Perubahan Arsen

1550 Words
Si sulung kembali meraih jaket dan kunci mobilnya, padahal baru satu jam lalu dua benda itu tergeletak di meja belajarnya. Setelah sambungan telepon di ponselnya terputus, Arsen langsung keluar dari kamarnya. Langkah pemuda itu tergesa menuruni tangga rumah besar itu dan setengah berlari pemuda itu menuju pintu utama. Waktu menunjukkan pukul delapan malam, dan suasana rumah sangat sepi. Arsen tak mau memperdulikannya, ada yang lebih penting untuknya saat ini daripada kehadiran orang-orang yang seharusnya ada di rumah itu. Ia tak tahu apakah kedua orang tuanya sudah kembali dari bekerja, dan ia tak tahu kemana perginya ketiga adiknya. Hampir tiga minggu lamanya, Arsen menjalani kehidupannya saat ini, yang berubah menjadi jarang di rumah dan acuh pada hal-hal di sekitarnya, termasuk keluarganya. Kecuali satu orang, yaitu gadis lugu yang menjadi poros hidupnya saat ini. Tapi lima hari belakangan, pemuda itu semakin parah, pulangnya Arsen hanya untuk mengambil tas dan seragam sekolah saja. Entah dimana ia tidur dan entah dimana ia makan. Ketika di sekolah pun, Arsen sangat jarang terlihat nongkrong bersama teman-temannya ataupun ketiga saudranya. Ia akan mendampingi Kania, selalu, layaknya perangko yang menempel di kertas. Hanya jam pelajaran saja yang memisahkan mereka. Itu adalah alasan mengapa ketiga adiknya bersikap dingin. Mereka melakukan apa yang Arsen lakukan pada mereka, yaitu tak lagi peduli. "Pergi lagi kamu?" suara dari belakangnya menginterupsi, Arsen berhenti di ambang pintu, tinggal selangkah lagi ia keluar dari rumah besar itu. "Ada apa sih, Sen? Mau kemana lagi kamu? Baru saja sampai di rumah, kan." "Ga ada apa-apa kok, pah." jawab Arsen sambil berbalik menghadap sang ayah. "Kalau ga ada apa-apa kenapa kamu ga pernah pulang? Kamu sedang ada masalah? Coba ceritakan pada papa, siapa tahu papa bisa membantu." ujar sang ayah penasaran, sekalipun ia sendiri jarang berada di rumah karena kesibukan kantor, tapi orang-orang suruhannya senantiasa melapor. Mungkin bukan benar-benar tidak tahu, hanya saja pria itu ingin mendengar jawaban langsung dari sang putra tersayang. Arsen hanya membisu untuk beberapa detik, "Gapapa, Arsen cuma lagi ada urusan sebentar." "Urusan apa?" "Emm..... ada, pah, pokoknya." kelit pemuda itu. Galih Darsono menghela napas pelan, ia duduk di sofa panjang di ruang tamu, "Duduk dulu, Sen!" pintanya. "Ga bisa pah, Arsen ada urusan penting." "Urusan apa?" ulang Galih Darsono. "Maaf, Arsen ga bisa cerita sekarang. Tapi setelah semua ini selesai, nanti Arsen cerita sama papa, janji!" jawab pemuda itu, ia kembali melirik jam di pergelangan tangannya dengan gusar. Ia merasa harus segera pergi, tapi sang ayah malah menahannya. Pria paruh baya itu menyandarkan punggungnya pada sandaran sofa, melihat Arsen yang hendak beranjak keluar dari rumah itu. Galih Darsono segera berucap sarkas. "Urusan penting apa sampai kamu lupa dengan urusanmu di kantor. Jangankan kantor, rumah ini saja sepertinya kamu lupa, ya." "Papa berikan tanggung jawab bukan untuk lalai, tapi untuk dijalankan dengan sebaik mungkin." ujar Galih Darsono, "Kan, papa udah sering ngomong kalo perusahaan itu nantinya jadi milik kamu. Apa jadinya kalau pemimpin perusahaannya saja tidak bertanggung-jawab, Sen? Sekarang kamu lihat proyek penginapan di Bali yang papa serahkan sama kamu, mangkrak tidak jelas. Para investor sudah mengucurkan dana yang besar untuk itu, kalau seperti ini nama baik perusahaan akan dipertaruhkan." Arsen mematung di pintu, pemuda itu tertunduk mengakui kesalahan yang memang sengaja ia buat. "Maaf, pah." "Maaf?" ulang sang ayah. "Maaf untuk apa? Untuk kesalahan yang mana? Memangnya kamu tahu kesalahan kamu apa?" "Apapun itu, Arsen minta maaf, pah." balas si sulung. "Tapi, sekarang Arsen benar-benar harus pergi. Ada hal penting yang harus aku lakukan papa." "Urusan apa, Sen? Bilang sama papa." desak Galih Darsono. "Arsen ga bisa cerita seka----" "Ini tentang gadis itu?" sela sang ayah, pria paruh baya itu bangkit dan berjalan menghampiri sang putra yang menatapnya bingung. "Gadis yang bikin kamu mengeluarkan ratusan juta dari tabunganmu itu? Iya?" Arsen terdiam, ia mengunci mulutnya sambil menelan bulat-bulat alasan demi alasan yang hendak ia sampaikan. Logikanya berpikir, tapi tubuhnya seolah menolak untuk melawan sang ayah. Memanglah sebuah kemustahilan jika kedua orang tuanya tidak tahu-menahu soal dirinya, jangan lupa bahwa sang ayah menyewa beberapa orang yang khusus untuk memata-matai gerak gerik mereka. Sekalipun hanya untuk keadaan yang mendesak saja, tapi Arsen merasa kesal dengan sifat cepu mereka. Tidak ada yang salah dari ucapan sang ayah, Arsen mengeluarkan ratusan juta akhir-akhir ini hingga uang di tabungannya hampir habis. Hanya tersisa beberapa juta saja, dan itu tidak cukup untuk hal-hal mendesak yang bisa saja terjadi. Beberapa menit lalu, Kania, sang kekasih menelepon Arsen untuk memberitahukan bahwa nenek gadis itu kembali masuk rumah sakit. Padahal, baru minggu lalu baru saja menjalani operasi untuk diabetes yang diderita wanita tua itu. Dan, seperti berita yang ramai tersebar di akun gosip sekolah, Arsen lah yang membiayai operasi itu sepenuhnya. Jika hanya mengandalkan bantuan dari negara tidak akan cukup untuk melakukan operasi yang kedua. Mendengar suara serak Kania membuat Arsen semakin tidak tega untuk meninggalkan gadis itu sendirian di rumah sakit, sudah bisa dipastikan bahwa Kania sedang menangis saat ini. Ia harus berada di sampingnya untuk menyalurkan ketenangan dan memotivasi bahwa semua akan baik-baik saja, hanya nenek keluarga yang gadis lugu itu miliki di dunia yang keras ini. "Arsen harus pergi, pah." "Tunggu dulu, papa belum selesai bicara!" "Apa lagi sih, pah." jengah Arsen. "Apa lagi? Menurutmu apa lagi?" sarkas Galih Darsono, "Proyek itu juga urusan yang penting, Sen. Dimana rasa tanggung jawab kamu? Kalau kamu tidak bisa kompeten, papa harus serahkan proyek ini ke orang lain atau kita batalkan saja. Papa sudah mati-matian membesarkan kamu sebagai kebanggaan papa, Sen. Untuk menjadi penerus perusahaan itu." Arsen memejamkan mata menahan gejolak emosi yang mulai naik, ia mengepalkan kuat-kuat kedua telapak tangan di samping tubuhnya. Proyek sialan itu, tidak bisakah sang ayah membahasnya lain waktu saja. Arsen benar-benar tidak punya banyak waktu sekarang. "Arsen ga butuh jadi penerus, pah." balas Arsen tajam. "Arsen bisa tentuin jalan hidupku sendiri." "Oh ya?" Galih Darsono menaikkan sebelas alisnya, "Mau jadi apa kamu? Gelandangan? Papa gak besarin kamu untuk jadi pecundang. Minimal kamu harus bisa meneruskan apa yang sudah papa bangun dari nol." "Kenapa harus aku?" tanya pemuda itu frustasi, ia mengusap wajahnya kasar sambil kembali menghela napas. "Saudaraku ada tiga, ada Shena yang udah jelas-jelas berkompeten, ada Aldi, ada Aldo juga. Kenapa harus aku yang harus mengikuti semua kemauan papa, kenapa adik-adik bisa hidup bebas menentukan jalan mereka?" "Karena kamu anak sulung, karena kamu kebanggaan papa." "Gimana lagi sih aku harus ngomong ke papa, aku ga bisa jadi yang papa harapkan." ujar si sulung penuh rasa tertekan. "Aku jauh dari kata sempurna, aku gak akan bisa seperti papa. Sebaiknya papa kasih perusahaan ke Shena aja, atau Aldi dan Aldo." Kecewa, jelas Galih merasa kecewa dengan penuturan Arsen. Pengharapannya seolah lenyap melihat sang putra menolak kerja keras yang ia berikan kepadanya, hanya untuk diteruskan, hanya itu. Arsen tak harus membangunnya kembali dari nol. Apakah sesulit itu? Arsen adalah kebanggaan yang ia miliki, bahkan pria paruh baya itu menganggap Arsen adalah satu-satunya dan segalanya. Perusahaan itu adalah apa yang ia rintis saat masih muda dulu, bersama Retna Lestari, wanita penuh impian dan pekerja keras, ibunda Arsen dan Shena. Retna adalah teman sekaligus orang yang selalu mendukung mimpi-mimpinya untuk membangun perusahaan besar miliknya sendiri. Galih Darsono bukanlah anak yang lahir dari sendok emas, seperti anak-anaknya saat ini. Kehidupan pria itu awalnya tak sebaik sekarang. Ia lahir dari kalangan ekonomi menengah ke bawah, bukan kekurangan memang, tapi keluarganya hidup sederhana. Tidak ada yang menarik memang, hingga pertemuannya dengan Retna saat ospek di kampus dulu. Retna lah yang membuatnya berani mengambil peluang untuk menjadi pengusaha muda, jatuh bangun dan gulung tikar berkali-kali. Galih pernah menjual pakaian seperti Shena, membuka resto, membuka gerai kelontong, membuka jasa foto, bisnis catering dan masih banyak lagi. Hingga usahanya membuahkan hasil yang baik pada usaha furnitur dan jasa perbaikan rumah. Usahanya mulai berkembang, yang dimulai dari gerai kecil di pinggiran Kota Bandung yang dingin, hingga beralih ke Jakarta. Dan Retna, wanita itu senantiasa menemaninya menjadi satu-satunya orang yang ia harapkan bisa menua bersama, meskipun pada akhirnya Tuhan berkehendak lain. Tepatnya pada awal bulan Juni yang panas, Galih melamar Retna, menjadikan wanita itu pendamping hidupnya. Ikatan suci itu berlanjut hingga ke pernikahan, dan akhirnya Retna positif hamil. "Nanti kalau anak kita lahir, mau dikasih nama siapa?" tanya Retna kala itu, di tengah kehamilannya yang menginjak trimester terakhir, ia masih sering mengajak sang suami berjalan-jalan keliling kompleks. "Terserah kamu, Na." jawab Galih saat itu, "Kamu ibunya, kamu yang menamai anak kita." Retna mengusap perutnya yang membuncit besar, ia menunduk sedih, "Aku belum tahu jenis kelamin calon bayi kita, mas." "Iya juga ya." Galih mengangguk-angguk, ia menarik tangan sang istri untuk berteduh di bawah pohon kersen yang rindang. Ada sebuah bangku panjang disana, dan pasangan suami-istri itu duduk dengan manis disana. "Kalau laki-laki?" tanya Galih. "Kalau laki-laki....." Retna tampak berpikir, ia melirik sekitar untuk mencari ide. "Ar....sen!" "Arsen?" Retna mengangguk, ia menunjuk selembar kertas iklan yang tertempel di dinding. "Iya, Arsen." "Kenapa?" Retna kembali mengusap dengan sayang perut buncitnya, "Tidak ada alasan khusus, tapi sepertinya itu nama yang cocok untuk anak kita. Semoga dia akan tumbuh menjadi anak yang baik dan kebanggaan kita." Galih tersenyum simpul mendengar harapan sang istri, "Apa karena kita duduk di bawah pohon kersen?" canda Galih, ia pun langsung mendapat cubitan di pinggangnya dari Retna. "Huss! Ngawur kamu mas." kesal wanita itu. "Bercanda, sayang!" jawab Galih sambil terkekeh pelan. "Aku suka nama Arsen, bagus untuk anak kita." "Ya memang bagus, kan." "Kalau perempuan?" "Shena."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD