Mulai tertarik

1407 Words
Suara siulan seorang pemuda berseragam putih abu-abu itu menggema di barisan rak buku kelas sepuluh, untung saja perpustakaan sedang sepi dan penjaga perpustakaan sekolah itu sedang ke toilet. Jadi, Aldi bebas berbuat semaunya. Sang putra Darsono itu melihat sekeliling sambil berpura-pura memilih buku. Tujuannya kali ini adalah seorang siswi yang belakangan tidak lagi ia temui. Bukan! Bukan Aldi merindukannya, oh maaf saja karena sang casanova mengaku tidak pernah merindu apalagi sampai galau-galau tidak jelas. Bukan rindu, tapi ada bagian di hatinya yang menginginkan sebuah kesempatan bertemu, apakah itu juga bisa dikatakan rindu? Aldi sudah berkeliling, dan nampaknya ia tidak mendapati gadis itu disini. Ia merutuki dirinya sendiri karen lupa menanyakan kelas gadis itu saat pertemuan pertama mereka dulu. Ya, gengsi yang terlampau tinggi seringkali merugikan. Aldi menghembuskan napas kasar, sejauh yang ia lihat hanya wajah-wajah biasa, bukan wajah dari gadis berambut keriting yang bodynya seksi itu. Ah! Aldi menggelengkan kepalanya, lagi-lagi ia telah lancang dan tidak sopan. Pemuda itu memutuskan untuk kembali ke kelas saja, ia berbalik. "Awhh!!" "Eh, maaf!" ujar Aldi panik, ia langsung berbalik saja tanpa melihat bahwa di belakangnya ada seseorang, alhasil, ia menambrak orang itu cukup keras. Ya, sampai ia terjatuh menyapa lantai putih perpustakaan itu. Aldi mengulurkan tangannya setelah ia memungut buku yang dibawa gadis itu. Ia mendongak, dan, taraaaaa! Yang dicari Aldi selama ini datang sendiri menghampirinya. Aldi mengulum bibirnya guna menyembunyikan senyuman yang hadir tanpa diundang. "Loh!" "Lo lagi sih, mau caper sama gue ya?" tanya Aldi penuh percaya diri, pemuda itu memasang wajah songong yang menjengkelkan. "Ish, kamu yang nabrak aku ya." kesal gadis itu, ia menepuk-nepuk tangannya yang terkena debu. "Bukannya minta maaf." "Kan, tadi udah." "Kapan?" tanya Larasati. "Barusan." jawab Aldi. "Jadi, ini gimana? Diterima ga uluran tangan gue? Kalo enggak gue tarik lagi nih." "Ga perlu! Ga butuh." "Halah, lagaknya, udah buruan, tangan orang ganteng nih nyesel loh nanti!" Larasati memutar bola matanya malas, "Pd banget sih." "Iya lah, percaya diri itu harus, jangan insecure mulu. Kek kentank!" jawab Aldi. "Ayo buruan, tangan gue pegel nih." Larasati meraih uluran tangan Aldi, ia bersusah-payah berdiri karena tubuhnya terbentur ubin cukup keras. Menyadari kesulitan gadis itu, Aldi menariknya, tapi, lagi-lagi hal yang tidak terduga terjadi. Bukannya berdiri dengan benar, Larasati malah menubruk tubuhnya, mau tak mau satu tangannya menahan pinggang ramping gadis itu. "Eh!" Larasati tercekat, tatap mata itu seolah membiusnya untuk bisu. Dalam hati, gadis itu membenarkan jika sang casanova banyak digilai para gadis karena ketampanannya. Semua yang terpasang di wajah Aldi terlihat sempurna, alis setajam elang, mata hitam yang sanggup membuatnya tenggelam, hidung mancung, bibir tipis, dan gadis rahang yang tegas. Rasanya tidak ada cela lagi, tidak ada jerawat atau pun komedo dari jarak sedekat ini yang Larasati lihat. Tapi, di pipi pemuda itu ada sedikit freckles yang justru membuatnya semakin mempesona. Berbeda dengan Larasati yang terbius akan ketampanannya, Aldi justru mengumpat dalam hati saat untuk pertama kalinya merasakan benda empuk dan kenyal yang membatasi mereka berdua. Jangan salahkan otak Aldi yang sudah traveling kemana-mana padahal ini hanya sebuah ketidaksengajaan. Sebelum akal sehatnya sirna, Aldi segera menjauhkan tubuhnya. Ia terdiam sejenak mengambil napas, detak jantungnya juga harus ditenangkan agar berdetak sewajarnya saja. "Eh! Maaf." ujar Larasati. Aldi menggaruk kepala belakangnya, "Iya, gapapa." Suasana berubah menjadi sangat canggung setelahnya, Larasati mengepalkan tangannya yang terasa dingin. Ia menyentuh dadanya, detak jantungnya berpacu dan ia merasa sangat gugup. "Kenapa? Sakit itunya?" "Heh?" Larasati mengerutkan keningnya. "Itunya?" "Maksudnya, itu...... Aduhh!" pemuda itu kelimpungan menjelaskan maksud dari pertanyaannya barusan yang memang terkesan ambigu, mau bagaimana lagi refleks. "Maksudnya, tadi pas kebentur sakit?" tanya pemuda itu lagi. Larasati menggeleng pelan, "Gak kok, aman." "Syukurlah." Aldi memberikan buku yang tadi ikut jatuh bersama gadis itu, dan Larasati menerimanya. "Yaudah kalo gitu, gue mau balik ke kelas." pamit Aldi. "O-oke!" Memilih untuk meninggalkan kecanggungan yang baru saja tercipta, Aldi melenggang pergi dari perpustakaan. Saat ditanya petugas perpustakaan pun Aldi hanya melambaikan tanganya, tujuannya ke perpustakaan bukan untuk meminjam sebuah buku. Jadi, pemuda itu pun keluar dari perpustakaan dengan tangan kosong. Entah sebuah kesalahan atau bukan, tapi tiap kali bertemu Larasati rasanya sangat mendebarkan dan candu. Ia ingin bertemu lagi dan lagi. Tapi, masih belum terlalu yakin dengan perasaannya sendiri, Aldi yakin ini hanyalah sebuah perasaan yang muncul sebagai bentuk ketertarikan semua. Ia tidak benar-benar jatuh, Aldi yakin perasaan itu akan menghilang seiring dengan berjalannya sang waktu. "Weeeeeeee!" pekik Shena saat ia bertemu dengan sang adik di persimpangan koridor, seperti sudah menjadi sebuah kebiasan bagi Aldi tidak berhati-hati saat mengambil langkah. Pemuda itu hendak menabrak Shena yang tergopoh-gopoh membawa tumpukan buku LKS. "Ish, mbak! Ngagetin aja." "Kok aku? Kamu yang jalannya ga pake mata." "Iya, emang jalan pake kaki." jawab Aldi asal. Pemuda itu mengambil langkah di sisi yang lain. Tapi baru dua kali melangkah, kakinya tersandung hingga pemuda itu hampir menabrak pot bunga besar. "Astaga!" pekik Aldi. "Kenapa sih mbak." ketusnya, ia mengusap dadanya karena yang membuatnya hampir mencium pot bunga adalah kaki jenjang sang kakak perempuan. "Mau kemana?" "Ya ke kelas lah, masa ke pom bensin." kesal Aldi. "Bantuin ini lah, enak aja main ke kelas. Udah tahu kakaknya kesusahan bawa buku sebanyak ini. Bukannya bantuin malah mau ditinggalin, yang bener aja sih, Di." gerutu Shena. Gadis cantik itu menyerahkan setengah dari buku paket yang ia bawa kepada sang adik, yang diterima dengan setengah hati. "Kamu itu harusnya punya inisiatif dong, udah tahu kakaknya kesusahan, bantuin lah!" "Iya iya." "Iya iya." ledek Shena, "Masa hal kecil gitu juga harus selalu di kasih tahu dulu, dasar Aldi." Tak mau menanggapi sang kakak, Aldi hanya mengunci mulutnya. Ia berjalan mengekori Shena menuju ke kelas gadis itu yang berada di lantai tiga gedung sekolah itu. Ini bukan pertama kali Aldi menginjakkan kaki di barisan kelas sebelas, tapi tetap saja ia merasa terkesan dengan barisan kelas dan ruangan yang selalu rapi dan harus mewangi. Sekalipun berada di lantai tiga, tapi setiap kelas memiliki tanaman yang digantung di pot dan dihias dengan cantik. Siswa-siswi yang ada di barisan kelas itu pun tampak teratur, tidak brutal dan ugal-ugalan seperti kelas sepuluh. Langkah keduanya sampai di pintu kelas Shena, disana sudah ada guru yang mengajar. Aldi menghentikan langkahnya di ambang pintu, ia mengode sang kakak untuk menerima bukunya tapi tidak dihiraukan. Shena malah melenggang masuk meninggalkan dirinya yang berdiri mematung di pintu. "Hei! Kenapa ga masuk?" tanya guru yang sedang mengajar di kelas itu, seorang guru wanita seusia paruh baya. Tubuhnya langsing dan wajahnya masih cantik padahal sudah menginjak usia setengah abad. Guru itu melambaikan tangan kepada Aldi, "Ayo masuk sini!" "Eh? Saya disini aja bu, cuma bantuin bawa buku ini tadi." Aldi melirik sang kakak yang tampak acuh, gadis itu malah sibuk membagi-bagikan buku ke teman-temannya. Tidak tahukah Shena, bahwa pemuda itu sudah mati kutu lantaran menjadi bahan tontonan seisi kelas Shena. "Yaudah sini, masuk dulu, bukunya taruh di meja depan aja." tunjuk guru itu pada meja Vanya. Aldi mau tidak mau mengangguk dan melangkah masuk, baru satu langkah dan ia sudah disoraki oleh para kaum hawa di kelas itu. Aldi menulikan pendengarannya, ia fokus pada satu titik, yaitu Shena. "Mbak, bukunya!" ujar Aldi. "Taruh situ!" Shena menunjuk meja Vanya dengan dagunya. "Sini-sini! Biar gue bantuin." Diana maju guna membantu menerima tumpukan buku LKS yang dibawa Aldi. Tapi, yaa, namanya juga Diana, gadis centil itu bagai menyelam minum air, ia juga tebar pesona kepada sang adik kelas. Shena memutar bola matanya saat melihat gelagat Diana, sebelum menerima tumpukan buku itu, Diana sengaja meraih lengan sang adik dan menggenggamnya cukup lama. "Jangan Di!" tegur Shena pada temannya itu, "Adek gue masih suci." "Yaelah, ketahuan deh!" canda Diana. "Aldi kalo mau nomor gue bisa banget loh." "Nomor apaan tuh!" sorak salah seorang pemuda yang duduk paling belakang, "Nomor yang ini apa nomor yang itu." godanya lagi. Diana ikut tertawa bersama seisi kelas yang turut menyoraki tingkahnya, "Nomor yang mana aja sih!" ujarnya sambil mengedipkan sebelah kelopak matanya kepada Aldi. "Aku sih tergantung Aldi mintanya nomor apa." "Nomor BH ga tuh!" Seisi kelas kembali tertawa mereka menyoraki Diana, "Ah! Nomor kamar juga boleh." "Apa sih, Di!!! Duduk sana lo." Bukan Shena yang memekik tajam, melainkan Sonia. Gadis itu merasa jengkel melihat teman-temannya sibuk menyoraki Aldi yang polos dan tidak tahu apa-apa. Ya, mungkin pemuda itu tidak mengerti siapa Diana yang sebenarnya. Sebelum Aldi semakin ternoda, sebaiknya Sonis melindunginya. Diana pun mendelik pada Sonia yang menatapnya tajam sambil berkacak pinggang, "Apa sih, Son." "Cemburu yaaaa?" tebak Vanya. "Cemburu apa lagi sih, udah lah, kasihan Aldi tuh." jawabnya. "Kasihan apa kasihan nih?" "Cieeee........ Sonia!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD