Teman tongkrongan

1114 Words
Kepulan asap rokok mengepul di udara, sejalan dengan satu batang lagi yang dibakar. Para pemuda haus nikotin itu hanya akan berhenti saat batang rokok mereka habis, tapi tunggu! Batang rokok itu seperti tidak akan habis sekarang. Karena saat mereka habis akan ada satu bungkus lagi yang menggantikan. "Ngerokok lo?" tanya Roy pada Aldo, pemuda itu terheran karena biasanya Aldo jarang menghisap rokok. Aldo lebih senang bermain gitar sambil bernyanyi hingga suaranya serak. "Tumben banget." Aldo mengangguk sambil membuang putung rokok yang belum sepenuhnya habis, "Sekali-kali." "Dih, sekali-kali." ledek Roy, "Emang habis berapa dia?" tanya Roy pada teman-temannya yang lain. Bayu mengacungkan dua jarinya sebagai jawaban, ya, dia Bayu teman Erlangga. Bayu, Gio dan Yudis adalah teman satu tongkrongan Aldo dkk. Geng tongkrongan yang beranggotakan lebih dari sepuluh orang itu adalah berandal sekolah, setidaknya itulah julukan yang disematkan untuk mereka para kaum hobi membolos. Jenjang kelas dalam geng itu merata mulai dari kelas sepuluh hingga kelas dua belas. Kelas dua belas harusnya memberi contoh? Ya, mereka juga memberi contoh, tapi contoh yang buruk dan tidak seharusnya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Warung di belakang sekolah menjadi sasaran bagi para pemuda itu untuk membolos di jam pelajaran. Sekalipun pagar tembok yang tinggi sudah membentengi SMA Nasional, tapi seperti kebanyakan sekolah lainnya, akan selalu ada celah untuk membolos. "Gimana? Duit lo udah habis belum?" tanya Bayu pada kedua temannya, yang tak lain adalah Yudis dan Gio. Gio mengangguk sambil membuang putung rokoknya, "Udah, gue beliin emak mesin cuci, kasihan nyuci harus jongkok terus." "Kalo gue beli televisi baru di pos ronda, buat nonton bola satu kompleks." ujar Yudis disertai tawa, kompleks rumah Yudistira masih mengedepankan kekeluargaan dan keharmonisan antar tetangga. Sekalipun di setiap rumah ada televisi, tapi percayalah menonton siaran langsung sepak bola bersama para tetangga di pos ronda itu sangat menyenangkan. "Wah, pada bermanfaat banget ya duitnya." puji Roy, "Kalo gue sih, masih disimpen di tabungan, bang!" "Mau buat apaan, ntar ilang loh!" balas Bayu. "Ya buat jaga-jaga lah, sapa tahu nanti butuh." jawab Roy. Mendengar obrolan yang terasa asing baginya, Aldo hanya mengerutkan keningnya, uang apa yang mereka berempat bicarakan. Dan mengapa pula ia tidak tahu-menahu, Aldo pun menggeser duduknya untuk lebih mendekat, "Ini uang apaan sih?" Keempat pemuda itu langsung menatapnya, tapi sedetik kemudian mereka saling diam seolah tidak mendengar apa-apa. "Uang apa woy?!" "Uang apaan, bang? Kok gue ga tahu." Aldo menggoyangkan lengan Yudis yang kebetulan duduk tepat di samping kirinya. Yudis hanya diam sambil menahan senyum, pemuda itu mengode tiga temannya agar diam saja. Melihat itu, jiwa penasaran Aldo semakin menjadi-jadi. "Apa deh main rahasia-rahasiaan." kesal si bungsu Darsono itu. Roy terkekeh geli, ia bisa saja memceritakan semuanya kepada Aldo, hanya saja ia terikat janji yang sudah dibayar kontan dalam jumlah yang besar. Uang itu, sudah dipastikan bahwa hanya mereka berempat dan seseorang lagi yang tahu. "Udah lo diem aja, bukan urusan lo!" jawabnya. "Lo pada main judi ya? Atau korupsi? Wah, jangan-jangan maling kotak amal ya?!" tuduh Aldo tidak jelas. "Enak aja!" Gio bangkit, ia menampol kepala Aldo sebagai pelajaran. "Ngadi-ngadi nih anak orang kaya!" "Ya habisnya, sok-sokan main rahasia." keluh Aldo. Roy mendekatkan tubuhnya pada Aldo, kelima pemuda itu duduk membentuk lingkaran. Roy melihat sekeliling, saat dirasa aman, pemuda itu pun membuka suara. "Jadi, beberapa hari lalu, ada malaikat yang nyuruh kita buat melakukan sesuatu." Aldo langsung mengerutkan keningnya, ia tertawa sumbang mendengar omong kosong dari Roy, "Ngadi-ngadi lo! Jangan bilang yang nyuruh malaikat maut?" "Denger dulu!" Yudis menepuk paha Aldo keras, "Ceritanya belum selesai." "Sebenarnya bukan malaikat juga sih, tapi yaa, sebelas dua belas sama malaikat. Cantik banget, asli!!" puji Roy dengan terang-terangan. Gio pun mengangguk, ia memberikan dua jempolnya pada sang adik kelas. "Nah, malaikat itu nyuruh kita melakukan satu hal." "Apaan tuh?" tanya Aldo. "Mengawasi seseorang." "Ini beneran ga sih?" tanya pemuda itu lagi, Aldo masih belum bisa percaya dengan mulut berbisa sang sahabat. "Kalo lo yang ngomong, kok gue ga bisa percaya ya." "Terserah lo mau percaya atau enggak, tapi ini beneran!" kesal Roy, "Intinya, malaikat ini suruh kita untuk menjaga seseorang biar ga merusak acara yang dia buat, gitu!" Aldo mengangguk-angguk, "Terus kalian mau?" "Ya maulah!" jawab keempatnya serempak. "Setiap hal itu adalah imbalan yang didapatkan, nah, kita juga dapat imbalan untuk itu kok." jelas Gio. "Pekerjaannya ga susah, cuma sehari semalam, itu pun ga butuh effort berlebih." tambah Yudis, "Udah gitu, Do.." "Apa?!" "Cuannya banyak!" balas Yudis bersemangat. "Masing-masing dari kita dapat dua juta rupiah tahu, tanpa dipotong pajak!" "Wah! Mau dong kalo gitu, kenapa gue ga diajak?" Roy memilih mundur, ia kembali duduk bersandar pada dinding warung itu. Begitu pun ketiga sahabat Erlangga yang memilih fokus dengan es teh masing-masing. Cukup sampai disitu saja mereka bercerita kepada si bungsu, jika diteruskan takutnya ia akan mengerti dengan apa yang terjadi. "Lah, kok diam lagi? Ini ga diterusin? Daftar pertanyaan masih banyak loh." "Udah segitu aja lo tahunya, yang lain rahasia ilahi soalnya." balas Gio. Aldo pun hanya memutar bola matanya, memang orang-orang satu tongkrongannya itu tidak ada yang bisa dipercaya. Untuk cerita tadi contohnya, Aldo tidak bisa mempercayainya, mana ada malaikat yang menyuruh mereka mengawasi seseorang lalu memberi upah untuk itu. Ah! Roy dan ketiga kakak kelasnya itu pasti terlalu banyak menghalu. Aldo mengeluarkan ponselnya dari saku saat benda pipih itu bergetar, ada sebuah pesan dari sang kakak perempuan. Aldo menggulir layar ponselnya, isi pesan itu adalah sebuah foto dan tulisan singkat di bawahnya. Si bungsu menghela napas jengah sambil memutar bola matanya, lagi-lagi berita gosip tentang Arsen dan Kania. Kali ini, kabar tentang kredit card milik sang kakak sulung yang diberikan untuk Kania tengah menjadi perbincangan yang hangat satu sekolah. Awalnya, Aldo tidak mau merespon berlebihan untuk sikap sang kakak, Arsen pasti memiliki alasan untuk itu. Tapi, ada satu hal yang membuat dia dan kedua saudaranya merasa sedikit tidak nyaman. Yaitu isi dari artikel yang diterbitkan oleh biang gosip sekolah, disana dikatakan bahwa Arsen termakan rayuan busuk Kania, sehingga pemuda itu memberikan segala yang ia punya untuk gadis itu. Padahal, seperti yang ia tahu sangat bertolak-belakang dengan artikel itu. Ia, Aldi dan Shena sampai melakukan riset khusus untuk memata-matai sang kakak. Mereka mengikuti gerak-gerik Arsen, sampai rela mengunjungi rumah Kania hanya untuk memastikan kebenaran. Kania hidup bersama neneknya yang sudah tua dan renta, menurut informasi yang Aldo dapatkan dari tetangga setempat, nenek Kania menderita diabetes yang cukup parah dan pernah beberapa kali menjalani operasi, dua operasi terbarunya dibiayai sepenuhnya oleh si sulung Darsono. Arsen memang sebaik itu, sejak kecil sang kakak paling tidak tega melihat orang-orang di sekitarnya menderita. Dan dikarenakan Arsen adalah tipe orang yang menolong dengan penuh totalitas, para adiknya tidak mempermasalahkan jika uang tabungan si sulung habis untuk pengobatan nenek Kania. Tapi, mungkin masalah baru akan muncul, jika sang ibu mengetahuinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD