah ia salah mengambil jalan, seperti tidak juga. Aldi melirik ke kanan dan kiri, hanya ada beberapa pedagang kecil yang berjejer di jalanan yang biasanya ramai itu. Memilih acuh, pemuda itu kembali fokus pada jalanan di depannya, hingga lirikan di kaca spionnya membuat Aldi membulatkan mata. Lima pemuda di depan sekolahnya tadi mengikuti, dari jarak yang lumayan jauh hingga akhirnya semakin dekat. Aldi menambah kecepatan, dan mereka ikut menambah kecepatan. Aldi sengaja berbelok, dan mereka juga mengikuti, Aldi mengambil jalan memutar, dan mereka tetap mengikuti di belakangnya. Takut, tentu saja ia merasa tidak nyaman dengan hal itu. Ia jelas-jelas tengah diikuti oleh sekumpulan pemuda aneh anggota perkumpulan Candra, ingatkan Aldi untuk memberi pelajaran pada anak songong itu karena telah menjerumuskan dirinya ke masalah yang meresahkan. Tiiinnnn..... Tiiiinnnn...... Aldi menoleh bingung tapi tetap mencoba untuk fokus, ada dua motor yang kini tengah mengapitnya, tiga lagi menjaga di belakang. Kondisi jalan yang sepi membuatnya tak bisa berbuat banyak, Aldi kembali menambah kecepatan motornya dan mereka terlibat kejar-kejaran. Disinilah, perjalanan pulang yang biasanya tidak sampai lima belas menit jadi terasa sangat lama. Aldi oleng saat motornya ditendang oleh pengemudi di samping kanannya, beruntung ia masih bisa mengambil kendali. "Sialan lo! Apa-apaan woy!" kesal Aldi. Pengemudi motor itu membuka kaca helm full facenya. "Minggir dulu, gue mau bicara!" "Ga ada urusannya gue sama lo! Mending pergi, jangan ikutin gue lagi." kesal Aldi, ia semakin tidak fokus ke jalanan, rasa was-was dan berbagai pikiran buruk mulai memenuhi kepalanya. "Minggir dulu!" "Gak!" tolak Aldi. "Denger! Lo udah masuk perkumpulan, jadi lo harus datang minggu ini!" "Gak akan, ga sudi gue masuk ke tempat itu lagi." tolak Aldi mentah-mentah. "Lo ga akan bisa lari lagi, karena semua data lo udah kita dapatkan." "Gue ga takut! Pergi lo!" usir Aldi marah. Pemuda itu menutup kembali kaca helmnya, "Lihat aja nanti!" ujarnya. Tiba di persimpangan, pemuda itu sengaja menendang motor Aldi yang masih dalam keadaan melaju kencang. Aldi yang tak siap karena berada di tikungan pun, menambrak pembatas jalan di sampingnya hingga berakhir jatuh. Sang putra Darsono terpental sejauh lima meter dari motornya, lalu terbaring mengenaskan di tengah jalanan yang sepi. Rasanya seperti remuk, ia tak bisa bangkit karena tubuhnya terasa sangat sakit. Aldi hanya bisa menatap langit yang mendung dengan sisa kesadaran yang ia miliki, berharap ada orang baik yang akan menemukannya dan menjadi penolong. Ia masih sangat kaget dengan kejadian tak menyenangkan yang baru saja menimpanya, rasanya seperti nyata dan tidak nyata, tapi sakit itu terasa sangat nyata, Aldi tak bisa menggerakkan tangan kirinya. Tubuhnya kian terasa kebas dan telinganya berdengung, masih beruntung, helm yang ia kenakan tidak terlepas saat dirinya terbanting dengan keras ke aspal yang ternyata tidak empuk sama sekali. Salah kata Malik yang selalu bilang disetiap balapan yang ia ikuti, katanya aspal di jalanan itu empuk dan tidak berbahaya sama sekali. Salah! Itu salah, Aldi sudah membuktikan sendiri sekarang, dan ia benci karena tidak bisa bangkit untuk sekedar berteduh di pinggir jalan. Hal terakhir yang ia ingat adalah deru mobil dan teriakan panik orang-orang disela dengungan telinganya, kedua matanya terasa berat dan pemuda itu kehilangan kesadaran.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD